Menuju konten utama

Daerah-Daerah Membatasi Penggunaan Plastik, Akan Efektifkah?

Pembatasan saja tak cukup, harus ada sistem pengelolaan yang profesional.

Daerah-Daerah Membatasi Penggunaan Plastik, Akan Efektifkah?
Wisatawan beraktivitas di Pantai Kedonganan, Bali, Rabu (17/1/2018). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

tirto.id - Pada 1 Januari 2019, Pemerintah Kota Denpasar menerbitkan aturan untuk membatasi penggunaan sampah di daerahnya. Menurut Peraturan Wali Kota Denpasar Nomor 36 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik, penggunaan kantong plastik di toko-toko modern dan pusat perbelanjaan dilarang di kota tersebut.

Seperti diberitakan Antara, pemkot menyatakan sampah plastik mulai mencemari sungai dan berimbas ke laut, sehingga akan mencemari biota laut. Menurut Kepala Subbag Humas Pemerintah Kota Denpasar Wayan Hendaryana, pembatasan sampah plastik tersebut telah dilakukan di supermarket, toko modern, serta pasar tradisional.

“Cuma pasar tradisional dipantau tiga hari masih ada beberapa yang menggunakan plastik,” tutur Hendar saat dihubungi Tirto.

Hendar mengatakan pemkot mempertimbangkan sampah plastik yang susah terurai. Oleh karena itu, Pemkot Denpasar menyiapkan sanksi administratif berupa surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga untuk supermarket dan toko modern yang masih menggunakan plastik.

“Jika sudah mendapat surat peringatan ketiga akan dipertimbangkan untuk izin usahanya. Untuk pasar tradisional akan dievaluasi dulu, Pergub memberikan waktu sampai 6 bulan,” ucap Hendar.

Sebelum Denpasar, Bogor telah memberlakukan aturan serupa yang tertuang dalam Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Dilansir situs resmi Pemerintah Kota Bogor, aturan itu diterapkan melalui program Botak atau Bogor Tanpa Kantong Plastik.

Wali Kota Bima Arya menyampaikan bahwa jumlah sampah di Kota Bogor setiap hari mencapai 650 ton sampah per hari, 5 persennya atau 32,5 ton merupakan plastik. Dari jumlah tersebut, sampah plastik dari pusat perbelanjaan modern yang ada di Kota Bogor hanya 1,7 ton, sehingga masih ada lebih dari 30 ton sampah plastik yang belum terurus.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor Elia Buntang mengatakan saat ini mereka masih menyasar tempat-tempat yang mudah diatur.

“Jadi kita [lakukan] ini dulu, kita pelan-pelan ini akan jalan, yang paling sederhana diatur. Kalau masyarakat sudah mau terbiasa di mobil atau di motor naruh goodie bag kan lebih gampang,” kata Elia kepada Tirto.

Meski begitu, Pemkot Bogor masih memperkenankan penggunaan kantong plastik berlabel SNI dan eco label hingga akhir Februari 2019. Elia pun optimistis peraturan ini akan berjalan, meski pemerintah pusat belum berkomitmen soal pengelolaan sampah plastik.

"Kementerian yang melakukan plastik berbayar bukan enggak efektif, [tetapi] kementerian yang enggak berkomitmen. Kalau kami, kenapa kami keluarkan kebijakan? Karena enggak ada yang bisa intervensi kita,” tutur Elia.

Namun hingga kini Pemerintah Kota Bogor belum menetapkan sanksi terkait aturan tersebut. “Enggak usah ditanya sanksinya apa. Sanksi itu perangkat terakhir kalau kita sudah capek melakukan sosialisasi, memberikan pengarahan, penyuluhan. Dan terbukti dari 3 bulan sosialisasi, target pertama ini jalan, kan,” ucapnya.

Selain aturan tingkat kota yang dibuat oleh Denpasar dan Bogor, Pemerintah Provinsi Bali juga membuat kebijakan serupa dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.

Diwartakan Antara, Gubernur Bali Wayan Koster melarang penggunaan tiga bahan yang terbuat dari plastik yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik.

“Pergub ini bertujuan untuk menjaga kesucian, keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup. Di samping itu menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat, akibat dampak buruk dari penggunaan plastik sekali pakai (PSP) dan mencegah pencemaran dan atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan PSP,” kata Wayan Koster, seperti dikutip Antara.

Dalam aturan tersebut, Pemerintah Provinsi Bali tak hanya melakukan pembatasan timbulan sampah plastik di toko modern dan pusat perbelanjaan saja, tapi juga meminta kepada produsen, distributor dan pemasok, serta pelaku usaha untuk menyediakan pengganti plastik sekali pakai.

Masalah Selain Plastik

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, komposisi terbesar sampah non-organik di Denpasar pada periode 2017-2018 bukan sampah plastik. Sampah plastik memiliki persentase 7,04 persen, lebih kecil dibanding sampah jenis lain seperti kertas (62,61 persen) dan logam (9,12 persen).

Begitu pula dengan persentase sampah di Provinsi Bali pada tahun 2017-2018. Plastik menyumbang porsi 13,92 persen, di bawah persentase kertas sebanyak 15,23 persen.

Meski sampah kertas dianggap lebih mudah didaur ulang, menurut Katalog Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2017 (PDF), industri bubur kertas makin meningkat. Peningkatan tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan luar negeri, selain domestik.

Peningkatan itu membawa tekanan terhadap kawasan hutan karena meningkatnya kebutuhan akan kayu. Dalam laporan tersebut, Hutan Tanaman Industri (HTI) telah mengkonversi hutan alam secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan ekspor bubur kertas.

Seharusnya HTI yang ditebang itu ditanami kembali dalam kurun waktu 8 tahun. Namun, pada kenyataannya realisasi penanaman hanya 23,1 persen saja. Sisanya menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif, bahkan dimanfaatkan untuk fungsi lain.

Infografik aturan penggunaan plastik

Infografik aturan penggunaan plastik

Selain sampah plastik dan kertas, sampah logam juga layak mendapat perhatian. Menurut penelitian yang dilakukan Zainal Arifin bersama dua rekannya yang dipublikasikan dengan judul “Heavy Metal Contamination in Indonesian Coastal Marine Ecosystems: A Historical Perspective”, logam berat dapat mengontaminasi air laut. Ia terbagi menjadi dua kategori, yakni logam dalam bentuk terlarut dan logam yang mengikat dengan partikel lain atau sedimen tersuspensi.

Konsentrasi logam yang tinggi bisa berbahaya bagi kelangsungan makhluk hidup seperti pencemaran logam berat pada kerang hijau yang terjadi di sepanjang pantai Jakarta.

Pengelolaan Sampah Masih Kurang

Peneliti Pencemaran Laut Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Reza Cordova mengatakan bahwa permasalahan sampah yang muncul di Indonesia saat ini karena masyarakat masih menganggap sampah sebagai masalah estetika.

Selain itu, Reza juga menyampaikan bahwa regulasi terkait sampah saat ini sudah baik, tapi dalam praktiknya belum teroptimalkan.

“Konsumsi plastik di Indonesia jauh lebih rendah daripada negara tetangga seperti Singapura, tapi ketika bicara terkait pengelolaan kalah dengan Singapura. Mereka memiliki regulasi dan benar-benar dilaksanakan, dan di kita baru bicara regulasi, tapi implementasi belum 100 persen,” ungkapnya.

Bagi Reza, permasalahan sampah plastik di Indonesia punya tantangan tersendiri. Masyarakat pada umumnya masih menganggap bahwa plastik hanya benda sekali pakai. Selain itu, hingga saat ini produsen atau penghasil sampah plastik juga belum memiliki komitmen jelas untuk mengembalikan seluruh plastiknya ke proses daur ulang.

“Jadi kalau masyarakat atau perusahaan produksi punya produk plastik, harus mengembalikan lagi ke recycle. Masalahnya juga biaya recycle lebih mahal dibandingkan biaya produksi itu,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait SAMPAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani