Menuju konten utama

Contoh Akulturasi Budaya Betawi & Tionghoa dalam Sejarah Jakarta

Berikut ini contoh akulturasi budaya Betawi dan Tionghoa dalam sejarah Jakarta.

Contoh Akulturasi Budaya Betawi & Tionghoa dalam Sejarah Jakarta
Ilustrasi Betawi. foto/IStockphoto

tirto.id - Menurut sosiolog Gillin dan Raimy, akulturasi adalah proses budaya dalam suatu masyarakat yang dimodifikasi dengan budaya lain.

Terjadinya proses ini diakibatkan dari aktivitas kontak sosial dengan budaya lain yang berdampak pada munculnya proses akulturasi.

Akulturasi adalah proses adaptasi dengan tetap mempertahankan kebudayaan lama. Sehingga, proses ini tidak berjalan secara tunggal melainkan terjadi secara dinamis.

Indonesia kaya akan produk budaya hasil akulturasi, misalnya akulturasi budaya betawi dan tionghoa menghasilkan produk musik Orkes Gambang Kromong dan Hiasan Pakaian Pengantin Betawi.

Contoh Akulturasi Budaya Betawi & Tionghoa

1. Hiasan Pakaian Pengantin Betawi

Motif pada pakaian pengantin wanita Betawi yang dipengaruhi oleh kebudayaan Tiongkok adalah motif bunga Peoni, burung Hong ataupun naga, dimana ketiga motif tersebut merupakan ciri khas pakaian kekaisaran Tiongkok.

Pakaian pengantin wanita Betawi pada umumnya menggunakan warna merah, yang merupakan warna khas Tiongkok.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan oleh Sutzuari (2018), contoh akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya Betawi dalam bentuk pakaian adalah busana pengantin wanita Betawi dengan hiasan kepalanya.

Dikutip dari skripsi Akulturasi Kebudayaan Tiongkok dalam Pakaian Pengantin Wanita Betawi oleh Kartika Windy Lestari (2017:47), hiasan kepala pakaian pengantin wanita Betawi merupakan hasil akulturasi dari kebudayaan Tiongkok yang bercampur dengan aqidah ke Islaman, dimana masyarakat Betawi mayoritas beragama Islam.

Hal ini dapat dilihat dari hiasan kepala pakaian pengantin wanita Betawi berupa burung Hong, tusuk lam, tusuk bunga dan bunga rumput.

Burung Hong adalah burung khas Tiongkok yang dianggap sebagai burung surga dan melambangkan kebahagiaan.

Dalam hiasan kepala pengantin wanita Betawi, burung Hong ditancapkan pada sanggul buatun sebanyak 4 buah yang berarti 4 sahabat Nabi Muhammad SAW.

2. Orkes Gambang Kromong

Dikutip dari jurnal Gambang Kromong Sebagai Identitas Orang Cina Benteng oleh Risma Sugihartati (2019), akulturasi yang terbentuk dari unsur kesenian yang dimiliki orang Cina dan Betawi ini dijadikan sebagai upaya untuk mempertahankan kesenian gambang kromong sehingga tidak terkena pemberlakuan Inpres.

Keunikan gambang kromong sebagai budaya akulturasi inilah yang dirasa harus terus dipertahankan.

Perpaduan serasi antara unsur pribumi dan unsur Tionghoa dalam Orkes Gambang Kromong. Secara fisik alat-alat musik gesek, yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan adalah unsur Tionghoa.

Kedua unsur perpaduan juga tampak pada perbendaharaan lagu-lagunya seperti Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, dan Semar Gunem. Lagu-lagu ini menunjukan sifat pribumi.

Pada awalnya gambang hanya digemari peranakan Cina. Akibat dari proses pembauran menjadi digemari golongan pribumi.

Orkes gambang merupakan perkembangan dari orkes Yang Khim yang terdiri atas Yang Khim, sukong, hosiang, thehian, kongahian, sambian, suling, pan (kecrek) dan ningnong.

Perkembangan Orkes gambang menyebar ke daerah Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang. Pada daerah Tangerang di mana terdapat orang Cina Benteng yang mendiami Tangerang hingga ke pelosok.

Tangerang adalah tempat pelarian orang Cina saat terjadi pembantaian tahun 1740 dan pelarian zaman VOC Hindia-Belanda.

Pada masa pemberlakuan Inpres No 14 tahun 1967 pertunjukan gambang kromong tetap dilakukan. Namun, pelaksanaannya secara tataran pribadi orang Cina Benteng.

Pelaksanaan tradisi ini bersifat komunal dan melibatkan orang banyak. Penyelenggaraannya masih dalam tataran keluarga yang bersatu dalam wilayah kekerabatan atau yang mereka sebut kongsi.

Baca juga artikel terkait ILMU ANTROPOLOGI atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Yandri Daniel Damaledo