Menuju konten utama

Daftar 14 Isu Krusial di RKUHP Final yang jadi Sorotan Publik

Ada 14 poin krusial dalam RKUHP yang tengah dibahas DPR bersama pemerintah.

Daftar 14 Isu Krusial di RKUHP Final yang jadi Sorotan Publik
Sejumlah mahasiswa dari beberapa universitas berunjuk rasa terkait pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di kawasan patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Selasa (21/6/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

tirto.id - Naskah final Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini telah diserahkan pemerintah kepada DPR pada Rabu, 6 Juli 2022.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir mengungkapkan bahwa pembahasan RKUHP masih membuka pintu diskusi selain 14 pasal prioritas yang dianggap krusial.

Namun, Adies menegaskan bila ada fraksi yang ingin membahas selain 14 pasal krusial harus menyertakan alasan yang valid.

"Nanti coba kita dengarkan alasannya," katanya seusai rapat kerja dengan Wamenkumham di Gedung DPR RI pada Rabu (6/7/2022).

Adies juga menerangkan bahwa seluruh fraksi di Komisi III sudah sepakat dalam rapat pembahasan RKUHP hanya berfokus pada 14 isu krusial.

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej juga menegaskan bahwa masyarakat bisa menyampaikan pendapat dan masukan terkait RKUHP selama berkaitan dengan 14 pasal krusial dari 632 pasal yang ada.

Draf final yang dilihat pada Kamis (7/7/2022) itu memuat 14 isu krusial yang tengah dibahas oleh eksekutif dan legislatif.

Daftar 14 Pasal Krusial di RKUHP Final

1. Hukum yang hidup

Pasal 2 RKUHP mengakui adanya hukum yang hidup di tengah komunitas masyarakat yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mempidanakan seseorang, jika perbuatan itu tidak diatur dalam KUHP.

Berikut bunyi RKUHP yang mengatur hal tersebut :

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat

beradab.

2. Pidana mati

Ketentuan terbaru mengenai pidana mati disebut dalam pasal 67, 98, 99, 100, 101, dan 102 RKUHP. Dalam pasal 98 dinyatakan bahwa pidana mati dijatuhkan sebagai pidana paling terakhir, untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.

"Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat," demikian bunyi pasal 98 RKUHP.

3. Penyerangan harkat dan martabat presiden

Aturan pidana mengenai penghinaan presiden diatur dalam Pasal 218 dan Pasal 219 di Bab II: Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Pasal 218 disebutkan, ayat 1: "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Kemudian ayat 2: Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Adapun Pasal 219 mengatur pidana mengenai penghinaan presiden melalui alat siar dengan pidana paling lama 4 tahun 6 bulan.

"Pasal 219: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Dalam RKUHP juga dijelaskan bahwa pasal pidana ini hanya bisa digunakan apabila presiden atau wakil presiden melakukan tuntutan secara pribadi. Hal itu diatur dalam Pasal 220 dalam ayat 1 dan 2:

"(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219

hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden."

Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej bahwa pasal penghinaan presiden ini perlu dicantumkan dalam RKUHP demi menjaga muruah dan kehormatan presiden.

Agar pasal ini tidak bias dengan kritik dirinya menjanjikan akan ada penjelasan lebih lengkap mengenai makna kritik dan perbedaannya dengan penghinaan.

"Ini masuk dalam 14 pasal krusial dan nanti di dalam undang-undang akan kami berikan penjelasan apa itu kritik sesuai dengan makna dari Kamus Bahasa Indonesia," kata Edward di Gedung DPR RI pada Rabu, 6 Juli 2022.

4. Pernyataan pemilikan kekuatan gaib

Pasal 252 RKUHP mengatur hukuman bagi orang yang menyatakan diri memiliki kekuatan gaib, sebagaimana berikut:

(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

5. Dokter dan dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin

Pemerintah menghapus pasal 276 RKUHP yang mengatur tentang pemidanaan dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaan tanpa izin.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan penghapusan pasal tersebut dilakukan karena telah diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran.

"Mengapa pemerintah mengusulkan untuk dihapus? Ini memang ada selain dari putusan Mahkamah Konstitusi juga dalam pasal 276 sudah diatur di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Sehingga untuk tidak menimbulkan duplikasi ini kami usulkan untuk dihapus," kata Edward dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI.

6. Advokat curang

Selain pasal 276, pemerintah juga memutuskan untuk menghapus Pasal 282 RKUHP mengenai pidana penjara lima tahun untuk advokat yang menjalankan pekerjaannya secara curang, yaitu mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan kliennya, atau mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara.

Edward mengatakan pasal tersebut dihapus demi menghindari perlakuan diskriminatif terhadap advokat.

"Mengapa itu kami hapus? Karena undang-undang itu kan tidak boleh bersifat diskriminatif. Kalau hanya terhadap advokat, maka pertanyaannya aparat penegak hukum yang lain gimana?" kata Edward.

7. Unggas yang merusak kebun

Pasal 278 RKUHP mengatur tentang pemidanaan orang yang dianggap membiarkan ungnggasnya berkeliaran dengan bunyi sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara.

8. Penghinaan terhadap pengadilan

Pemerintah mengubah formulasi pada Pasal 280 yang mengatur mengenai penghinaan terhadap pengadilan. Terutama pada huruf c yang menyatakan setiap orang yang tanpa izin merekam, mempublikasikan secara langsung, atau memperbolehkan untuk mempublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung.

Berikut bunyi pasal 280 RKUHP:

Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:

a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;

b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau

c. tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.

9. Penodaan agama

Pasal 302 RKUHP mengatur setiap orang yang menyatakan perasaan atau melakuan perbuatan bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama di Indonesia mendapatkan pidana maskimal 5 tahun penjara, sebagaimana bunyi pasal 302 berikut :

Setiap orang di muka umum yang:

a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau

c. menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi,

terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

10. Penganiayaan hewan

Pasal 340 ayat 1 RKUHP mengatur tentang penganiayaan hewan dengan ancaman maksimal 1 tahun penjara dengan kategori sebagaimana dirinci dalam huruf a, b dan c sebagai berikut:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, setiap orang yang:

a. menggunakan dan memanfaatkan hewan di luar kemampuan kodratnya yang dapat merusak kesehatan, mengancam keselamatan, atau menyebabkan kematian hewan;

b. memberikan bahan atau obat-obatan yang dapat membahayakan kesehatan hewan; atau

c. memanfaatkan bagian tubuh atau organ hewan untuk tujuan yang tidak patut

11. Alat kontrasepsi dan pengguguran kandungan

Pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan perubahan pada Pasal 412, 413, dan 414 yang melarang menunjukkan, menyiarkan dan menawarkan alat kontrasepsi pada anak. Pasalnya pemerintah menilai ketentuan ini penting untuk melindungi anak agar tidak terpapar seks bebas.

Namun demikian pemerintah memberikan pengecualian untuk pendidikan, termasuk apabila yang melakukan adalah relawan kompeten yang ditunjuk pejabat berwenang. Sebagaimana diatur dalam pasal 414 RKUHP berikut:

(1) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.

(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan.

(3) Petugas yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk relawan yang kompeten yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang.

12. Pengguguran kandungan

Pasal 467, 468 dan 469 RKUHP mengatur tentang pemidanaan aborsi.

Disebutkan dalam pasal 467 bahwa pelaku aborsi dapat dipidana dengan hukuman 4 tahun penjara kecuali aborsi yang dilakukan akibat pemerkosaan dan atau akibat kedaruratan medis. Berikut bunyi pasal 467:

(1) Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat) tahun.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 12 (dua belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.

Sedangkan pada pasal 468 disebutkan bahwa pihak yang melaksanakan tindakan aborsi dapat dipidana minimal 5 tahun penjara. Berikut bunyi pasal 468:

(1) Setiap orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan:

a. dengan persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau

b. tanpa persetujuan perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Lalu pasal 469 RKUHP mempertegas hukuman pada pasal 468 jika perbuatan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan, sebagaimana berikut:

Pasal 469

(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468, pidana dapat ditambah 1/3 (satu

per tiga).

(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.

(3) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan aborsi karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 ayat (2) tidak dipidana.

13. Penggelandangan

Pasal 429 RKUHP mengatur pemidanaan orang yang bergelandangan di jalan dengan hukuman berupa denda, sebagaimana bunyi pasal 429 berikut:

Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.

Pemerintah beranggapan bahwa ketentuan mengenai penggelandangan tetap perlu diatur dalam RKUHP mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012 yang menyebutkan pelarangan hidup bergelandangan tidak berkaitan dengan kewajiban negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

14. Perzinaan, kohabitasi dan pemerkosaan

RKUHP mengatur mengenai pidana perzinaan dalam 3 pasal yaitu Pasal 415, Pasal 416 dan Pasal 417.

Dalam Pasal 415 mengatur mengenai pidana perzinaan bagi suami istri dengan pidana paling lama satu tahun.

Pasal 415

(1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau

b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Adapun Pasal 416 mengatur mengenai pidana 'kumpul kebo' atau kohabitasi dan mencabut kewenangan kepala desa yang bisa menjadi pelapor dan hanya dibatasi suami atau istri pelaku dan orang tua serta anak dari pelaku.

Pasal 416

(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau

b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang

pengadilan belum dimulai.

Dalam pasal yang terakhir pidana bagi pelaku hubungan inses baik kepada keluarga dengan garis hubungan lurus atau ke samping.

Pasal 417

Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Baca juga artikel terkait POLEMIK RKUHP atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra & Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Fatimatuz Zahra & Irfan Amin
Penulis: Fatimatuz Zahra & Irfan Amin
Editor: Fahreza Rizky