Menuju konten utama

Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia: Sejarah Tragedi Trisakti

Tragedi Trisakti adalah salah satu contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang penyelesaian hukumnya jalan di tempat.

Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia: Sejarah Tragedi Trisakti
Mahasiswa membawa foto korban tragedi 12 Mei 1998 dalam Peringatan 20 Tahun Reformasi di Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta, Sabtu (12/5/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Pada tanggal 12 Mei 1998, terjadi peristiwa penembakan dalam demonstrasi yang menuntut Presiden Suharto turun dari jabatannya. Dalam penembakan tersebut, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas.

Mereka adalah Elang Luhur Lesmana (1978 - 1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1988).

Mengutip laporan Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), 4 mahasiswa yang tewas tertembak saat berada di dalam kampus Trisakti itu meregang nyawa akibat terkena peluru tajam. Di tubuh mereka, peluru tajam ditemukan bersarang di tempat-tempat vital, seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Peristiwa yang tercatat sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia tersebut dikenal sebagai “Tragedi Trisakti.”

Kronologi Peristiwa Trisakti dan Penyelesaiannya

Awal tahun 1998, perekonomian Indonesia mulai goyah akibat krisis moneter yang terjadi di Asia sepanjang tahun 1997-1999. M. Dawam Rahardjo dalam buku Orde baru dan Orde Transisi (1999) menyebut, krisis 1998 semakin diperburuk oleh kondisi pemerintahan di Indonesia yang dipenuhi praktik Korupsi, Kolusi, serta Nepotisme (KKN).

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kala itu menurun drastis. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian yang amburadul, rezim pemerintahan Surhato semakin rajin membungkam suara kritis dari masyarakat sipil. Pada tahun-tahun krisis itulah, pemerintahan Orde Baru menampakkan wajah negara yang bengis dan otoriter.

Alhasil, mahasiswa di berbagai daerah melakukan aksi demonstrasi besar-besaran. Narasi mereka serupa, yakni untuk menurunkan Presiden Suharto—yang telah berkuasa 32 tahun lamanya—karena dianggap semakin represif, antikritik, dan melanggengkan KKN.

Di Jakarta, civitas akademika Universitas Trisakti turut menggelar aksi damai di dalam kampus pada 12 Mei 1998. Sejak pagi, aksi yang diisi mimbar bebas dan panggung orasi di pelataran parkir depan Gedung Syarid Thayeb itu melibatkan ribuan mahasiwa serta dosen.

Baru pada siang harinya, sekitar pukul 12.30 WIB, massa aksi yang berjumlah 6.000-an orang berniat menggelar longmarch ke Gedung DPR/MPR. Mereka ingin bergabung bersama massa aksi dari kampus lain yang sudah lebih dahulu berada di kompleks parlemen.

Namun, massa yang sedang bersiap melakukan longmarch dari kampus Trisakti itu diadang oleh barisan aparat militer bersenjata. Perwakilan mahasiswa pun bernegosiasi dengan pimpinan komando aparat, Letkol Inf. A. Amril, meski hanya menemui jalan buntu.

Intinya, mahasiswa dilarang melakukan longmarch dengan alasan berpitensi memicu kemacetan dan kerusuhan di ibu kota. Akhirnya, massa aksi tertahan di gerbang kampus Trisakti dan melanjutkan orasi.

Sore harinya, sekitar pukul 16.45 WIB, wakil mahasiswa mengumumkan hasil negosiasi lanjutan, yang mana hasil kesepakatan adalah baik aparat keamanan maupun mahasiswa sama-sama mundur. Aksi demonstrasi siap untuk diakhiri.

Akhirnya, mahasiswa bergerak mundur secara perlahan, demikian juga aparat keamanan. Namun, tiba-tiba ada seorang yang mengaku alumni (meski tidak lulus) bernama Mashud, berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa aksi di kampus Trisakti.

Ulah Mashud itu memancing massa mahasiswa untuk bergerak karena mengira ia salah seorang aparat keamanan yang menyamar. Pada sekitar pukul 17.00-17.05 WIB, sejumlah saksi melihat Mashud lari ke barisan aparat yang berjaga karena dikejar massa. Insiden ini menimbulkan ketegangan antara massa demonstran dan aparat.

Sebenarnya, ketegangan tersebut sudah hampir mereda, dan banyak mahasiswa peserta aksi di kampus Trisakti berjalan untuk membubarkan diri.

Namun, situasi berubah ketika ada sejumlah aparat keamanan meledek, menertawakan, dan mengucapkan kata-kata kotor kepada mahasiswa. Pancingan itu segera membuat massa mahasiswa kembali berbalik arah.

Pada saat yang bersamaan, barisan aparat langsung menyerang massa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata. Massa mahasiswa pun panik, dan berlarian menuju area kampus Trisakti.

Saat itulah, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata hampir di setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor senjata, penendangan dan penginjakan terhadap banyak peserta aksi. Bahkan, terjadi pelecehan seksual terhadap para mahasiswi.

Sebagian aparat juga menyerbu ke pintu gerbang kampus dan membuat formasi menembak. Tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban luka hingga meninggal dunia.

Akhirnya, tiga mahasiswa tewas seketika di dalam kampus, dan satu orang lainya meninggal dunia di rumah sakit. Beberapa orang dalam kondisi kritis, sementara korban luka-luka akibat tembakan ada 15 orang.

Setahun setelah kejadian, proses hukum berjalan dan menyeret enam terdakwa yang masing-masing dihukum 2 sampai 10 bulan.

Tiga tahun berselang, sembilan terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti diadili di Pengadilan Militer dan dijatuhi hukuman 3 sampai 6 tahun penjara.

Namun, hingga hari ini, dalang dari tragedi Trisakti sama sekali belum pernah diadili. Peristiwa ini pun menambah panjang daftar kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang proses hukumnya jalan di tempat.

Selain Tragedi Trisakti, mengutip catatan Dini Hardianti dkk dalam sebuah ulasan yang diterbitkan Diponegoro Law Journal (2016), beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia—dan dalangnya tidak pernah diadili—di antaranya adalah:

  • Genosida pada orang-orang yang dianggap PKI pasca-G.30.S, tahun 1965-1966;
  • Kasus Penembakan Misterius (Petrus), 1982-1985;
  • Kasus Talangsari Lampung pada tahun 1989;
  • Tragedi Penghilangan Aktivis Secara Paksa pada tahun 1997-1998;
  • Tragedi Semanggi I & II pada 1998;
  • Kasus Wasior – Wamena, Papua pada tahun 2001-2003;
  • Pembunuhan Munir, 2004, dan lain sebagainya.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Addi M Idhom