Menuju konten utama

Cuti Kerja demi Kesehatan Jiwa

Seorang perempuan justru membuktikan bahwa kesehatan mental bukanlah hal tabu, bahkan menjadikannya alasan untuk mengambil cuti.

Cuti Kerja demi Kesehatan Jiwa
Ilustrasi stres. FOTO/Istock

tirto.id - Cuitan Madalyn Parker pada 1 Juli silam menarik perhatian khalayak dan menjadi viral di berbagai media. Gara-garanya, web developer dari Michigan ini mempublikasikan email notifikasi cuti berobat mentalnya kepada rekan-rekan kerja, termasuk kepada sang bos. Tak dinyana, respons bos Parker begitu positif. Dalam tangkapan layar yang disertakan Parker di Twitter, bosnya berkata:

“Hei Madalyn,

Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kamu telah mengirimkan email seperti ini. Setiap kali kamu melakukannya, saya menggunakan email ini sebagai pengingat pentingnya memanfaatkan cuti sakit untuk kepentingan kesehatan mental – Saya tidak percaya hal ini belum menjadi praktik standar di semua organisasi. Kamu adalah contoh untuk kami semua, dan kamu membantu mematahkan stigma sehingga kita bisa menjadi diri sendiri di tempat kerja.”

Cuitan Parker di-retweet sebanyak 15 ribu kali, disukai 43 ribu kali, dan mendapat tanggapan dari 477 warganet.

Isu kesehatan mental memang kerap kali dikesampingkan dalam pembicaraan sehari-hari. Tidak sedikit yang menganggapnya tidak pantas untuk dibicarakan, menyiratkan aib seseorang, atau bahkan menyamakannya dengan perubahan suasana hati biasa yang tidak menuntut terapi atau perawatan intensif.

Dalam situs The Guardian diungkapkan, studi dari Time to Change—lembaga asal Inggris yang memperhatikan isu-isu kesehatan mental—menunjukkan bahwa 67 persen responden mengaku takut menyatakan diri mengidap gangguan kejiwaan kepada perusahaan atau calon perusahaan tempatnya akan bekerja. Mereka takut, begitu mengungkapkan masalah kesehatannya, kesempatan kerja, atau naik jabatan akan melayang.

Mendapati fakta seperti ini, tak heran bila cuitan Parker memunculkan simpati dari berbagai pihak, meski tak dapat ditampik, masih ada saja yang tak terkesan dan cenderung meremehkannya.

Dilansir attn, pemilik akun @achohenNY mengomentari cuitan Parker, “Tetapi liburan juga untuk kesehatan mental. Jadi, apa sebenarnya perbedaan cuti sakit dan cuti liburan? Mestinya hanya ada satu kebijakan cuti.” Parker pun menjawab bahwa dua hal tersebut merupakan hal yang tidak sama. Ia sempat memanfaatkan cuti sakit selama sebulan penuh pada musim panas sebelumnya dan ia mengaku masih membutuhkan cuti liburan untuk tujuan berbeda.

Pandangan Parker disepakati pemilik akun Twitter @carnivorous8008 yang menyatakan, “Setuju. ‘Saya ingin pergi dengan keluarga’ dan ‘saya butuh terlepas dari hal-hal yang menekan saya’ adalah dua hal yang cukup berlainan. Saya ingin perusahaan saya sama seperti perusahaan tempat kamu bekerja.”

Timbulnya skeptisisme atau pandangan meremehkan isu kesehatan mental yang dimiliki seseorang tidak terlepas dari minimnya sosialisasi mengenai hal ini dan menyebarnya mitos-mitos atau stigma tentang penderita gangguan kejiwaan. Ditulis situs Canadian Mental Health Association, terdapat sederet mitos yang dilekatkan kepada mereka yang mengalami problem mental.

Pertama, orang dengan problem mental berbahaya dan cenderung menjadi pelaku kekerasan. Faktanya, tidak semua penderita sesuai dengan mitos ini. Sebaliknya, merekalah yang kerap menjadi korban. Dengan cara meminggirkan penderita gangguan kejiwaan, orang-orang sebenarnya telah melakukan tindak kekerasan terhadap mereka.

Pola asuh orangtua juga disebut-sebut sebagai penyebab utama timbulnya masalah mental. Meski hal ini tak salah, masih banyak faktor lain yang mungkin membuat seseorang terganggu jiwanya. Faktor genetis, biologis, lingkungan, dan pengalaman hidup tertentu berkontribusi terhadap situasi mental seseorang.

Tak sedikit orang yang dibesarkan dengan pola asuh baik mengalami gangguan kejiwaan. Bisa jadi perundungan di sekolah atau tempat kerja, serta pengalaman-pengalaman traumatis seperti paparan kondisi perang atau aksi kekerasan lainlah yang memunculkan problem-problem kejiwaan mereka.

Selain itu, sering kali orang dewasa menganggap perubahan sikap anak-anak atau remaja adalah bagian dari perkembangan yang lumrah. Pengabaian terhadap gejala depresi mereka pun tak terelakkan. Akibatnya, anak-anak dan remaja kian parah kondisi jiwanya.

Orang dewasa yang meremehkan perubahan sikap mereka juga malah membuat anak-anak dan remaja resisten untuk membicarakan masalahnya atau bahkan mendatangi para pakar psikologi untuk berobat. Pada akhirnya, masalah mental yang dialami semasa remaja dapat terakumulasi hingga dewasa, dan bukan tidak mungkin meledak pada saat mereka bekerja di tempat penuh tekanan.

Kendati kerap kali berada di prioritas buncit, isu kesehatan mental tak layak dipandang sebelah mata. Berdasarkan laporan Riskesdas pada 2013, di Indonesia, prevalensi gangguan jiwa berat adalah 1,7 per 1.000 penduduk. Jumlah penderita terbesar ditemukan di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.

Yang memprihatinkan dari kurangnya sosialisasi tentang penanganan gangguan kejiwaan, tidak sedikit orang yang memasung anggota keluarga penderita problem mental berat. Sebanyak 14,3 persen penderita dilaporkan pernah dipasung keluarganya dan jumlah penderita gangguan kejiwaan yang pernah mengalami ini paling banyak ditemukan di perdesaan (18,2 persen). Sementara, prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia adalah sebesar 6 persen.

Mirisnya, di negara ini baru ada sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 orang), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 orang). Dengan keterbatasan semacam ini, peran orang-orang terdekat penderita sangat dibutuhkan untuk meringankan penderitaan orang-orang dengan gangguan kejiwaan di luar perawatan medis.

Infografik Mitos fakta tentang kesehatan mental

Terkait dengan kebijakan cuti yang diisyaratkan dalam kisah Madalyn Parker, sayangnya di Indonesia belum ada peraturan spesifik yang menyebutkan pekerja boleh meninggalkan kantor untuk pengobatan mental. Mengerucut ke kebijakan perusahaan-perusahaan di berbagai negara, belum jamak dikenal cuti seperti ini. Baru segelintir bisnis yang menggalakkan kesadaran terhadap penyakit mental. EY (dulunya Ernst & Young) adalah salah satunya.

Diwartakan Forbes, perusahaan konsultan bisnis ini merilis program bernama “r u ok?” sejak Oktober 2016 yang bertujuan melepaskan stigma-stigma terhadap karyawan penderita gangguan kejiwaan. Dr. Sandra Turner, pemimpin program tersebut, menyatakan bahwa “r u ok?” telah meraup sukses sejak tiga bulan pertama peluncurannya. Ada sekitar 30,2 persen lonjakan jumlah telepon ke EY Assist Line terkait isu kesehatan mental. Artikel-artikel terkait isu ini pun telah dibaca lebih dari 23.000 kali dan situs mereka dikunjungi sebanyak 21.000 kali.

Turner juga menambahkan, orang-orang perlu memahami bahwa perjuangan yang dilalui orang-orang berproblem mental tidak melulu mengganggu atau memengaruhi pekerjaannya. Dengan berubahnya cara pandang mengenai kesehatan mental, karyawan tak lagi mesti menutupi masalahnya dan perusahaan tak harus khawatir dan diskriminatif dalam mempekerjakan orang-orang dengan rekam jejak sebagai pengidap gangguan mental.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani