Menuju konten utama

COVID-19 Membunuhmu, Begitu Juga Layanan Kesehatan yang Buruk

Sebagian rumah sakit mensyaratkan rapid test bagi pasien yang mau melakukan perawatan kesehatan umum.

COVID-19 Membunuhmu, Begitu Juga Layanan Kesehatan yang Buruk
Seorang petugas beristirahat di kawasan RSUD Kota Tangerang, Banten, Senin (20/4/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/hp.

tirto.id - Selama pandemi COVID-19 akses kesehatan umum di rumah sakit dibatasi untuk mencegah transmisi virus. Namun, kebijakan ini menimbulkan masalah baru bagi orang-orang dengan penyakit berat.

Petrus Hariyanto dengan gontai berjalan ke ruang isolasi Rumah Sakit Siloam Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Selasa, (21/4.2020). Ia merupakan pasien ginjal kronis yang rutin menjalankan tindakan hemodialisa (cuci darah). Namun sejak Senin (13/4/2020) pihak rumah sakit tempatnya melakukan perawatan, yakni Siloam Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan mewajibkan tes cepat (rapid test) sebelum tindakan.

“Setiap pasien/pengunjung yang datang ke rumah sakit WAJIB memakai masker dan melakukan pemeriksaan tes cepat COVID-19 berbayar ... Jika tidak melakukan tes cepat COVID-19 dan tidak memakai masker, mohon maaf Anda tidak dapt kami layani.”

Demikian bunyi pengumuman yang ditempel di setiap pintu masuk Rumah Sakit Siloam. Pasien dan pengantarnya wajib melakukan tes cepat per 10 hari. Kebijakan ini bukan cuma diterapkan Siloam Asri saja, tapi di banyak rumah sakit untuk mencegah transmisi COVID-19.

Rumah sakit memungut biaya tes cepat antara Rp250-500 ribu. Jika dikalikan, misalnya satu pasien dengan satu pengantar, maka dalam sebulan minimal mereka harus merogoh kocek sebesar Rp1,5-3 juta hanya untuk tes cepat. Persyaratan tersebut harus dijalankan selama pandemi COVID-19--yang entah usai kapan.

“Biaya dibebankan kepada pasien, teknisnya ketika mendaftar cuci darah pasien sekalian bayar tes cepat,” kata Petrus kepada Tirto, Senin, (20/4/2020).

Mereka yang tidak melakukan tes cepat seperti Petrus harus rela diperlakukan seperti Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan masuk ke dalam ruang isolasi. Ada juga rumah sakit yang meminta pasien memakai tabung sekali buang jika tidak melakukan tes cepat, meski ketentuan dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) satu tabung maksimal bisa digunakan hingga tujuh kali.

Harga satu tabung berkisar antara Rp250 ribu. Dalam seminggu pasien bisa melakukan cuci darah hingga dua kali, maka satu bulan biaya membeli tabung mencapai Rp2 juta. Pengeluaran itu belum termasuk biaya-biaya lain seperti cek darah dan foto rontgen yang disyaratkan rumah sakit tertentu seperti Siloam Surabaya.

“Ini tentu sangat memberatkan! Ada yang melakukan tes cepat di luar rumah sakit tempatnya cuci darah, tapi dinyatakan tidak sah,” lanjut Petrus.

Persoalan lain yang makin membikin miris adalah penentuan status PDP dan Orang Dalam Pengawasan (ODP) pasien hemodialisa. Mereka dengan gejala demam, batuk, dan pusing langsung digolongkan PDP. Padahal hal lazim bagi pasien cuci darah mengalami demam karena fungsi ginjalnya sudah berkurang, apalagi paska menjalani terapi cuci darah.

Sementara ODP ditentukan apabila pasien hemodialisa bertemu dengan PDP atau berasal dari zona merah. Sebagian rumah sakit langsung menolak PDP dan ODP cuci darah dan mengirim mereka ke rumah sakit rujukan. Padahal beberapa rumah sakit rujukan tidak memiliki fasilitas cuci darah, sehingga pasien hanya dimasukkan ke ruang isolasi tanpa mendapat terapi cuci darah.

Orang Berpenyakit Kronis di Tengah COVID-19

Ketentuan untuk melakukan tes cepat atau merujuk pasien cuci darah PDP maupun ODP dibuat sendiri oleh manajemen rumah sakit bersangkutan. BPJS Kesehatan maupun PERNEFRI tak pernah mensyaratkan protokol penanganan hemodialisa yang memberatkan pasien.

Selama wabah COVID-19, PERNEFRI hanya meminta pihak rumah sakit melakukan pencegahan standar, seperti memeriksa suhu tubuh pasien, riwayat perjalanan, menggunakan masker, dan cuci tangan. Tak ada kewajiban melakukan tes cepat dalam protokol tersebut. PERNEFRI bahkan melarang rumah sakit merujuk pasien tanpa alasan kuat.

“Kita harus meng-HD pasien di tempat masing-masing, ... tidak boleh ditolak, dirujuk-rujuk” kata pengurus PERNEFRI sekaligus dokter spesialis penyakit dalam konsultan ginjal dan hipertensi dari RSPAD, Jonny, dilansir dari BBC.

Jika rumah sakit mencurigai pasien terinfeksi COVID-19, petugas bisa melakukan cuci darah dengan menggunakan APD lengkap dan pasien ditempatkan di ruang khusus. Perujukan pasien harus didahului dengan komunikasi soal ketersediaan fasilitas dan alasan rujukan dari rumah sakit awal kepada rumah sakit tujuan.

“Kami setuju saja tes cepat, tapi jangan bebankan pada pasien. Jangan memanfaatkan situasi jadi seperti berjualan tes cepat,” protes Tony Samosir Ketua Umum KPCDI lewat wawancara kepada Tirto, Selasa, (21/4/2020).

Alih-alih melakukan tes cepat atau merujuk pasien, ia mengusulkan rumah sakit untuk memberikan layanan cuci darah terpisah bagi PDP dan ODP. Semisal dilakukan pada tengah malam dan tidak berbaur dengan pasien cuci darah lainnya. Setelah itu semua peralatan disterilisasi.

Memaksakan tes cepat atau merujuk pasien untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2 dari dan kepada pasien cuci darah hanya akan menimbulkan ancaman kesehatan baru. Terapi hemodialisa yang tidak diberikan tepat waktu bisa mengancam keselamatan jiwa. Pada akhirnya risiko kematian tidak terjadi akibat COVID-19 melainkan salah protokol kesehatan.

Bagaimana Seharusnya Rumah Sakit Merespons

Pandemi COVID-19 menciptakan masalah kesehatan kumulatif. Tak hanya jumlah pasien COVID-19 terus membludak, tapi juga terbatasnya tenaga kesehatan, berikut juga fasilitas, ruangan, dan Alat Pelindung Diri (APD). Imbas kondisi tersebut berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan umum, termasuk orang dengan penyakit kronis.

Infografik Akses Kesehatan

Infografik Akses Kesehatan di Tengah Covid-19. tirto.id/Rangga

Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara umum telah meminta layanan kesehatan menunda semua perawatan kecuali untuk kegawatdaruratan medis. Pembatasan tersebut bertujuan untuk melindungi petugas serta pasien dari penularan virus COVID-19. Selayaknya fasilitas publik lain seperti transportasi umum, rumah sakit berpotensi menjadi tempat penyebaran virus.

WHO mengutip data dari Cina yang menunjukkan bahwa 15-20 persen kasus COVID-19 membutuhkan rawat inap. Sekitar 15 persen dari kasus tersebut merupakan gejala berat dan 5 persen butuh perawatan intensif. Virus dari pasien terinfeksi COVID-19 bisa saja berpindah antar pasien, pengunjung, atau tenaga kesehatan.

“Rumah sakit harus bisa menyediakan layanan konsultasi daring sehingga pasien tak perlu datang ke sana,” demikian WHO menulis.

Lalu bagaimana dengan layanan kesehatan rutin yang tak bisa ditunda, seperti cuci darah?

Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) memberi pedoman yang sudah diadopsi PERNEFRI. Pasien yang memiliki gejala demam diminta melapor dulu ke fasilitas hemodialisis. Mereka diwajibkan memakai masker dan menjalankan langkah pencegahan umum lainnya.

Kemudian fasilitas kesehatan diminta menyediakan ruang tunggu khusus untuk pasien ODP atau PDP. Mereka harus duduk terpisah dari pasien lain setidaknya 1,8 meter, atau menunggu di kendaraan pribadi hingga tiba giliran perawatan. Selain itu PDP dan ODP sebisa mungkin mendapat perawatan cuci darah di ruang isolasi.

“Jika tak memiliki ruang terpisah, rawat pasien dengan dugaan di sudut atau ujung barisan, hindarkan dari arus lintas utama. Pisahkan 1,8 meter dari pasien terdekat,” tulis CDC.

Seperti kata Tony, mesin dialisis harus dibersihkan dan diberi disinfektan secara rutin. Saat melakukan cuci darah, tenaga kesehatan harus menggunakan APD lengkap. Baik WHO maupun CDD tidak pernah mensyaratkan adanya tes cepat sebelum melakukan cuci darah. Jadi syarat wajib tes cepat dibuat untuk keuntungan siapa?

Baca juga artikel terkait PENYAKIT atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf