Menuju konten utama

Dalam Sejarah, TNI AD Tak Pernah Benar-Benar Netral Politik

Angkatan Darat pernah mengalami fase yang sangat politis dan menjadi alat kekuasaan. Netralitas adalah hal yang sulit.

Dalam Sejarah, TNI AD Tak Pernah Benar-Benar Netral Politik
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) A.H Nasution memberi selamat kepada Jenderal Soeharto atas penunjukannya sebagai Penjabat Presiden, 12 Maret 1967. WIKPEDIA/Kementerian Pertahanan

tirto.id - Sudah sepatutnya Tentara Nasional Indonesia netral dalam kehidupan bernegara, termasuk Angkatan Darat. Tapi dalam sejarah Indonesia setelah kemerdekaan, netralitas politik AD hampir tak pernah terwujud sepenuhnya. Apalagi AD juga pernah menjalankan fungsi politik dalam jangka waktu yang lama. Ketika peran itu berjalan, AD bahkan lebih mirip institusi politik daripada militer.

Pada acara serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) dari Mulyono ke Andika Perkasa, Panglima TNI Hadi Tjahjanto menyinggung soal netralitas tentara dalam politik.

"Saya kembali menekankan agar seluruh prajurit TNI Angkatan Darat, memegang teguh netralitas TNI, dan tidak memihak pada kontestan manapun," tegas Hadi di Mabesad, Jakarta, Kamis (29/1/2018).

Sebagai institusi kenegaraan, AD harus netral sepenuhnya. Wajar saja bila para personel AD punya ambisi politik. Tapi, sebagai alat negara, mereka harus menahan diri agar tidak terjerumus seperti di masa lalu.

Pada zaman lampau, selain dikenal sebagai penumpas pemberontak, AD juga dikenang sebagai "pemain" politik pada zaman Sukarno dan kemudian menjadi alat politik penguasa Orde Baru.

Zaman Sukarno

Sejarah mencatat bagaimana Angkatan Darat di masa Sukarno jelas-jelas terseret ke politik. Padahal, pada 17 Agustus 1953, Sukarno menegaskan dalam pidatonya, "[...] angkatan perang tidak boleh ikut-ikut politik. Tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan perang harus berjiwa. Ya, berjiwa.”

Tentu saja tak semua tentara bisa menerima pesan pendiri negara Republik Indonesia itu.

Sebelum pidato tersebut, Sukarno pernah didatangi sekelompok perwira Angkatan Darat. Tak tanggung-tanggung, KSAD kala itu, Kolonel Abdul Haris Nasution, juga turut mendatanginya. Mereka kesal karena para politikus berusaha mempolitisasi tentara. Para perwira itu datang membawa massa sipil yang berdemonstrasi. Para demonstran berteriak: "Bubarkan Parlemen! Bubarkan Parlemen!"

Sukarno tak takut dan tak mau memenuhi apa yang diteriakkan massa. “Pokoknya, saya tidak mau jadi diktator. Jangan paksa saya membubarkan parlemen. Saya tidak akan pernah mau,” tegas Sukarno.

Setelahnya massa bubar dan berteriak: "Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!"

Para perwira AD itu pun kecele. Tak hanya gagal meraih apa yang mereka mau, dua bulan setelah kejadian Nasution dipecat sebagai KSAD.

Nasution kemudian sibuk menulis buku di masa menganggurnya. Selain itu, bersama beberapa kolonel yang sepaham, dia mendirikan sebuah partai. Namanya Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). IPKI tidak sanggup bersaing dengan partainya Sukarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), dalam Pemilu 1955. Bahkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)—yang baru bangkit setelah dihajar pada 1948—pun tak mampu.

Jabatan memang tidak pernah jauh dari Nasution yang lihai berpolitik. Pada November 1955 dia dijadikan KSAD lagi. Di waktu menjabat KSAD, Nasution masih berhubungan dengan bekas partainya yang gurem itu.

Menurut Loren Ryter dalam makalahnya di jurnal Indonesia (nomor 66, Oktober 1998), "Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s New Order", banyak yang menyebut setelah sukses melobi Sukarno agar mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Nasution mendirikan Pemuda Pancasila (PP) di tahun yang sama. Nasution melobi Sukarno lewat IPKI dan menjadikan PP sebagai sayap kepemudaan partai itu. PP didirikan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-31 pada 28 Oktober 1959.

Pada 1960-an, beberapa perwira menengah AD menjadi pendiri dan pemimpin organisasi kemasyarakatan. Ada Kolonel Mas Isman yang mendirikan Kosgoro dan Kolonel Sugandhi yang memimpin Musyawarah Keluarga Gotong Royong (MKGR). Ada pula Letnan Kolonel Suhardiman yang mengepalai Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) dan Brigadir Jenderal Djuhartono yang memimpin Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Setelah Sukarno tumbang, Golkar menjadi kekuatan politik. Para kolonel tersebut kemudian ditunjuk sebagai pimpinan-pimpinan Golkar di awal Orde Baru. Selain itu ada Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) dan Pengajian Dakwah Islam (PADI) yang terkait pula dengan Soegandhi dan Mayor Jenderal R. Sudirman. Semua keterlibatan para perwira itu tentu mengesankan adanya ikatan dengan Angkatan Darat.

Di akhir-akhir kepresidenan Sukarno, AD memang tidak mendekat pada satu partai besar yang berkuasa. Namun Angkatan Darat dikenal sebagai kekuatan anti-komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu menjadi musuh besar AD.

Zaman Soeharto

Jika di masa Sukarno Angkatan Darat berusaha agar tidak condong pada satu partai politik tertentu, maka di zaman Soeharto Angkatan Darat terseret jauh ke ranah politik. Semua karena Soeharto.

Setelah pimpinan Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani, terbunuh, Soeharto lah yang menggantikannya. Pengaruh Letnan Jenderal Soeharto atas Angkatan Darat sangat kuat, bahkan ketika dirinya tak lagi berstatus orang nomor satu di matra itu. Tidak hanya Angkatan Darat, seluruh angkatan di dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pun di bawah kendali Soeharto yang jadi pejabat presiden pada 1967.

Golkar yang ikut didirikan beberapa perwira Angkatan Darat akhirnya butuh dukungan ABRI. Jika Republik Indonesia adalah keluarga, ABRI adalah kakak kandung Golkar.

Berkat dukungan ABRI, Golkar merajai tiap Pemilu Orde Baru. Angkatan Darat punya komando teritorial yang cukup mengakar hingga tingkat desa.

Di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) yang wilayah teritorialnya bisa mencakup beberapa provinsi, ada Komando Resort Militer (Korem) yang wilayahnya bisa beberapa kabupaten atau kota. Lalu di tiap kabupaten atau kota ada Komando Distrik Militer (Kodim), di tiap kecamatan ada Komando Rayon Militer (Koramil), dan di tiap desa ada Bintara Pembina Desa (Babinsa).

“Seluruh pejabat teritorial TNI, mulai dari Pangdam, Korem, Kodim, hingga Babinsa harus bertanggungjawab bagi kemenangan Golkar di wilayah kekuasaan mereka,” tulis Ign Ismanto dalam Pemilihan presiden secara langsung 2004: dokumentasi, analisis, dan kritik (2004: 22).

“Politik tingkat desa benar-benar didominasi oleh Golkar melalui Babinsa,” tulis Bilver Singh dalam Succession Politics in Indonesia: The 1998 Presidential Elections and the Fall of Suharto (2016: 8).

Babinsa biasanya berpangkat sersan di Angkatan Darat yang dalam usia menanti pensiun. Adanya Babinsa itu memungkinkan amannya suara Golkar dalam pemilu.

Infografik Sejarah TNI AD dalam Politik

Tak semua jenderal suka dengan kecenderungan ABRI kepada Golkar, di antaranya Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin dan Jenderal M. Jusuf. Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 184), M. Jusuf adalah orang yang ingin agar ABRI berdiri di atas semua golongan.

“Jika ABRI benar-benar bersatu dengan rakyat dan tidak berpihak kepada salah satu golongan, mengapa ada Keluarga Besar yang terdiri dari Korpri, Golkar dan ABRI?” tanya Ali Sadikin, seperti dicatat David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (2010: 199).

Kecenderungan ABRI dan Angkatan Darat kepada Golkar tertuntaskan setelah lengsernya Soeharto pada 1998. Tak ada lagi Babinsa Angkatan Darat yang mengamankan suara. Golkar pun memble dalam Pemilu 1999 dan setelahnya, meski tancapan akarnya masih cukup kuat.

Setelah Soeharto lengser, sulit bagi Angkatan Darat untuk tidak netral dalam politik. Tapi, beberapa perwira masih mencoba-coba memainkan hasrat politiknya. Di masa kini, sangatlah memalukan jika seorang jenderal Angkatan Darat mencitrakan diri dekat dengan kelompok politik tertentu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan