Menuju konten utama

Cristiano Ronaldo, Tolong Kembalikan Trofi Euro 2016

Inilah dia, salah satu Piala Eropa terburuk sepanjang sejarah sepakbola. Terima kasih, Bapak-bapak EUFA. Terima kasih, Cristiano Ronaldo.

Cristiano Ronaldo, Tolong Kembalikan Trofi Euro 2016
Cristiano Ronaldo, Tim Nasional (timnas) Portugal.foto/shutterstock

tirto.id - Segenap pengurus federasi sepakbola dan para birokrat Eropa, yang baru saja sukses menghelat Piala Eropa, bahagia dan bangga telah menyuguhkan kepada Anda turnamen paling indah sepanjang masa, kembali kasih. Mereka adalah orang-orang terakhir yang bisa Anda harapkan untuk terlibat dalam urusan-urusan yang memuaskan, seperti sepakbola menyerang dan atraktif. Karena di kepala mereka porsi terbesarnya adalah mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari pesta olahraga.

Dengan kecerdikan tiada duanya, mereka berhasil mengubah Euro menjadi kejuaraan lelucon yang isinya sebagian besar laga membosankan. Selamat, Bapak-bapak UEFA. Dengan menambah peserta turnamen dari 16 menjadi 24 tim, Anda tak urung lagi meraup untung besar dan menurunkan kualitas turnamen.

Hasil dari penambahan tim itu sungguh sebuah pencapaian tak tertandingkan: matematika konyol yang memungkinkan skuad yang finish ketiga—dari empat tim—di fase grup untuk maju ke babak hidup-mati dan akhirnya merebut gelar juara. Lebih buruk dari Yunani, juara 2004, yang di fase grup duduk di tempat kedua—dan Yunani tidak bersandar pada babak tambahan dan adu penalti seperti Portugal yang hingga semifinal tak pernah menang dalam 90 menit.

Kemenangan bombastis Portugal, yang sepanjang kejuaraan memainkan sepakbola jenuh, adalah puncak dan kesimpulan yang layak bagi para pengurus UEFA. Tapi tidak bagi penggemar bola seluruh dunia.

Sekali waktu, para gila bola bisa tanpa keraguan meranking Euro di atas Piala Dunia lantaran laga-laga yang ditampilkan biasanya sarat permusuhan bersejarah. Dan karena sepakbola adalah agama sekuler Eropa. Format 16 tim pun mendukung ketatnya turnamen. Semua tim digenjot untuk tampil tancap gas dan penuh determinasi sejak fase grup, tidak banyak insentif bagi tim yang melulu bertahan alias memarkir bus.

Alih-alih menawarkan rasa penghiburan atau bahkan transendensi, Piala Eropa edisi ini tampaknya hanya mengingatkan akan penurunan kualitas. Euro 2016, beserta juaranya, mewakili turunnya keagungan sepakbola Eropa—taktik yang bikin lesu, minim gol, dan tak bernyawa.

Piala Eropa kali ini semakin menyedihkan jika dibandingkan dengan Copa America 2016. Berbeda dengan pertandingan-pertandingan yang bikin ngantuk di Perancis, tentu dengan sedikit pengecualian, Copa America memamerkan sepakbola menyerang, jual-beli ancaman, dan permainan terbuka. Ketika menonton partai-partai Euro terasa suram seperti menggugurkan kewajiban, menonton Copa America relatif menghibur. Lionel Messi, yang meski harus tersandung di momen final, memenuhi harapan dengan berbagam aksinya. Alexis Sanchez pun tampil menawan. Kontras dengan bintang-bintang sepakbola Eropa yang seperti ditelan kecantikan fans Albania dan gemuruh gairah pendukung Islandia.

Satu-satunya keunggulan Euro atas Copa America adalah publikasi raksasa di semua tempat yang memungkinkan.

Beginilah jadinya. Cristiano Ronaldo mengangkat trofi, sementara Lionel Messi memutuskan pensiun dan dituntut 21 bulan penjara atas penggelapan pajak. Padahal Ronaldo hanya bermain 25 menit di final. Ini faktor tambahan tak terduga yang semakin memerosotkan mutu tontonan final Euro 2016. Betapapun menyebalkannya manusia bernama Cristiano Ronaldo, ia adalah salah satu pemain terbaik untuk urusan serangan balik sepanjang sejarah sepakbola. Meski usianya mulai berkhianat, ia tetap membawa ancaman. Dan blok pertahanan padat Portugal yang membosankan habis itu, memang dimaksudkan menjadi alas bagi serangan balik khas Ronaldo. Tanpa Ronaldo di final, penonton kehilangan kemungkinan realistis untuk berharap pada serangan balik Portugal.

Tapi Cristiano Ronaldo tetaplah Cristiano Ronaldo. Ia punya salah satu bakat terhebat yang terus-menerus ia asah: bahkan di setiap perilaku mengagumkannya pun ia tak pernah lupa cara agar mendapatkan cibiran dan hinaan.

Ketika Ronaldo menitikkan air mata karena harus meninggalkan lapangan dan rekan-rekannya, seluruh dunia dibuat terenyuh dan meleleh oleh dramanya. Polah Ronaldo selanjutnya dari pinggir lapangan, yang terus menyemangati kawan-kawannya, menunjukkan bahwa ia tidak hanya peduli terhadap gaya rambut dan bentuk fisiknya sendiri, ia juga memancarkan kasih sayang sepanjang masa untuk tim dan negaranya. Meski sepanjang turnamen, ia berpuluh-puluh kali mendamprat rekan-rekannya—entah karena lari yang kurang kencang, umpan yang kurang matang untuknya, atau apapun yang kurang berkenan di hatinya. Para motivator tentu punya isilah tepat untuk menggambarkan perilaku Cristiano itu: Kepemimpinan.

Dan jangan lupa, setelah Islandia menahan imbang Portugal di pertandingan pertama mereka, Ronaldo melempar pernyataan begini: "Islandia tidak mencoba melakukan apa pun. Mereka hanya bertahan, bertahan, dan bertahan, lalu melakukan serangan balik. Ketika mereka tidak punya niat bermain dan terus bertahan, bertahan, bertahan, menurut saya ini hanya menunjukkan mental gurem dan mereka tidak akan menyumbangkan apa-apa untuk kompetisi ini."

Sebuah kritik yang elok sekali, Cristiano, yang sesungguhnya lebih tepat ditujukan ke jidatmu sendiri. Jadi bagaimana, mau menyerahkan kembali Piala Eropa itu sekarang?

Baca juga artikel terkait PORTUGAL JUARA atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti