Menuju konten utama

Malam Jahanam di Tenabang: Momen-Momen Menentukan Menuju Kerusuhan

Insiden-insiden kecil tapi menentukan perubahan perilaku massa dan aparat -- dari sanalah aksi damai menjadi kerusuhan yang meluas.

Malam Jahanam di Tenabang: Momen-Momen Menentukan Menuju Kerusuhan
Aksi di depan Bawaslu mulai ricuh jelang malam di Sarinah, Jakarta pada Rabu (22/5/19). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Saat hari masih terang, polisi sudah meminta Aksi 21 Mei di sekitar kantor Bawaslu di Jl. Thamrin berakhir sebelum pukul 18.00, meski UU 9/1998 memperbolehkan hingga 22.00. Demonstran melobi agar diperbolehkan aksi hingga salat tarawih berakhir. Permintaan demonstran yang menolak kemenangan Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019 itu berhasil.

Usai tarawih, suasana masih lengang. Tameng polisi dijajar di atas aspal. Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy, Kapolres Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan, dan Dandim 0501/JP Letkol TNI Inf Wahyu Yudhayana berkumpul. Mereka menagih hasil negosiasi. Para pejabat hankam Jakarta itu dibantu Juru Bicara FPI Munarman.

Pendemo menyurut secara perlahan. Antara jam 20.30 hingga 22.00, situasi di sekitar Bawaslu terlihat kondusif.

Polisi menganggap Aksi 21 Mei berakhir. Bahkan sempat terlihat apel pembubaran pasukan.

"Kita semua merasa bersyukur dan hari ini atau malam ini, kita sudah selesai melaksanakan kegiatan. Artinya, sama-sama dari unjuk rasa dan dari petugas, kita sama-sama komunikasi dan kita bisa menyelesaikan dengan baik," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono di Gedung Bawaslu.

Ucap syukur Argo ternyata mendahului takdir.

Satu jam setelahnya, sekitar pukul 22.00, saat pendemo hanya tinggal puluhan, mendadak seratusan massa baru muncul ke depan Gedung Bawaslu. Massa baru ini tampil berbeda: Sebagian memakai colekan pasta gigi di kantong mata. Bendera yang mereka bawa merah putih dan hitam. Dominan memakai baju koko putih dan kopiah.

Mereka mulai berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk polisi. Beberapa merusak kawat berduri sepanjang 1,5 meter yang dipasang aparat keamanan di taman bunga, di sela dua arah Jalan MH Thamrin. Atmosfer di sekitar Sarinah meningkat.

Sekitar pukul 22.30, Wakapolres Jakarta Pusat AKBP Arie Ardian Rishadi mendatangi satu titik kawat berduri guna memeriksa keadaan. Melihat ada kawat berduri yang rusak, Arie terlihat marah.

“Kenapa, kok, kalian rusakin?” tanya Arie.

Tapi, massa seakan tak peduli, malah mencemooh Arie dari seberang kawat berduri.

"Tembak saya, tembak!"

"Kami siap mati! Selamat tinggal!"

"Jangan takut."

Arie kembali berjalan ke gerbang Bawaslu. Ia terlihat berbicara dengan pihak kepolisian lain. Salah satu ajudan Arie dari Polres Jakarta Pusat tetap di lokasi dan mencoba menenangkan massa dari seberang kawat berduri. Ia terlihat sabar, mencoba berbicara perlahan-lahan.

"Ya. Ya. Ya. Sabar."

Namun, massa mencemooh.

"Jangan ya, ya, ya aja lo!"

"Kenapa polisi berkhianat?"

Akhirnya, Wakapolres Jakpus Arie kembali. Ia mengeluarkan gawai dan merekam ke arah wajah-wajah massa yang mencemoohnya. Massa malah menantang. Arie terlihat berang.

"Kalian ini dibiarkan ngelunjak. Kalian rusak properti pemerintah ini!"

"Ini dibeli oleh rakyat!"—terdengar balasan dari arah massa.

Arie kembali berjalan ke arah gerbang Bawaslu. Namun, massa terus memancing. Terdengar lagi teriakan:

"Tembak. Tembak saja. Ayo tembak, Pak, kalau berani. Siap mati rakyat. Jangan takut ini rakyat. Bapak tembak juga enggak apa-apa."

Rekaman suara massa di momen krusial sekitar pukul 22.30

Kemudian, massa menyanyikan yel-yel khas suporter bola. Menyanyi sambil loncat-loncat dan menepukkan tangan di atas kepala, membentuk irama layaknya di tribun stadion. Yel-yel ini sering dipakai suporter sepakbola untuk menyindir Bhayangkara FC, klub milik Koperasi Zebra Jaya yang berisi mantan polisi.

"Tugasmu mengayomi. Pak Polisi, Pak Polisi jangan ikut kompetisi," terdengar nyanyian dari arah massa.

Tak lama setelah Arie tiba di barisan polisi, sekitar pukul 22.38, puluhan polisi serentak bergerak maju. Polisi berbaju putih bercelana khaki berlari ke arah massa. Disusul polisi berseragam cokelat dan memakai helm membawa tameng putih transparan dan pentungan. Sebagian lain meloncati kawat berduri yang dirusak massa.

Massa kocar-kacir. Berlarian ke pelataran Gedung Sarinah dan Jalan Wahid Hasyim, arah Jalan Sabang. Massa yang ditangkap ada yang dirangkul, dijambak, digendong, hingga diseret ke dalam Gedung Bawaslu.

Massa yang semula giras berubah mengiba, "Ya Allah. Jangan, Pak. Ya Allah."

Sementera massa yang ditangkap tapi lolos dari polisi, digotong ke dalam ambulans.

Perilaku anggota Brimob terlihat lebih agresif dibandingkan sebelumnya. Bahkan, beberapa helm di motor yang tertinggal massa dibuang dan dilempar begitu saja oleh para anggota Brimob.

"Bubar!"

"Apa yang kau bela mati-matian?"

"Cepat pulang sana!"

Seorang demonstran mengajak duel polisi. "Buka seragamnya saja, lepas. Satu lawan satu," ujar pemuda itu.

Di Jalan Sabang, sekitar pukul 23.00, massa masih berkumpul. Mereka berniat kembali ke depan Gedung Bawaslu. Sebagian berupaya bernegosiasi dengan pihak Brimob mengenai beberapa motor milik massa yang tertinggal di Jalan Wahid Hasyim.

Pihak Brimob meminta massa mengambil sepeda motor di Polda Metro Jaya keesokan harinya saja, tapi massa menolak. Pihak Brimob akhirnya mempersilakan beberapa orang mengambil sepeda motor, melewati barikade aparat, dengan lebih dulu memeriksa tubuh mereka.

Sementara di sekitar Bawaslu, sekitar pukul 23.30, penangkapan terhadap massa tak membuat mereka menyurut. Kendati sempat terpukul mundur, mereka kembali maju.

Saat itu reporter Tirto sempat mendengar terjadi negosiasi antara aparat dan massa yang meminta sebagian massa yang ditangkap dibebaskan. Namun, Tirto tidak melihat proses negosiasi itu berlangsung.

Antara pukul 23.00 hingga 23.30, Brimob kembali menyisir perkantoran sekitar titik aksi. Ketika di gedung Sarinah, polisi-polisi berteriak, “Bubar sekarang! Kalau tidak ada kepentingan, pulang saja! Kalian dengar, enggak?”

Tepat setelah hari berganti, Rabu, 22 Mei, sekitar pukul 00.10, polisi mengancam akan menembakkan gas air mata.

Namun, massa bergeming. Polisi juga tak lekas bergerak, berusaha menunda ancaman menembakkan gas air mata.

Sekitar pukul 00.25, polisi kembali menyampaikan ancaman hendak melontarkan gas air mata. Polisi yang membawa amunisi gas air mata mulai bergerak. Menyaksikan itu, massa perlahan mundur. Namun, masih ada sejumlah massa yang bergeming. Kembali polisi memberi peringatan.

Akhirnya, polisi menembakkan gas air mata untuk pertama kali usai memberikan peringatan sebanyak tiga kali.

Saat itu, ada massa yang datang dari Jalan Wahid Hasyim menuju Tanah Abang. Pada dua tempat itu, tembakan gas air mata dibalas lemparan bongkahan batu dan petasan.

Antara pukul 00.30 hingga 01.00, eskalasi meningkat drastis. Kini bukan lagi provokasi verbal, melainkan tindakan fisik dilawan tindakan fisik. Lemparan batu. Benda-benda keras. Gas air mata.

Sekitar pukul 01.00, polisi semakin agresif bergerak maju. Dari samping Gedung Bawaslu ke arah Pasar Tanah Abang.

"Pasukan maju lagi," seru Kapolres Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan memimpin anggotanya, sekitar pukul 01.13. "Ayo jalan."

Di sisi seberang, massa terus mundur sembari secara aktif melawan dengan melempar benda-benda keras. Sekitar 01.30, massa sudah terdesak hingga Pasar Tanah Abang.

Namun, justru di situlah kericuhan mengganas. Api mulai memercik di salah satu titik di Pasar Tanah Abang, sekitar Blok A.

Saat api berpendar, berupa pembakaran maupun mercon dan kembang api tembak, masih di sekitar pukul 01.30, polisi mulai mengerahkan water cannon untuk memadamkan api di Blok A Pasar Tanah Abang. Kendaraan water cannon ini disiapkan di ujung Jalan Wahid Hasyim, tepatnya di samping Pasar Tanah Abang, di dekat titik berkumpul massa.

Di Tanah Abang inilah perlawanan massa memasuki babak baru. Tidak lagi mengandalkan batu, melainkan mulai melempari polisi dengan mercon dan kembang api tembak.

Polisi sekali lagi masih berupaya membujuk massa untuk bubar.

“Silakan kembali ke rumah Anda. Warga sudah cukup,” kata Kapolres Jakarta Pusat Kombes Harry Kurniawan, sekitar pukul 01.30.

Tapi, massa justru bertahan di bawah underpass Pasar Tanah Abang. Belum ada gelagat dari mereka menuruti permintaan polisi. Dari bawah underpass itulah terjadi bentrokan sengit.

Di titik itu, sekitar pukul 01.45, lontaran bom molotov beterbangan. Polisi terlihat kesulitan.

Di tempat yang lain, sekitar pukul 02.00, kepolisian mendatangkan pasukan tambahan dari Brimob. Beberapa bus yang berisi personel Brimob tiba di dekat Bawaslu. Reporter Kompas TV menyebut mereka didatangkan dari Depok.

Tambahan pasukan ini menjelaskan: situasi yang diharapkan mendingin berubah panas, dan bentrokan berpotensi kian membesar.

Di Tanah Abang sendiri, hampir bersamaan dengan kedatangan pasukan tambahan dari Brimob, sekitar pukul 02.00, massa yang semula bertahan di underpass sempat membuat polisi bergerak mundur. Salah satu penyebabnya: masifnya lontaran molotov.

Pada pukul 02.30, reporter Tirto sempat mendengar seorang remaja meminta molotov. "Bang, tolong bawain molotov-molotov lagi ke sini," kata remaja berusia sekitar 17-an tahun itu kepada rekannya melalui ponsel.

Pada saat yang sama, sekitar pukul 01.55, bentrokan juga terjadi di Jalan Sabang, hanya berjarak 216 meter dari Gedung Bawaslu. Massa mengenakan masker dan membawa batu. Di lokasi ini polisi pun menembakkan gas air mata.

Eskalasi di Sabang tak lekas menyurut. Sekitar pukul 02.30, polisi akhirnya menembak dengan peluru karet. Sejumlah polisi dengan tameng dan helm merangsek maju membubarkan massa. Di depannya, sejumlah polisi bersenjata dengan peluru karet melepaskan tembakan ke arah massa.

Arah tembakan semula ke atas, kemudian ke arah kerumunan massa. Tembakan dengan peluru karet berlangsung sekitar 10 menit. Kemudian, massa perlahan mundur.

Namun, eskalasi di Tanah Abang masih terus panas. Bermula dari Gedung Bawaslu, mundur ke Tanah Abang, bentrokan meluas hingga ke Petamburan, ke arah Kebon Sirih di sekitar Hotel Milenium, bahkan jauh di belakang hingga ke Slipi.

Bentrokan terus berlanjut hingga matahari menyembul di langit Jakarta. Kerusuhan secara sporadis berlangsung hingga Kamis pagi, 23 Mei, di berbagai titik—terutama dan terbanyak—di Jakarta Pusat.