Menuju konten utama

Dalih Adhi Karya Soal Mahalnya Proyek LRT yang Dikritik JK

Direktur Operasional Adhi Karya berdalih proyek LRT mahal karena menggunakan konstruksi jalan layang atau elevated di beberapa wilayah.

Dalih Adhi Karya Soal Mahalnya Proyek LRT yang Dikritik JK
Kereta api ringan atau light rail transit (LRT) diuji coba dengan operasi terbatas di Stasiun Velodrome Rawamangun, Jakarta, Senin (10/9/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Kritik Wakil Presiden Jusuf Kalla soal mahalnya proyek kereta cepat (Light Rapid Transit/LRT) membuat netizen kembali ribut. Sebab, perkataan mantan ketua umum Golkar itu seolah mengafirmasi tudingan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto pada pertengahan 2018 silam.

Saat itu, Prabowo menyebut ada indikasi mark up dalam proyek LRT di Indonesia. Hal tersebut, kata Prabowo, diketahui berdasarkan pembicaraannya bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Tudingan tersebut ramai lantaran para politikus, baik kubu Prabowo maupun Jokowi memberikan respons berdasarkan asumsi masing-masing.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan langsung pasang badan dan mengatakan bakal mencium kaki Fahri Hamzah--salah satu yang menyetujui tudingan Prabowo--jika hitung-hitungan proyek LRT salah.

Kini, Luhut kembali menjadi sasaran kritik warganet gara-gara omongan Jusuf Kalla. Luhut diminta menepati janjinya untuk mencium kaki Fahri Hamzah.

Namun, benarkah biaya proyek LRT Jabodetabek yang dibangun PT Adhi Karya (Persero) Tbk memang terlalu mahal lantaran mark up?

Direktur Operasional Adhi Karya Punjung Setya Brata menyebut, biaya proyek yang digarap oleh perseroannya masih kompetitif dibandingkan negara lain.

“Kalau bicara per kilometer Rp500 miliar, dibandingkan dengan MRT dan sebagainya, apalagi dibandingkan di Singapura, harga kami cukup kompetitif,” kata Setya, di Pabrik Precast LRT Jabodebek, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (14/1/2019).

Selain itu, kata Setya, harga tersebut wajar sebab proyek LRT menggunakan konstruksi jalan layang atau elevated di beberapa wilayah. Pemilihan jenis konstruksi ini didasarkan pada pertimbangan ketersediaan lahan.

Beberapa wilayah yang tidak bisa dibangun secara at grade atau di atas timbunan tanah, kata Setya, adalah lintas Cibubur—Cawang—Dukuh Atas serta lintas Cawang—Bekasi Timur.

"Kalau untuk yang at grade itu mungkin di daerah Bogor dan Cibubur karena itu masih memungkinkan ketersediaannya. Kalau underground (bawah tanah) malah lebih mahal,” kata Setya.

Menurut Setya, pembicaraan soal biaya pembangunan LRT seharusnya tidak bisa disederhanakan menjadi Rp500 miliar untuk tiap kilometer. Sebab, biaya itu tak hanya diperuntukkan untuk pembangunan lintasan, melainkan juga depo, stasiun hingga teknologi yang digunakan.

"Jadi cost itu sudah cost untuk depo, biayanya enggak murah itu. Cost itu termasuk depo dan stasiun,” kata Setya.

Setya menjelaskan, masalah pembiayaan LRT memang selalu jadi isu yang memunculkan polemik di masyarakat lantaran hal ini baru ada pertama kali di Indonesia.

"Saya hanya mengingatkan bahwa isu seperti ini memang sering terjadi sehingga perlu penjelasan yang jelas dalam melihat cost," kata dia.

Mengenai hal ini, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan membenarkan bahwa proyek LRT memang mahal. Karena itu, kata dia, untuk LRT fase II yang menghubungkan Jakarta-Cibubur-Depok-Bekasi diusahakan untuk ditekan agar biayanya lebih murah.

Sebab, rute tersebut akan dibangun normal seperti kereta dan tidak menggunakan lintasan layang atau elevated melainkan di atas permukaan tanah (at grade).

“Pembangunan LRT Cibubur, Depok akan [dibangun] di bawah, harganya akan di bawah Rp500 miliar per kilometer. Kami belum tahu pasti bisa lebih dari setengah,” kata Luhut.

Jika dibandingkan dengan harga proyek LRT di negara lain, argumen soal mahalnya biaya pembangunan LRT yang dilontarkan manajemen Adhi Karya dan Luhut memang wajar belaka.

Linus Grob dan Nick Craven dalam makalah penelitian ringkas berjudul "Analysis of Regional Differences in Global Rail Projects by Cost, Length and Project Stage" menjelaskan bahwa harga rata-rata proyek LRT per kilometernya di atas puluhan juta dolar AS.

Secara umum, harga paling rendah muncul dari regional Amerika Selatan dengan nilai 18,5 juta dolar AS per kilometer atau sekitar Rp268,2 miliar (kurs Rp14.500/dolar AS). Besaran harga tertingginya muncul dari regional Amerika Utara dengan nilai 99,7 juta dolar AS per kilometer atau setara Rp1,4 triliun.

Sementara itu, untuk regional Asia, ditemukan informasi bahwa harga rata-rata proyek light rail per kilometernya adalah 69,7 juta dolar AS atau sekitar Rp1,01 triliun.

Namun dalam penelitian tersebut tak dijelaskan secara rinci apakah proyek tersebut dibangun dengan jalur layang, di atas permukaan tanah atau di bawah permukaan tanah.

Baca juga artikel terkait PROYEK LRT atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz