Menuju konten utama

Rumoh Geudong: Ingatan Korban dan Umur Panjang Kekejian

Reza Idria & Azhari Aiyub, dua penulis dari Aceh, mengisahkan teror dan kejahatan kemanusiaan dari tempat paling brutal selama dasawarsa terakhir rezim Soeharto.

Rumoh Geudong: Ingatan Korban dan Umur Panjang Kekejian
Foto-foto korban Rumoh Geudong pada peringatan Hari Kebenaran dan Martabat Korban, 24 Maret 2017. FOTO/Reza Idria

tirto.id - Rumoh Geudong adalah hakikat dari rubuhnya satu tiran, rapuhnya ingatan, dan umur panjang kekejian. Di puing-puing bekas bangunan yang sudah tidak bisa dikenali lagi sebagai satu kamp konsentrasi milik serdadu Indonesia, akhir pekan Maret lalu (24/3), beberapa korban konflik Aceh berhimpun kembali. Mereka berdoa dan memajang beberapa foto.

Ketika Aceh diperlakukan sebagai Daerah Operasi Militer 1990-1998, nyaris setiap malam, Komando Pasukan Khusus, sebuah elite tempur TNI, menggiring dan menyeret mangsa-mangsanya yang diculik dari penjuru Pidie dan Aceh Utara, lalu menyekap dan menyiksa mereka di dalam rumah jagal itu. Pada 20 Agustus 1998, Rumah Geudong dibakar massa dan berubah menjadi debu.

Dua puluh tahun kemudian, ketika korban berkumpul di gulag ini, mereka bukan membuat acara tandingan melawan obsesi beberapa habib dan politisi di Jakarta yang akhir-akhir ini rajin memanjatkan doa-doa untuk menghidupkan kembali Soeharto, jenderal yang mengerti betul pentingnya makna rumah jagal seperti Rumoh Geudong demi menopang kekuasaan di sudut-sudut terluar dari jangkauan tangsi militernya. Tetapi mereka berkhidmat untuk satu usaha kecil: untuk kebenaran dan martabat kemanusiaan.

Tentu tidak kebetulan mereka memilih 24 Maret untuk bertemu di Rumoh Geudong. Sejak 2010 tanggal tersebut telah dipilih PBB agar korban kejahatan perang, tempat mereka berbagi hari bersama para penderita TBC, punya keberanian menyampaikan dengan sebenarnya kekejian yang mereka alami, tanpa rasa takut. PBB menyerukan pemulihan harga diri korban.

Di Aceh, perlu kami garis-bawahi bahwa status korban yang melekat pada orang-orang yang datang ke Rumoh Geudong seperti yang kami tulis dalam risalah ini tidak pernah datang dari atau berdasarkan pengakuan pelaku. Setelah konflik Aceh dinyatakan usai dengan ditandatanganinya perjanjian damai antara GAM dan RI pada 15 Agustus 2005, para pelaku pelanggaran HAM di Aceh belum pernah diadili dan belum ada yang secara terbuka mengakui kejahatan yang telah diperbuatnya. Tanpa pengakuan dari pelaku, maka segala macam bala bantuan, kompensasi, dana diyat—atau apapun namanya—tidak pernah bisa mengembalikan posisi korban sebagai manusia yang bermartabat.

Dalam peringatan ini salah satu petisi korban pelanggaran HAM Aceh masih mencantumkan tuntutan agar negara menggelar pengadilan secara terbuka terhadap pelaku dari tingkat tertinggi sampai terendah. Pelaku yang dimaksud adalah penjahat perang yang ada dalam kelompok serdadu RI maupun kombatan GAM yang berseteru dengannya. Petisi ini meskipun telah bertahun-tahun dibacakan dalam pelbagai kesempatan, nada dan napasnya tetap tidak berubah. Membuat siapa pun yang membacanya terguncang dan yang mendengarnya menggigil kedinginan. Namun reaksi manusiawi tersebut hingga dua dekade terakhir belum pernah ditunjukkan oleh pelaku bagi para korban di Aceh.

Inilah kekejian yang kami sebut berumur panjang, meski perang telah lama dinyatakan berakhir. Kekejian yang dulunya memberi legitimasi bagi para pelaku untuk mengklasifikasi, mereduksi status, dan melenyapkan orang yang mereka anggap musuh terus berlanjut dalam cara mereka mendefinisikan korban.

Para pembunuh, penyiksa, dan pemerkosa di zaman konflik hingga kini masih memandang objek mereka sebagai angka, bukan harga. Kata “korban” atau “tumbal” sejatinya adalah kata yang berasosiasi dengan harga. Harga yang terpisah dari angka. Sulit menemukan padanan kata “korban” dalam perbendaharaan kata kaum fasis.

Giorgio Agamben (1995 & 2005) dalam studinya tentang akar fasisme-totalitarianisme dan hubungannya dengan kedaulatan negara menukilkan istilah Homo Sacer, status tentang orang-orang yang pantas untuk dibunuh tapi bukan untuk dikorbankan. Kata terdekat dalam kamus berbahasa Melayu untuk menyebut Homo Sacer mungkin adalah mangsa. Satu objek ketika dikonsepsi sebagai mangsa oleh manusia maka secara otomatis objek tersebut diturunkan derajat dan dikeluarkan dari lingkar kemanusiaannya. Oleh sebab itu, mencincang, menembak, dan menghabisi “mangsa” memberi logic bagi pelaku untuk tidak mengenali diri sebagai pembunuh, karena objek itu meskipun manusia sudah tidak lagi dipandang sebagai manusia.

Dalam watak fasis Orde Baru, jikapun ada yang pantas disebut korban, maka kata itu cuma berlaku bagi sejawatnya yang bernasib sial saat menjalankan operasi-operasi mereka melenyapkan mangsa. Watak tersebut tidak hanya milik tunggal serdadu. Pada zaman konflik Aceh, kami teringat beberapa media cetak yang menyokong rezim dengan sukarela memilih siapa yang patut ditulis “gugur”, siapa yang “tewas”, siapa “mati” atau “mampus”. Mereka memberi kasta pada kematian. Mentalitas negara fasis inilah yang melegitimasi tukang-tukang jagalnya untuk tidak mengakui diri mereka sebagai penjahat perang. Tanpa pengakuan pelaku, mangsa tidak pernah dipulihkan derajatnya sebagai korban, sebagai manusia.

Tidak juga mengejutkan kemudian ketika podium dan pengeras suara yang tersedia di halaman Rumoh Geudong jatuh ke tangan mereka yang punya jejak berdiri di sebelah para pelaku kejahatan perang. Setelah perang, banyak pelaku kejahatan mendadak jadi pahlawan, menempati posisi-posisi yang dari sanalah mereka menentukan bagaimana masa lalu harus dikenang.

Dari mulut merekalah, rangkaian cerita heroik yang kita dengar pada ujungnya tak lebih buat menopang keyakinan dalam kepala mereka sendiri bahwa hak atas perdamaian—kompensasi berupa materi dan kuasa—menjadi milik mereka. Privilese yang mereka miliki ini menjadikan kata korban—bagi siapa pun yang menyebutnya—sebagai ancaman bagi perdamaian. Di podium Rumoh Geudong maupun di tempat-tempat lain, kelompok pelaku sering menyatakan siap kembali berperang jika ada pihak-pihak yang mengganggu perdamaian. Ingatan korban bagi mereka adalah gangguan.

 korban di Rumoh Geudong aceh

Korban kekerasan HAM Aceh menghadiri Hari Kebenaran dan Martabat korban di Rumoh Geudong (24/3). ©Reza Idria

Tangga Kekosongan: Politik Ingatan

Para pelaku tentu gelisah dengan ingatan korban. Setelah Rumoh Geudong dibumihanguskan, tak banyak yang tersisa untuk menggambarkan bagaimana cara kerja alat negara memangsa warganya dalam bangunan yang pernah berdiri di tanah 1.500 meter persegi ini. Tinggal sebuah tangga batu, jejak yang tak bisa dilumatkan api.

Tangga setinggi 1,5 meter ini masih berdiri meskipun kotor ketika ratusan korban pelanggaran HAM Aceh mendatangi kembali neraka tersebut. Turut hadir beberapa orang muda, generasi baru yang ahli familinya dilenyapkan pada zaman konflik.

Ada ratusan korban yang tidak pernah turun lagi setelah diseret melalui tangga itu. Dan setelah disiksa, jasad mereka dibuang di pinggir jalan atau rawa-rawa, dijadikan sebagai pesan ketakutan bagi mereka yang diam-diam mendukung atau simpatisan Gerakan Aceh Merdeka. Dalam propaganda TNI selama melancarkan perang kotornya di Aceh, para korban ini dipakai sebagai perantara ‘shock therapy’, efek kejut dan takut yang mencekat hingga ke dubur siapa pun yang punya rencana menentang rezim Suharto.

Sementara puluhan korban lain dibawa oleh keluarga sebagai mayat yang telah remuk.

Juerah, yang suaminya diseret ke Rumoh Geudong dan mati disiksa, mengambil sendiri suaminya dan mengatakan apa yang paling menyakitkannya: “Saya harus memandikan jenazah suami saya yang rusak itu sendirian.” Itu lantaran tetangganya ketakutan, kecuali tiga orang yang datang belakangan secara sembunyi-sembunyi.

Teror bukan hanya menyebabkan ketakutan, tapi memaksa orang meninjau kembali hubungan sosial mereka—sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pengasingan korban dari gampong, komunitas terkecil di Aceh dan solidaritasnya relatif kuat, sebenarnya tergambarkan dari sandi operasi militer ini: ‘Operasi Jaring Merah’. Dengan pengasingan ini apa yang ingin dicapai dari operasi militer di Aceh, baik terhadap simpatisan gerilyawan maupun pihak yang netral, adalah penundukan secara keseluruhan.

Berdasarkan kesaksian puluhan korban yang berhasil selamat tapi membawa jiwa dan badan yang telah hancur, cerita tentang apa yang terjadi di dalam rumah terkutuk itu serta segenap detail bagaimana mereka disiksa, membuat kami yang mendengarnya ikut hancur dan sakit. Hanya ada kekejian dan kekejian.

Beberapa korban yang pernah kami wawancarai meyakini, siapa pun yang pernah digelandang ke gulag itu dan dibunuh, mati sebagai martir—yang dalam ajaran Islam, kesyahidan dianggap tangga paling sempurna menuju Ilahi.

Sementara bagi korban yang masih hidup, tangga batu Rumoh Geudong bukan tangga ilahi yang sesempurna itu. Ujungnya yang kini kosong tidak lagi memberi tahu ke pintu mana orang yang menaikinya harus menuju. Tangga batu itu adalah cerita lain tentang tidak sempurnanya perdamaian Aceh. Ia menjelma metafor yang mewakili hari-hari penuh nestapa yang dilalui para korban. Bersama keberanian, mereka berkhidmat di hadapan tangga kekosongan Rumoh Geudong, bersama kaburnya harapan mereka untuk melongok apa yang sebenarnya terjadi dengan anggota keluarganya di masa lalu.

Setelah Orde Baru rubuh, serdadu segera melenyapkan bekas-bekas kamp konsentrasi di penjuru pantai Timur dan pantai Barat Aceh. Sebagian musnah karena kemarahan rakyat yang telah memendam kesumat bertahun-tahun. Rumoh Geudong adalah salah satu gulag yang dibakar oleh massa. Akhirnya yang tersisa hanya ingatan korban. Ingatan yang juga memiliki batas karena jiwa dan tubuh telah remuk oleh siksa.

Tangga Keluarga: Watak Fasis Orde Baru

Antropolog James Siegel jauh-jauh hari telah menyinggung bagaimana Soeharto terobsesi dengan konsep “keluarga” (1997, 1998, 2006). Diktator ini percaya sebuah negeri bisa diatur layaknya sebuah keluarga yang harmonis. Ia mengangkat diri menjadi Bapak bagi negara dan memberikan akses yang luar biasa pada anak-anak dan karib kerabatnya. Di atas segalanya, Soeharto mengerti betul seluk-beluk, anatomi, hirarki, dan fungsi keluarga. Ia juga menggunakan pengetahuan tersebut dalam politik buat menghabisi musuh-musuhnya.

Sejak awal, operasi militer dijalankan dengan cara menyasar dan memanfaatkan hubungan kekerabatan. Keluarga sejatinya adalah benteng, tetapi ia paling lemah dan gampang direbut. Tanpa formula ini, sulit memastikan operasi militer akan berhasil. Selain teror dan efek kejut, salah satu tujuan dari penculikan adalah untuk mendapatkan informasi. Itu sebabnya, sebagian besar korban yang pernah diculik dan diseret ke Rumah Geudong adalah perempuan. Mereka dituduh terlibat dalam gerakan separatis berdasarkan hubungan kekerabatan dengan orang-orang, umumnya laki-laki, yang diduga mendukung atau terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka.

Serdadu menggunakan perempuan-perempuan ini untuk memeras informasi dengan cara menyiksa mereka secara brutal.

Kara, seorang korban Rumoh Geudong, menceritakan para penyiksanya “mengancam akan menghabisi saya kalau saya tidak memberitahu di mana suami saya.” Para korban perempuan juga diserang secara seksual, sebagaimana dialami Rujani selama berminggu-minggu disekap dalam kamp konsentrasi tersebut. Ia baru dilepaskan setelah suaminya dibunuh beberapa kilometer dari Rumah Geudong. Apabila tidak ada informasi yang bisa diperas, mereka dijadikan sebagai sandera, dan akan terus disekap sampai kerabat mereka menyerah.

Karena penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan informasi, pelaku jarang membiarkan korban seorang diri. Mereka disiksa secara bersama-sama dan bergiliran. Di lantai kayu Rumah Geudong yang penuh darah, segar dan kering, mereka diadu-domba satu sama lain.

Beberapa korban mengatakan, mereka mengalami penyiksaan di luar batas kemampuan yang sanggup mereka tanggung. Antara hidup dan mati. Tapi apa yang menyadarkan mereka kembali, ketika mereka dipaksa untuk melihat siksaan terhadap tahanan lain. Kara mengatakan, setelah disetrum, ia “disuruh menonton orang-orang yang sedang dipukuli dan diikat.”

Eksekusi mati dan siksa ala Orde Baru punya aritmatika tersendiri. Para tukang jagal di Rumoh Geudong terampil dalam mengukur batas kesadaran manusia. Sebelum ada tawanan yang diputuskan mati, betapapun hancur dan tidak bergunanya tubuh korban, pelaku tetap membutuhkan kesadaran mereka. Karena pengendalian atas kesadaran merupakan tujuan utama dari setiap kamp konsentrasi.

Kopassus menggunakan istilah ‘disekolahkan’ untuk menundukkan para tahanan, sebagaimana istilah ini pernah digunakan Nazi untuk menata ulang pikiran kaum homoseksual, gipsi, dan pembangkang politik yang dari sudut pandang fasisme dianggap menyimpang di kamp konsentrasinya. Hampir mirip seperti di Argentina setelah kudeta militer, pemerintahan junta (1976-1983) melancarkan program Proceso de Reorganización Nacional (Proses Reorganisasi Nasional)—penghalusan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik junta, terutama dari sayap kiri, lewat kamp konsentrasi—untuk menata kembali kehidupan politik, sosial, dan budaya (Daniel Feierstein: 2014).

Selain kerabat, sasaran kekejian adalah rumah korban sendiri. Korban-korban Rumah Geudong mengatakan, sebelum digiring menuju kamp konsentrasi itu, rumah mereka dihancurkan. “Rumah diobrak-abrik,” kata Yuhana yang ketika rumahnya digerebek masih belia.

Ketika kami mengunjungi rumah Juerah, ia masih bisa menunjukkan bagian-bagian rumahnya yang pernah dihancurkan, meskipun rumahnya yang lama telah direhab. Beberapa hari setelah Darurat Militer diberlakukan di Aceh (2003-2004), beberapa rumah warga, yang anggota keluarganya diidentifikasi terlibat gerakan kemerdekaan, disilang warna merah. Dan silang merah ini cukup membuat sebuah keluarga, dari bayi sakit sampai perempuan hamil, mengandangkan diri selama berhari-hari di dalam rumah.

Dari hulu ke hilir, keluarga adalah unit penting bagi proyek fasis Orde Baru. Dari Farida, aktivis yang mewakafkan hidupnya untuk mendampingi korban konflik Aceh, kami mendengar bahwa setelah DOM dicabut, sisa rezim Orde Baru merancang proyek pembungkaman. Mereka menelusuri pohon keluarga para korban demi menemukan hubungan antar anggota keluarga korban yang memiliki ikatan dengan serdadu. Kepada keluarga serdadu yang memiliki kekerabatan itulah korban dititipkan. Tujuannya keji: supaya korban berutang budi dan merasa malu jika ingin membuka aib pelaku.

 korban di Rumoh Geudong aceh

Seorang korban di depan foto-foto korban Rumoh Geudong pada peringatan Hari Kebenaran dan Martabat korban di Rumoh Geudong (24/3). Kegiatan ini bertujuan sebagai "memorialisasi" atas kebenaran masa lalu dan mendorong pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM di Aceh. ©Reza Idria

Tangga tempat Setan Melompat

Tangga batu Rumoh Geudong menjelma jadi tangga tuhan hanya bagi mereka yang hidup dan martabatnya dirampas kekejian. Bagi kami, ia monumen yang terus setia mendampingi martabat korban yang belum dipulihkan, meski dua dekade Soeharto sudah jatuh dan kamp-kamp konsentrasinya rubuh. Bagi pelaku, tangga batu Rumoh Geudong selamanya adalah tangga setan, tangga loncatan bagi karier cemerlang para perwira.

Meskipun mata para korban ditutup saat mereka diculik, mereka tahu masih banyak para pelaku kejahatan kemanusiaan di Aceh tidak tersentuh hukum. Beberapa di antara pelaku memulai kariernya dengan menginjakkan sepatu lars di tangga Rumah Geudong, sementara sisanya, pengendali pembasmian ini, menyelesaikan masa pensiun sebagai warga senior yang terhormat.

Jadi tidak begitu mengejutkan ketika Presiden Joko Widodo mengangkat mereka, para perwira yang diduga punya rekam jejak sebagai pelanggar HAM, sebagai menteri atau penasihat di kabinetnya.

Sementara korban akan terus berkumpul di hadapan tangga batu Rumoh Geudong. Dengan menggelar peringatan-peringatan, seperti akhir pekan Maret lalu, para korban percaya bahwa tangga setan yang rendah dan manipulatif masih bisa dijangkau. Sebagaimana yang dikatakan Farida, yang menjadi ketua panitia Hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran dan Martabat Korban di Rumah Geudong, kepada kami: “Tidak ada yang bisa melemparkan ingatan kami ke dalam api.”

=======

Catatan: Nama-nama dalam narasi bukan nama sebenarnya.

Reza Idria, mahasiswa program doktor di Universitas Harvard. Twitter: @RezaIdria

Azhari Aiyub, sastrawan. Twitter: @azhariaiy

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.