Menuju konten utama

Cukup dan Bahagia

Konsumerisme membuat manusia tidak bahagia. Keinginan untuk memiliki membuat manusia terbebani untuk terus membeli hal yang tidak ia butuhkan. Beberapa orang merasa belanja membuat stres berkurang, tapi sampai kapan? Menumpuk barang-barang yang tidak dibutuhkan membuat manusia semakin terasing dan depresi. Riset dari keluarga di Amerika oleh UCLA menunjukkan fenomena yang mereka sebut “Masalah di Surga.” Mereka yang memiliki terlalu banyak.

Cukup dan Bahagia
Calon pembeli mengantre untuk masuk ke dalam salah satu toko saat jakarta "midnight sale" di Mal Grand Indonesia, Jakarta. Antara Foto/Teresia May

tirto.id - Tokoh kita yang satu ini mudik setelah tiga tahun tak pernah pulang. Bukan karena tak mampu membeli tiket, lebih dari siapapun ia tahu, membeli tiket pesawat kelas bisnis sehari sebelum lebaran bisa ia lakukan. Ia punya tabungan yang cukup untuk melunasi sebuah rumah sederhana di pinggiran Jakarta. Atau membeli mobil keluarga untuk berkendara menembus macetnya Jakarta. Pulang, bagi tokoh kita yang satu ini, adalah usaha untuk menghadapi yang basa basi, nisbi merepotkan karena ia tak suka menjadi orang lain.

Bagi banyak orang pulang adalah perkara menunjukkan kesuksesan. Ada beban untuk menunjukkan pencapaian, dalam hal ini kepemilikan benda-benda yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Teman-teman di kampung akan menanyakan sudah punya mobil atau tidak, atau sudah punya rumah atau tidak, sudah punya berapa jam tangan? Sudahkah memiliki ponsel terbaru? Pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama tidak pentingnya dengan membahas kapan Liverpool menjuarai liga Inggris. Seolah semakin banyak benda yang kamu miliki, semakin bahagia dan semakin sukses hidupmu. Tapi apakah benar demikian?

UCLA pada 2012 lalu melakukan riset di 32 keluarga di Los Angeles terkait kepemilikan benda-benda. Riset itu menunjukkan bahwa semakin banyak benda yang dimiliki sebuah keluarga, semakin mahal biaya hidup dan perawatan yang mesti dikeluarkan. Hal ini berimbas pada kualitas hidup, baik fisik dan mental, seluruh anggota keluarga tersebut. UCLA's Center on Everyday Lives of Families (CELF), lembaga yang fokus pada peningkatan kualitas hidup keluarga ini, menemukan fenomena Trouble in Paradise, yaitu ketika keluarga terlalu banyak memiliki benda-benda sehingga ia tak lagi mampu berfungsi normal karenanya.

Sam Haris, seorang pakar Neurosains, menelaah bahwa manusia modern dibuat terobsesi dengan sebuah produk. Ketika sudah memiliki, kemudian versi terbaru dari benda tersebut keluar lagi, maka kita menjadi tak lagi peduli dengan apa yang telah dimiliki. Padahal benda itu pada awalnya sangat diinginkan. Inilah yang menjadi sumber ketidakbahagiaan. Misalnya pada iPhone. Saat iPhone ke luar, mereka yang telah memiliki iPhone lama akan merasa ketinggalan, dan merasa ingin memiliki lagi yang baru. Padahal, sebelumnya iPhone terdahulu adalah sumber kebahagiaan. Kini, kita menjadi menderita karena tak mampu ikut dalam tren yang ada.

Kepemilikan akan benda yang berlebihan dan keinginan untuk terus membeli sesuatu adalah gejala gangguan kejiwaan serius. Jo-Ann Tsang, profesor psikologi dan neurosains dari College of Arts and Sciences di Texas Amerika menyebutkan orang-orang materialistis akan sulit bersyukur atas apa yang mereka miliki. Hal ini akan membuat mereka menderita karena keinginan yang tak terpenuhi. Cara terbaik untuk melepaskan diri dari penderitaan ini adalah mulai bersyukur dan menikmati setiap yang ada.

Di Jepang, saat ini sedang marak gaya hidup minimalistik yang terinspirasi dari ajaran klasik Zen Budha. Minimalisme mengajak para pengikutnya untuk hidup sederhana, secukupnya, seminim mungkin, sehingga tidak perlu terlalu banyak memiliki benda. Gerakan ini bukan karena pelakunya miskin atau tidak memiliki uang, tapi percaya bahwa kepemilikan benda yang terlalu banyak akan membuat manusia menjadi tidak bahagia.

Reuters Juni lalu menurunkan laporan tentang Fumio Sasaki, seorang editor berusia 36 tahun yang hanya memiliki tiga kemeja, empat celana, empat pasang kaus kaki, dan apartemen yang hampir kosong tanpa isi. Ini bukan masalah gaya hidup hemat. Sasaki sebelumnya adalah kolektor CD, DVD, dan buku yang rakus. Selama bertahun-tahun gaya hidup ini membuatnya merasa harus memiliki sesuatu yang baru, hingga pada satu titik ia merasa lelah dan bertanya apakah hidup cuma perkara membeli barang belaka?

Gerakan Minimalisme ini menjadi tren besar di Jepang karena punya fungsi estetik dan pragmatik. Dengan memiliki sedikit barang, seseorang di Jepang akan hidup lebih hemat, rumah yang ditinggali juga tidak terlalu repot untuk dihias. Selain itu, berdasarkan riset lembaga kebencanaan yang ada di Jepang, memiliki sedikit barang akan menyelamatkan hidup. Jepang adalah negara dengan frekuensi bencana yang lumayan tinggi, 50 persen kecelakaan dan kematian saat bencana terjadi karena jatuhnya benda-benda yang ada di rumah. Maka, jika anda memiliki sedikit barang, kemungkinan kejatuhan barang akan semakin sedikit.

Dalam sebuah film dokumenter berjudul “Minimalism: A Documentary About the Important Things” karya Matt D'Avella, kita ditunjukan bagaimana fenomena minimalisme ini juga menyebar di Amerika. Film ini memotret bagaimana hidup dengan cukup, tidak berlebihan, tanpa banyak memiliki benda telah membuat orang-orang di Amerika menjalani hidup yang lebih baik. Minimalisme tidak sekedar perihal kepemilikan, tapi juga gaya hidup dalam hal makan dan pemahaman tentang uang. Mereka yang menjalani minimalisme merasa hidup mereka lebih tenang dan tak lagi khawatir akan kekurangan.

Film Matt D'Avella ini memotret kehidupan arsitek, desainer, musisi, pebisnis, penulis, dan keluarga kebanyakan yang menjalani gaya hidup minimalis. Gaya hidup ini tidak mudah, dengan gempuran iklan, layanan, dan tentu saja tekanan pertemanan (peer preasure), merasa cukup dengan apa yang dimiliki bisa jadi beban tersendiri. Dan Harris penulis buku 10% Happier : How I Tamedthe Voice in My Head menggambarkan kehidupan materialisme untuk memiliki benda-benda sebagai upaya berburu. Alih alih berburu untuk memenuhi kebutuhan kita berburu untuk memuaskan keinginan akan pengakuan, pencitraan, yang pada akhirnya membawa kita pada depresi

Orang-orang yang melakukan gaya hidup minimalis dalam film dokumenter Matt D'Avella merasakan kehidupan yang lebih baik. Minimalisme adalah pencerahan, karena para pengikutnya dibuat percaya bahwa kamu tak akan terbebaskan akan fakta bahwa memiliki lebih banyak, membeli lebih banyak, dan mengkonsumsi lebih banyak untuk pamer tidak membuat hidupmu lebih bahagia. Tapi apakah ini berarti para pelaku hidup minimalisme menolak sama sekali kepemilikan benda?

Pelaku minimalisme percaya bahwa konsumsi tidak buruk. Namun, konsumsi berlebihan dan kompulsif adalah hal yang buruk. Konsumsi menjadi salah ketika kita membeli barang yang tak kita butuhkan untuk pamer. Kita membeli barang karena ia sedang tren, atau sekadar karena merasa bahwa dengan memiliki benda tersebut hidup akan jadi lebih baik. Minimalisme percaya bahwa konsumsi yang baik adalah konsumsi yang berdasarkan kebutuhan primer tanpa harus berlebihan.

Di Jepang, para pelaku minimalisme merasakan manfaat lain ketika mereka tak memiliki banyak benda. Mereka bisa berinteraksi lebih banyak dengan manusia, berbagi lebih banyak dengan teman dan keluarga, mampu berlibur dan menikmati waktu untuk diri sendiri, dan hidup lebih efektif. Tujuan minimalisme adalah melakukan evaluasi tentang kepemilikan benda, apa yang penting? Apa yang berharga? Dan apa yang perlu dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup lebih baik.

Ryan Nicodemus, pelaku dan tokoh utama dalam film dokumenter Minimalism, menyebut bahwa minimalisme bukan sekadar membuang hal-hal yang tak penting, atau berhenti membeli hal yang tak kita butuhkan, tapi mengambil alih kendali hidup kita. Kita tak perlu harus terbebani memiliki pakaian yang bagus dan berbeda-beda, tak perlu dibebani mesti memiliki mobil agar bisa diterima, atau pada satu titik mengesankan orang lain atas benda yang kita miliki.

Patrick Rhone, penulis buku Enough, berusaha menjelaskan bahwa keinginan kita untuk memiliki benda-benda adalah hasil konstruksi yang ditanamkan melalui iklan. Selama bertahun-tahun, berkali-kali, di berbagai tempat, kita dibuat untuk membutuhkan hal yang tak kita butuhkan melalui iklan. Kamu butuh pakaian ini untuk terlihat berkelas, kamu butuh sepatu ini agar terlihat gaul, kamu butuh ponsel ini agar terlihat modern, hingga pada akhirnya kita terlalu banyak memiliki benda-benda. Semua itu akhirnya membawa kita ke satu titik, di mana kita memiliki terlalu banyak baju, terlalu banyak sepatu dan terlalu banyak segalanya.

Karena apa yang lebih menyedihkan daripada membeli barang yang tak kita butuhkan untuk mengesankan orang yang tak kita sukai sambil menjalani kehidupan yang tak mampu kita penuhi ongkosnya?

Baca juga artikel terkait KONSUMERISME atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti