Menuju konten utama

Daftar 5 Pahlawan Perempuan Indonesia, Kartini hingga Fatmawati

Kemerdekaan Indonesia tidak hanya diperjuangkan oleh pahlawan laki-laki saja, tetapi juga pahlawan perempuan.

Daftar 5 Pahlawan Perempuan Indonesia, Kartini hingga Fatmawati
Ilustrasi Hari Kartini. tirto.id/Fuad

tirto.id - Perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh pahlawan laki-laki saja, tetapi juga pahlawan perempuan.

Sejak kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah menetapkan sederet nama tokoh perempuan untuk diangkat sebagai pahlawan nasional.

Lima pahlawan perempuan yang paling terkenal diantaranya R.A. Kartini, Fatmawati, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, hingga Cut Nyak Dien.

Kelima tokoh pahlawan tersebut berjasa dalam berbagai hal, mulai dari melawan penjajah hingga memberdayakan kaum anak dan perempuan. Berikut daftar lima pahlawan perempuan yang berjasa untuk Indonesia:

1. R.A. Kartini

R.A. Kartini adalah salah satu ikon pahlawan nasional yang paling terkenal di Indonesia. Mengutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1965.

Ia merupakan putri dari R.M. Sosroningrat yang merupakan patih dan Bupati Jepara kala itu. Kartini dikenal lewat gerakannya memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia.

Kartini percaya, bahwa kaum wanita juga berhak memperoleh pendidikan yang sama seperti pria. Di tahun 1903 ia mendirikan sekolah gadis pertama di dalam benteng Kabupaten Jepara.

Semasa hidupnya. R.A. Kartini menulis pemikiran-pemikirannya dalam banyak surat yang diterbitkan sebagai buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Karya tersebut menginspirasi gerakan-gerakan terkait emansipasi wanita lainnya di dalam negeri.

Sayangnya, Kartini tidak berumur panjang. Satu tahun setelah pernikahannya Kartini tutup usia setelah melahirkan pada 17 September 1904. Tanggal lahirnya, 21 April kini dijadikan hari nasional di Indonesia sebagai pengingat gerakan emansipasi wanita.

2. Fatmawati

Fatmawati adalah ibu negara pertama di Indonesia yang merupakan istri dari proklamator Ir.Soekarno. Mendampingi sosok negarawan di sebuah situasi yang penuh konflik menyebabkan Fatmawati sering terlibat dengan berbagai peristiwa sejarah.

Ia dan Bung Karno bertemu pertama kali di Bengkulu, ketika Soekarno dipindahkan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk diasingkan.

Fatmawati mengikuti rangkaian proses kemerdekaan, mulai dari peristiwa Rengasdengklok, penyusunan naskah proklamasi, pembacaan teks proklamasi, hingga pengibaran Sang Saka Merah-Putih.

Bahkan, Fatmawati adalah sosok yang menjahit bendera pusaka Sang Saka Merah Putih yang kini disimpan di Istana Merdeka.

"Istriku telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan," ungkap Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Fatmawati meninggal pada 14 Mei 1980 dalam usia 57. Melansir Kominfo, sosoknya kini diabadikan dalam Monumen Fatmawati di Simpang Lima Ratu Samban, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu.

3. Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu adalah sosok pahlawan nasional wanita yang terlibat dalam perang melawan belanda. Ia adalah anak dari Kapiten Paulus Tiahahu yang merupakan tokoh terpandang di Nusa Laut, Maluku.

Ia sangat dekat dengan sang ayah, karena ibunya sudah tiada. Martha diketahui sering meminta untuk ikut serta bertempur dengan pasukan Belanda, namun selalu dilarang sang ayah.

Menurut buku yang disusun Dra. Nyonya L.J.H. Zacharias Martha Christina Tiahahu (1981) meskipun dilarang, Martha yang sudah mengetahui rencana sang ayah akhirnya ikut juga.

Keduanya terlibat dalam perlawanan terbesar orang Maluku terhadap Belanda yang selalu disinggung dalam narasi sejarah nasional Indonesia.

Martha tidak hanya berperan sebagai pemikul senjata ayahnya saja, tetapi juga ikut serta dalam memimpin perang, mengadakan tarian perang, serta memperlihatkan kecakapan dan keberaniannya.

Pada 2 November 1817, ayah-anak Tiahahu ditangkap oleh pasukan Belanda. Sang ayah divonis hukuman mati, sedangkan Martha akan dibuang ke Jawa. Martha berusaha membujuk para pejabat Belanda agar dirinya menggantikan ayahnya dalam menjalani hukuman.

Namun, itu tidak pernah dikabulkan. Ayahnya kemudian dieksekusi dengan serbuan tembakan dan ditusuk dengan kelewang. Sedih atas kematian sang ayah, Martha jatuh sakit dalam kurungannya di kapal Eversten dalam perjalanannya menuju tanah Jawa.

Ia menolak makan maupun obat-obatan dari Belanda dan meninggal pada 2 Januari 1818 saat masih berusia 17 tahun. Seperti kebiasaan pelayaran zaman itu, orang yang meninggal langsung dibuang ke laut. Jasad Martha kini bersemayam di sekitar laut Banda.

4. Dewi Sartika

Selain R.A. Kartini, perjuangan terhadap nasib dan harkat kaum perempuan juga digaungkan oleh pahlawan nasional Dewi Sartika. Ia merupakan tokoh yang lahir di Bandung, 4 Desember 1884.

Melansir Dinas Perpustakaan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat, Dewi Sartika adalah putri dari bangsawan serta tokoh nasionalis Raden Somanagara dan pernikahannya dengan Raden Ayu Rajapermas.

Namun, Dewi Sartika tidak tumbuh bersama kedua orang tuanya, karena sang ayah ditangkap untuk diasingkan ke Ternate (Maluku). Dewi Sartika kecil dititipkan kepada adik ipar Raden Ayu Rajapermas dan tinggal di Cicalengka, Jawa Barat.

Dewi Sartika sangat gigih memperjuangkan nasib perempuan di daerahnya, khususnya dari sisi sosial, budaya, dan pendidikan. Ia juga dengan tegas menolak adat kolot yang merugikan wanita serta mengecam poligami. Di tahun 1904, ia mendirikan sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di Bandung.

Melalui sekolah itu ia berusaha mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tanggal yang baik, mandiri, dan terampil. Sekolah istri itu bahkan memperoleh dukungan dari pemerintah Hindia-Belanda yang kemudian namanya diubah menjadi Sekolah Raden Dewi.

Di tahun 1947, peristiwa agresi militer Belanda menyebabkan Dewi Sartika mengungsi. Ia turut terlibat dengan para pejuang yang terus melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan.

Di tengah masa pengungsiannya, Dewi Sartika yang sudah lanjut usia wafat pada 11 September 1947 di Kota Tasikmalaya. Makamnya baru dipindahkan setelah kondisi di Indonesia lebih kondusif dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional sejak 1966.

5. Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien adalah pahlawan nasional Indonesia asal Aceh yang terlibat dalam pertempuaran melawan penjajah Belanda. Ia adalah istri dari pahlawan nasional Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar.

Menurut Madelon H. Szekely dalam Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh, perlawanan Cut Nyak Dhien kepada Belanda di didasari oleh terbunuhnya kedua suaminya.

Suami pertama Cut Nyak Dhien, Teuku Cik Ibrahim Lamnga tewas pada 1878 saat pertempuran melawan Belanda. Ia menyesal karena bukannya ikut berjuang dengan sang suami, namun malah mengungsi. Atas kematian Cut Nyak Dhien bersumpah bahwa suatu saat nanti ia pasti bisa menghancurkan dan mengusir Belanda.

Selanjutnya, Cut Nyak Dhien menerima lamaran Teuku Umar lantaran telah berjanji akan menikahi laki-laki pertama yang membantunya balas dendam kematian Ibrahim Lamnga. Bersama dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien melancarkan rencana pertarungan melawan Belanda.

Kebenciannya terhadap Belanda semakin menjadi setelah kematian suami keduanya Teuku Umar pada 1899. Teuku Umar meninggal karena rencananya menyerang Belanda di Meulaboh diketahui oleh pihak musuh.

Sepeninggal suaminya yang kedua, Cut Nyak Dhien memimpin garda paling depan perlawanan rakyat Aceh. Sayangnya, perjuangannya harus berhenti setelah Belanda menangkapnya pada 6 November 1905.

Informasi keberadaannya dibocorkan oleh orang kepercayaannya sendiri. Cut Nyak Dhien kemudian diasingkan ke tanah Sunda hingga ia meninggal pada 6 November 1908, tepat dalam usia 60 tahun.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Yantina Debora