Menuju konten utama

Daftar Obat Keras yang Harus Dihindari Pasien COVID-19 Saat Isoman

Menurut WHO, sejauh ini terdapat sejumlah obat keras yang tidak disarankan penggunaannya bagi pasien COVID-19 yang sedang isoman di rumah.

Daftar Obat Keras yang Harus Dihindari Pasien COVID-19 Saat Isoman
Ilustrasi Isolasi Mandiri. foto/istockphoto

tirto.id - Selama menjalani isolasi mandiri (isoman) terdapat sejumlah obat-obatan yang harus diwaspadai penggunaannya. Obat-obatan yang perlu dihindari umumnya berasal dari golongan obat-obatan keras dan memerlukan resep dokter untuk dapat dikonsumsi.

Tidak sedikit kasus penderita COVID-19 melakukan pengobatan sendiri dan mengonsumsi obat-obatan tertentu tanpa resep dokter. Tindakan ini tentu dapat membahayakan dan menimbulkan risiko kesehatan yang serius.

Dengan adanya kasus semacam ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan tegas menyebutkan bahwa tindakan mengobati diri sendiri dengan obat apapun tidak direkomendasikan. Menurut WHO, sejauh ini terdapat sejumlah obat keras yang tidak disarankan penggunaannya bagi pasien COVID-19 yang sedang isoman di rumah, meliputi:

1. Steroid

Dalam "Pedoman Sementara" yang dirilis oleh WHO September 2020 lalu terdapat izin penggunaan steroid untuk penanganan pasien COVID-19. Namun, penggunaan steroid sendiri harus sangat berhati-hati dan bertanggung jawab untuk menghindari replikasi virus yang lebih agresif.

Selain itu steroid juga harus diwaspadai oleh penderita diabetes karena dapat meningkatkan infeksi sekunder.

"Karena penggunaan steroid secara sembarangan untuk pasien dengan diabetes yang diketahui batasnya, dapat menyebabkan infeksi tambahan atau terobosan infeksi jamur dan bakteri,” terang Dr. Dr Abdul Samad Ansari, direktur perawatan kritis, Nanavati Max Super Speciality Hospital di Mumbai, India.

Sehingga, pasien COVID-19 yang sedang isoman di rumah sebaiknya menghindari penggunaan steroid kecuali jika diresepkan oleh dokter.

2. Hidroksiklorokuin dan Klorokuin

Hidroksiklorokuin dan klorokuin pada dasarnya merupakan obat malaria. Setelah pandemi COVID-19 merebak, obat ini mendapatkan izin penggunaan darurat (EUA) oleh Food and Drug Administration (FDA).

Sayangnya, seiring berjalannya waktu FDA menarik izinnya setelah menemukan bahwa obat tersebut tidak efektif untuk mengobati COVID-19. Bahkan FDA menegaskan bahwa penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin dapat menyebabkan permasalahan pada kesehatan jantung.

3. Lopinavir/Ritonavir

Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) lopinavir/ritonavir merupakan obat yang digunakan untuk terapi lini kedua HIV/AIDS dengan kombinasi antivirus lainnya.

Sebelumnya lopinavir/ritonavir direkomendasikan penggunaannya oleh WHO. Namun, pada Agustus 2020 rekomendasi tersebut dicabut seiring dengan peninjauan bukti dari semua uji coba yang telah dilakukan.

Hasil uji coba menyebutkan bahwa lopinavir/ritonavir sedikit memberikan hasil dan bahkan tidak mengurangi kasus kematian pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan standar perawatan. Namun, penggunaannya juga tidak memberikan bukti yang kuat adanya peningkatan mortalitas.

Penggunaan lopinavir/ritonavir sendiri menimbulkan banyak efek samping, termasuk diare, mual, astenia, nyeri abdomen, muntah, sakit kepala, dispepsia, kembung, insomnia, parastesia, anoreksia, nyeri, depresi, lipodistrofi, ruam, mialgia.

4. Antibiotik

Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk membunuh bakteri dan mengurangi infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Obat ini tergolong keras dan hanya boleh dikonsumsi dengan menggunakan resep dan analisis dokter.

Dalam kasus COVID-19 sendiri antibiotik tidak dapat digunakan untuk membunuh virus corona, melainkan untuk mencegah infeksi bakteri sekunder atau kolateral.

"Secara ilmiah, tidak ada peran antibiotik dalam mengobati penyakit akibat virus corona," terang Suresh Kumar Direktur rumah sakit LNJP Delhi, India.

Sejalan dengan itu, WHO secara tegas membantah bahwa antibiotik efektif mencegah dan mengobati virus corona. Tentunya penggunaan antibiotik secara sembarangan dapat menyebabkan efek berbahaya, seperti resistensi antibiotik.

Kondisi ini menyebabkan bakteri yang menginfeksi tubuh menjadi kebal dan tidak dapat lagi dibunuh dengan antibiotik.

5. Ivermectin

Ivermectin merupakan obat cacing yang digunakan untuk mengobati strongyloidiasis usus karena parasit nematoda stronglyoides stercoralis atau cacing gelang. WHO menyebutkan bahwa obat ini hanya digunakan untuk penelitian pada pasien COVID-19 dan tidak pernah direkomendasikan untuk menyembuhkan COVID-19.

"Sampai lebih banyak data tersedia, WHO merekomendasikan bahwa obat tersebut hanya digunakan dalam uji klinis," catat WHO melalui laman resminya, pada Maret 2021 lalu.

6. Remdesivir

Remdesivir merupakan obat antivirus yang sebelumnya sempat dianggap berpotensi menjadi obat COVID-19. Namun, pada 2020 WHO dengan tegas menyatakan bahwa remdesivir tidak disarankan penggunaannya untuk obat pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.

Hal ini karena remdesivir tidak terbukti dapat menyelamatkan nyawa atau mengurangi kebutuhan penggunaan ventilator.

Obat yang Boleh Digunakan saat Isolasi Mandiri

Tentu pasien COVID-19 boleh mengonsumsi obat-obatan untuk meringankan gejala COVID-19 yang muncul. Namun, obat-obatan yang digunakan bukan obat keras, melainkan obat-obatan yang dijual bebas dan fungsinya membantu meningkatkan kerja sistem imun.

Melansir laman resmi Corona Jakarta, berikut daftar obat-obatan yang boleh dikonsumsi oleh pasien COVID-19 yang sedang menjalani isoman di rumah:

1. Obat demam

2. Vitamin C dengan aturan dosis:

  • Usia 1-3 tahun : maksimal 400mg/hari
  • Usia 4-8 tahun : 600mg/hari
  • Usia 9-13 tahun : maksimal 1200mg/hari
  • Usia 14-18 tahun : maksimal 1800mg/hari
3. Vitamin D3 dengan aturan dosis:

  • Anak berusia dibawah 3 tahun : 400U/hari
  • Anak : 1000U/hari
  • Remaja : 2000U/hari
  • Remaja obesitas: 5000U/hari
4. Zink dengan dosis 20mg/hari selama 14 hari

Baca juga artikel terkait ISOLASI MANDIRI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Yonada Nancy
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Nur Hidayah Perwitasari