Menuju konten utama
Periksa Data

COVID-19: Lockdown di Beberapa Negara dan Pertumbuhan Kasus

Peningkatan jumlah kasus positif corona COVID-19 di sejumlah negara ini terjadi karena kasus positif COVID-19 memang belum mencapai puncaknya

COVID-19: Lockdown di Beberapa Negara dan Pertumbuhan Kasus
Periksa Data Lockdown Corona. tirto.id/Quita

tirto.id - Hampir sebulan setelah pasien 01 COVID-19 resmi diumumkan di Indonesia, jumlah kasus positif COVID-19 yang disebabkan virus corona baru SARS-CoV-2 ini belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Hingga Senin (30/3/2020), kasus positif tercatat sebanyak 1.414 kasus. Selain itu, 122 pasien meninggal dan 75 pasien dinyatakan sembuh.

Pemerintah pertama kali mengumumkan kasus positif COVID-19 pada 2 Maret 2020 sebanyak dua kasus. Setelah itu jumlah kasus bertambah setiap harinya dan wilayah penyebarannya juga semakin meluas. Hingga tulisan ini dibuat, kasus positif telah ditemukan di 31 provinsi mulai dari Aceh hingga Papua.

Semakin meluasnya wilayah penyebaran virus tersebut membuat banyak pihak mendesak pemerintah untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown untuk memutus rantai penyebaran.

Istilah lockdown, yang secara harafiah berarti kuncian, secara teknis bermakna mengunci seluruh akses masuk atau keluar dari suatu wilayah/daerah/negara untuk mencegah penyebaran COVID-19. Karantina wilayah menurut UU No 6/2018 merupakan pembatasan pergerakan orang untuk kepentingan kesehatan di tengah-tengah masyarakat.

Opsi lockdown telah diambil beberapa negara di dunia untuk menekan bertambahnya kasus COVID-19 di negara mereka. China, Italia, hingga Perancis tercatat telah melakukan lockdown di negara mereka. Lantas, bagaimana perkembangan jumlah kasus di negara tersebut setelah menerapkan lockdown selama 7 hari?

Kebijakan lockdown pertama kali digunakan China. Di negara asal virus tersebut kebijakan lockdown dimulai pada 23 Januari 2020 di Kota Wuhan, wilayah pusat penyebaran virus tersebut. Beberapa lama kemudian, akses di wilayah lain di negara tersebut juga ditutup.

Dilansir dari The Guardian, pada 23 Januari tersebut semua akses transportasi publik di kota tersebut ditutup. Penduduk juga dilarang untuk meninggalkan kota. Bahkan setelah jumlah kasus meningkat, China semakin memperketat peraturan.

Saat lockdown diberlakukan, kasus positif di China tercatat sebanyak 571 kasus. Provinsi Hubei tercatat sebagai wilayah dengan kasus terbanyak.

Italia, sementara itu, menjadi negara Eropa pertama yang melakukan lockdown. Kebijakan tersebut mulai diberlakukan di Italia pada 10 Maret 2020. Pembatasan akses tersebut menginstruksikan seluruh bisnis dan ritel untuk tutup sementara, kecuali bagi toko bahan makanan dan obat-obatan.

Saat keputusan lockdown diambil, kasus di Italia tercatat sebanyak 9.172 dengan 463 pasien meninggal.

Setelah itu, beberapa negara lain turut mengambil kebijakan yang sama untuk melakukan lockdown: Denmark pada 12 Maret, Polandia (13 Maret), Spanyol (14 Maret), Belanda (15 Maret), hingga Prancis pada 16 Maret 2020.

Peraturan yang diberlakukan di setiap negara pun berbeda-beda. Misalnya, Spanyol masih mengizinkan warga untuk keluar hanya untuk bekerja ataupun berbelanja bahan makanan dan obat-obatan. Namun, di Perancis peraturannya lebih ketat. Warga yang keluar untuk aktivitas selain membeli makanan dan kesehatan akan didenda 135 euro.

Dilansir Reuters, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengerahkan 100 ribu polisi untuk menjalankan penutupan akses di negara tersebut.

Jumlah kasus yang tercatat di beberapa negara ketika mereka mulai melakukan lockdown berbeda-beda. Ketika China mulai melakukan lockdown saat 571 kasus, Italia justru saat kasus mencapai 9.172 kasus.

Polandia juga langsung melakukan lockdown ketika sudah ada 49 kasus di negara tersebut. Spanyol dan Perancis mengambil kebijakan ketika sudah jumlah kasus sudah diatas seribu, yaitu masing-masing 4.231 kasus dan 5.380 kasus.

Denmark dan Belanda mengambil kebijakan lockdown saat kasus di negara tersebut belum belum mencapai seribu kasus. Saat kebijakan ditetapkan, kasus di Denmark sebanyak 615 kasus, dan Belanda 959 kasus.

Perkembangan Kasus

Setelah melakukan lockdown dengan kebijakan yang berbeda-beda, kasus positif COVID-19 masih terus bergerak naik setiap hari di negara-negara tersebut. Namun, angkanya berbeda di setiap negara.

Saat menetapkan lockdown pada 23 Januari 2020, jumlah kasus di China tercatat sebanyak 571 kasus. Angka tersebut meningkat setiap harinya hingga menjadi 7.736 pada H+7 atau 30 Januari 2020. Artinya, seminggu setelah lockdown, pertumbuhan kasus sebesar 1.254,82 persen atau lebih dari 10 kali lipat, paling tinggi diantara negara lainnya.

Masih dari The Guardian, sebelum Kota Wuhan ditutup pada 23 Januari lalu, diperkirakan sejumlah besar warga Wuhan telah terlebih dahulu meninggalkan kota tersebut.

Namun, rerata jumlah kasus positif China per harinya dalam beberapa hari terakhir sudah mendekati angka nol.

Terpisah, kendati terhitung punya kasus lebih kecil dibandingkan negara lainnya saat memulai lockdown, pertumbuhan kasus COVID-19 di Polandia juga tinggi. Saat penetapan lockdown, jumlah kasus di negara tersebut 49 kasus.

Setelah hari ke-tujuh (20/3), jumlah kasus menjadi 325. Artinya, ada 276 kasus dalam seminggu atau naik 563,27 persen, tertinggi kedua setelah China.

Negara lain seperti Italia, Spanyol, dan Belanda juga mengalami pertumbuhan kasus beragam. Masing-masing yaitu Italia 18.808 kasus (205,06%), Spanyol 15.749 kasus (372,23%), dan Belanda 2.672 kasus (278,62%)

Negara dengan pertumbuhan kasus paling rendah selang seminggu setelah lockdown yaitu Denmark. Saat penetapan lockdown pada 12 Maret 2020, jumlah kasus di negara tersebut sebanyak 615. Pada 19 Maret 2020 atau tujuh hari setelahnya jumlah kasus menjadi1.044 kasus.

Jumlah kasus baru di negara tersebut selang seminggu sekitar 429 kasus atau naik 69,76 persen.

Catatan penting, peningkatan di sejumlah negara ini terjadi boleh jadi karena kasus positif COVID-19 memang belum mencapai puncaknya di masing-masing negara tersebut. Namun demikian, kebijakan lockdown yang cukup ketat di Italia mulai menunjukkan tren positif.

Dilaporkan Telegraph, jumlah kasus positif baru COVID-19 di Italia dalam beberapa waktu terakhir sudah mulai menurun. Setelah sempat memuncak dengan penambahan lebih dari 6.500 kasus positif dalam sehari, kini jumlahnya secara rerata berada di kisaran 5.000 kasus baru per hari. Jumlah ini mulai menurun 12 hari pasca kebijakan lockdown nasional secara ketat dilakukan.

Kasus Denmark & Swedia

Denmark menjadi negara kedua di Eropa yang mengambil keputusan lockdown. Saat kebijakan diambil, jumlah kasus 615 tanpa ada pasien yang meninggal. Namun, keputusan tetap diambil Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen.

PM Frederiksen memutuskan menutup sekolah hingga universitas selama dua minggu. karyawan sektor publik yang tidak melakukan fungsi kritis diminta tetap dirumah dengan cuti berbayar. Selain itu, karyawan sektor swasta didorong sebisa mungkin bekerja dari rumah.

Pemerintah setempat juga melarang acara di dalam ruangan dengan lebih dari 100 peserta sejak Senin (16/3/2020). “[Langkah] Ini akan memiliki konsekuensi yang sangat besar, tetapi langkah alternatif lainnya akan jauh lebih buruk,” ujar Frederiksen dalam konferensi pers pada 11 Maret 2020, dilaporkan Metro.uk.

“Dalam keadaan normal, pemerintah tidak akan menghadirkan langkah-langkah yang berdampak luas seperti ini tanpa menyiapkan semua solusi bagi warga Denmark yang terdampak, tetapi kami berada dalam situasi yang luar biasa,” imbuhnya.

Keputusan "dramatis" Denmark untuk menutup akses wilayahnya sempat dibandingkan dengan negara tetangganya, Swedia. Disaat banyak negara Eropa yang memutuskan untuk menutup negaranya dan melakukan pembatasan, termasuk Denmark, sebaliknya Swedia justru masih berjalan normal.

The Local melaporkan, sekolah, universitas, bar, hingga penata rambut tetap buka seperti biasa di Swedia, selang seminggu setelah negara tetangganya -- Denmark dan Norwegia -- melakukan lockdown.

Tim ilmuwan di Swedia telah mengkritik pemerintah yang tetap menjalankan bisnis seperti biasa disaat pandemi menyerang. "Berapa banyak nyawa yang mau mereka [pemerintah] korbankan untuk menghindari penutupan dan mempertaruhkan konsekuensi besar bagi perekonomian negara itu," ujar Joachim Rocklöv, seorang profesor ilmu epidemiologi dan kesehatan masyarakat di Universitas Umeå, masih dari The Local.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Hanif Gusman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Hanif Gusman
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara