Menuju konten utama

Curhat Warga soal Harga Mi Instan Naik: 'Rp10 Ribu Dapat Berapa?'

Isu harga mi instan naik menuai berbagai reaksi dari masyarakat. Apa saja keluhan masyarakat jika harga mi instan akan naik?

Curhat Warga soal Harga Mi Instan Naik: 'Rp10 Ribu Dapat Berapa?'
Mi Instan di Sebuah Swalayan. foto/Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Jelang akhir bulan, Baihaqi (19) hanya bisa gigit jari jika kiriman uang dari keluarga menipis. Mahasiswa UIN Bandung ini bertahan dengan menstok mi instan dengan sisa uang yang ada. Ketika persediaan beras dan sembako habis, dengan uang Rp10.000 di kantong Baihaqi masih bisa membeli mi instan.

“Sebelumnya kan tahun lalu itu [beli mi instan] masih Rp2.500 per bungkus, sekarang sudah Rp3.000-an. Dulu kalau punya uang Rp10.000 dapat empat bungkus lumayan buat stok di kosan. Sekarang kan cuma dapat tiga ya," ujar Baihaqi kepada Tirto, Kamis (11/8/2022).

Baihaqi juga memilih menstok mi instan karena mudah disimpan, harganya murah dan mudah mengolahnya. "Kalau stok yang lain seperti telur kan enggak bisa karena enggak punya kulkas,” tambahnya.

Selain harganya yang murah, mi instan bersaing dalam hal rasa dan menjadi stok makanan atau hanya sebagai variasi menu.

“Kalau mau kenyangnya cepet dan enggak lama ya masak mi. Apalagi kalau mau Gofood kan mahal, ke warteg juga harus jalan ke luar kosan. Kalau nyetok mie bisa langsung makan,” kata dia.

Selain Baihaqi, ada pula pemilik kios mi instan di kawasan Cibiru, Kota Bandung, Ahmad (30) yang juga khawatir terkait isu kenaikan harga mi instan. Mayoritas pelanggannya buruh, yang menurut Ahmad, mengandalkan mi instan untuk menu makan siang di warungnya.

“Takutnya [warung mi] sepi aja, apalagi katanya [harga mi instan] naik tiga kali lipat,” ujar dia.

Kekhawatirannya ini bukan tanpa alasan, sebab saat harga mi instan naik, akan mengurangi pendapatan hariannya. Padahal ia masih menyewa kios kecil untuk berjualan mi dan khawatir tak bisa membayar uang sewa jika warungnya sepi pelanggan.

“Kalau sekarang kan bisa Rp10.000 per porsi ya, kalau naik kan mahal, mungkin sepi,” kata dia.

Selain penjual kios ada pula pegawai swasta di Kota Cimahi, Jawa Barat, Elvina (28) yang juga khawatir jika harga mi instan akan naik. Jika harganya mahal, Elvina lebih memilih untuk tidak membeli mi instan dan akan membeli makanan jenis lain.

“Sedih walaupun enggak tiap hari tapi seminggu 2-3 kali makan mi. Tapi kalau nanti naik kayanya enggak akan nyetok lagi dan ngurangin makan mi,” kata dia.

Awal Mula Isu Harga Mi Instan Naik

Kenaikan harga mi instan yang menjadi perbincangan warga ini berawal dari pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Ia mengatakan, harga mi instan diperkirakan akan mengalami lonjakan imbas rantai pasok pangan yang bermasalah selama masa perang antara Rusia-Ukraina.

Lonjakan harga ini terjadi karena Indonesia bergantung pada impor komoditas dari dua negara tersebut. Dari permasalahan itu, ia memprediksi kenaikan mi instan di dalam negeri bisa melonjak sampai tiga kali lipat dari harga saat ini.

"Hati-hati yang makan mi banyak dari gandum besok harganya 3 kali lipat itu, maafkan saya bicara ekstrem saja ini," jelas dia dalam webminar, Selasa (9/8/2022).

Syahrul menjelaskan, ketersediaan gandum dunia sebenarnya aman, namun karena adanya konflik global, banyak negara memproteksi diri dan mengamankan pasokan di dalam negeri sehingga rantai pasok impor terganggu dan memicu lonjakan harga.

"Ada gandumnya, tetapi harganya akan mahal banget sementara kita impor terus ini," jelas dia.

Ia menjelaskan, kondisi yang saat ini terjadi perlu koordinasi dari berbagai pihak. Ia meminta pemerintah daerah menguatkan produktivitas pertanian sehingga dampak yang akan dialami dari adanya konflik global tidak terlalu terasa di dalam negeri.

Isu kenaikan harga mi instan ini menjadi perhatian masyarakat sebab Indonesia termasuk negara yang mengonsumsi mi instan terbesar kedua di dunia. Berdasar data World Instant Noodles Association (WINA), konsumsi mi instan global mencapai 116,56 miliar. Indonesia menduduki peringkat kedua, dengan porsi 12,6 miliar atau 10,84 persen dari konsumsi dunia pada 2020. Pada 2021, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia meningkat menjadi 13,27 miliar bungkus mi instan.

Selain itu, berdasarkan klasifikasi data Bank Dunia, terdapat lima kelompok kelas ekonomi di Indonesia berdasar pengeluaran. Yaitu ada masyarakat dengan kategori miskin dengan pengeluaran kurang dari Rp354 ribu/bulan, kemudian rentan miskin Rp 354 ribu - Rp 532 ribu/bulan. Selanjutnya, ada masyarakat kelas menuju menengah menghabiskan uang untuk konsumsi makanan sebanyak Rp532 ribu - Rp 1,2 juta/bulan. Kemudian kelas menengah Rp 1,2 juta - Rp 6 juta/bulan dan kelas atas lebih dari Rp6 juta/bulan.

Dengan klasifikasi di atas, jika dikonversi ke pengeluaran/minggu (satuan yang digunakan BPS), kelompok menuju menengah, punya batas atas pengeluaran Rp300 ribu/minggu.

Berdasar data tersebut, kelompok dengan pengeluaran Rp200 ribu - 300 ribu/minggu menghabiskan sekitar Rp672 setiap minggu untuk membeli bahan makanan mi instan pada 2021. Di bawahnya, kelompok pengeluaran Rp150 ribu - Rp200 ribu menghabiskan Rp400/minggu untuk mi instan. Di dua kelompok ini, angka pengeluaran untuk mi instan juga cenderung naik sekitar 7%-11% dibanding tahun 2020.

Sementara kelompok pengeluaran di bawah Rp150 ribu memilih menggunakan uangnya untuk membeli bahan makanan lain. Pada 2020, kelompok ini masih menghabiskan Rp519 untuk membeli mi instan.

BPS juga mencatat rata-rata pengeluaran perkapita/bulan untuk makanan dan bukan makanan.

Secara nasional, pada 2021, rata-rata orang Indonesia menghabiskan Rp622.845 untuk makanan dan Rp 641.744 untuk kebutuhan selain makanan.

Tak heran dari data konsumsi mi instan di Indonesia tersebut, isu kenaikan harga mi instan menjadi perhatian publik. Pernyataan awal Mentan Syahrul Yasin Limpo soal harga mi instan bisa naik hingga 3 kali lipat imbas lonjakan harga gandum dunia ditepis oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.

Zulhas mengatakan, kenaikan harga mi instan akan terjadi namun tidak akan terjadi lonjakan. Pasalnya, beberapa negara termasuk Ukraina yang saat ini masih dalam konflik mulai mengekspor gandum.

“Enggak [naik] mudah-mudahan ini kan sudah anu dulu kan gagal panennya [gandum] Australia dan Kanada gagal. Amerika sekarang sukses [panen gandum] apalagi sekarang di Ukraina sekarang sudah mulai jual,” kata Zulhas dalam rekaman yang diterima Tirto, Kamis (11/8/2022).

Zulhas menjelaskan, ada kemungkinan harga gandum pada September akan mengalami penurunan. Jadi isu mengenai adanya lonjakan harga mi instan tidak akan terjadi.

“Mungkin September trennya akan turun,” jelas dia.

Persoalan dampak lonjakan harga gandum dunia ini seharusnya lebih berpengaruh ke kue dan roti, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Kenaikan harga mi instan pasti akan terjadi, namun tidak akan setinggi yang dikatakan Kementerian Pertanian.

“Kenaikan tiga kali lipat itu enggak ada yang sebesar itu, kenaikannya bertahap adanya Rp2.000-2.400 kan itu kan cuma naik berapa persen ya itu, sekitar 10- 20 persen ya, kenaikan harga terigu itu kan 20-30 persen jadi belum ya terlalu dini kalau ngomong 3 kali lipat kita punya sumber lain ya. Tapi yang terdampak berat gandum itu pengusaha kue itu besar dibanding mie instan,” kata dia kepada Tirto, Kamis (11/8/2022).

Ia menjelaskan, seharusnya yang paling terdampak dari permasalahan rantai konsumsi adalah pakan ternak yang memicu naiknya harga ayam dan telur.

“Pakan ternak ya unggas terdampak, daging dan telur ayam terpengaruh. Lebih baik didukung data kredibel dulu kalau mau bilang akan naik tiga kali lipat ya,” tandas dia.

Tanggapan Pengusaha Mi Instan

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, Franciscus Welirang buka suara dan menanggapi terkait potensi kenaikan harga mi instan hingga tiga kali lipat. Dia menilai kabar tersebut sangat berlebihan.

"Saya kira berlebihan," katanya ketika dihubungi Tirto, Kamis (11/8/2022).

Lebih lanjut, dia tidak menampik harga gandum sudah mengalami kenaikan sejak 2021. Lonjakan tersebut tidak hanya akibat konflik Ukraina-Rusia, tetapi ditambah adanya permasalahan produksi panen di beberapa kawasan Amerika Utara.

"Harga gandum sudah memperlihatkan tren kenaikan sejak 2021. Tidak semata-mata karena konflik Ukraina-Rusia, tetapi juga karena panen yang kurang baik di Amerika Utara," ungkapnya.

Dihubungi terpisah, PT Wings Group Indonesia yang memproduksi mi instan merek Mie Sedaap mengakui belum ada rencana untuk membahas terkait kenaikan harga mi instan usai adanya isu lonjakan harga yang disampaikan pemerintah. Media Relations Executive Wings Group Indonesia, Andini Mardiani menjelaskan, hingga saat ini tidak ada pembahasan di internal mengenai kenaikan mi instan.

"Untuk saat ini kita belum ada sama sekali tanggapan terkait ini, namun coba kami komunikasikan terlebih dahulu ya,” kata dia kepada Tirto, Kamis (11/8/2022).

Andini menjelaskan, isu mengenai kenaikan harga sangat sensitif. Karena itu Wings Food belum bisa memberikan pernyataan mengenai langkah yang saat ini dilakukan oleh korporasi. "Karena ini sensitif sekali, jadi belum bisa kasih statement," kata dia.

Baca juga artikel terkait HARGA MIE INSTAN NAIK atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri