Menuju konten utama
Periksa Data

Citra Polri Pasca Insiden-Insiden Senjata Api yang Libatkan Polisi

Dalam kurun waktu hampir 4 tahun, terdapat 139 insiden senjata api yang melibatkan aparat kepolisian.

Citra Polri Pasca Insiden-Insiden Senjata Api yang Libatkan Polisi
Periksa Data Citra Polri Di Tengah Insiden Senpi Yang Melibatkan Polisi. tirto.id/Fuad

tirto.id - Citra polisi tengah jadi sorotan. Pasalnya, insiden senjata api yang melibatkan anggota polisi baru saja terjadi lagi.

Baru-baru ini, Irjen Polisi Ferdy Sambo, eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri, pada 9 Agustus resmi jadi tersangka kasus kematian sesama anggota polisi, Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Ironisnya, perlu diketahui bahwa tugas Propam adalah membina dan menyelenggarakan fungsi pertanggung jawaban profesi dan pengamanan internal Polri, termasuk di antaranya penegakan disiplin dan ketertiban, menukil dari laman Polri.

Sekilas soal kasus Ferdy Sambo: Awalnya, skenario yang dipaparkan adalah adanya baku tembak antara Brigadir J dan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E di rumah dinas Sambo. Yoshua tewas setelah lima peluru mengenai tubuhnya, sedangkan tujuh peluru yang ia tembakkan kepada Bharada E semuanya meleset. Pernyataan ini merupakan keterangan awal Mabes Polri soal insiden itu.

Namun, berdasarkan hasil investigasi terakhir, terungkap bahwa kejadian sebenarnya adalah penembakan terhadap Brigadir Yoshua yang mengakibatkan prajurit itu tewas.

“Mengakibatkan J (Yosua) meninggal dunia, yang dilakukan oleh saudara RE (Eliezer) atas perintah saudara FS (Ferdy Sambo),” ucap Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo saat konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (9/8/2022).

Secara keseluruhan, Polri telah menetapkan tiga tersangka lain pada kasus penembakan Brigadir J ini di samping Sambo, yakni Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan KM. Belum diketahui siapa KM ini.

Selain itu, dari pemeriksaan terhadap 56 anggota Polri yang terlibat kasus ini, Tim Khusus, yang dibentuk untuk mengungkap kasus ini, juga menemukan tak kurang dari 31 orang anggota polisi yang diduga melanggar kode etik ketika mengolah tempat kejadian perkara, yang di antaranya terdiri dari 1 perwira menengah Bareskrim dan 21 personel dari Divisi Propam Polri.

Sigit mengklaim pihaknya telah menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni Bharada Richad Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan KM. Belum diketahui siapa KM ini

Baca selengkapnya di artikel "Saat Ferdy Sambo Jadi Tersangka & Dalang Pembunuhan Brigadir J", https://tirto.id/guZZ

Namun, kasus ini ternyata bukan satu-satunya kasus yang melibatkan polisi terkait penggunaan senjata api (senpi).

Insiden Senjata Api Melibatkan Polisi Sering Terjadi

Tak lama setelah kasus penembakan Brigadir J, pada 3 Agustus 2022 terjadi sebuah insiden yang melibatkan senpi di antara sesama rekan polisi. Menukil dari Tempo, insiden terjadi ketika dua polisi, Brigadir AS dan Bripda EP, tengah bertugas menjaga salah satu kantor bank di daerah Pecenongan, Jakarta Pusat, pada Rabu, 3 Agustus 2022.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan menjelaskan bahwa kejadian ini bermula saat Brigadir AS membersihkan selongsong senjata.

"Yang pegang senjata adalah si brigadir, dia membersihkan selongsong senjata sambil ngobrol, kemudian dia bermaksud memasukkan sarung pistol di pinggang,” jelas Zulpan (4/8/2022).

Zulpan melanjutkan bahwa pemicu senjata tidak sengaja tertarik sehingga meletus saat Brigadir AS memasukkan senjata ke sarung pistol (holster) di pinggang. Akibat kelalaiannya itu, anggota lain bernama Bripda EP terluka namun tidak melukai organ vital.

Ditarik lagi ke belakang, juga sempat ada insiden senpi yang melibatkan polisi di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Seorang polisi berinisial HT tewas ditembak oleh MN, rekan kerjanya pada Oktober 2021. Diberitakan Kompas, motifnya karena pelaku cemburu mengetahui istrinya sering berkomunikasi via teks dengan korban.

Tim Riset Tirto juga mencatat beberapa insiden lainnya, seperti penyalahgunaan senjata karena perselisihan sesama rekan kerja di Polsek Sirenja, Kabupaten Donggala pada November 2019. Menukil dari Kompas.com, Aiptu P Kanit Sabhara menembak rekannya sendiri yakni Aipda NS KSPKT 1. Aiptu P yang tengah membersihkan senjata di Polsek Sirenja sempat adu mulut dengan Aipda NS. Tiba-tiba P menembakan senjata apinya ke arah NS hingga mengenai rahang. Karena panik P kemudian menembak dirinya sendiri.

Selain itu, ada pula insiden di Polsek Cimanggis, Depok pada Juni 2019. Anggota polisi, Bripka RE, tewas diduga ditembak rekannya sesama anggota polisi berpangkat Brigadir dengan inisial RT. Brigadir RT emosi lantaran rekannya, Bripka RE menolak permintaannya dengan nada kasar.

Hal ini disebabkan oleh anggota polisi yang terpancing emosi saat menangani sebuah kasus tawuran. Anggota polisi berpangkat Brigadir dengan inisial RT. Brigadir RT menembak Bripka RE sebanyak tujuh kali tembakan pada bagian dada, leher, paha, dan perut.

Selain itu, ada pula insiden di daerah pengeboran sumur minyak PT Sarana Gas Trembul 01 di Desa Trembul, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, pada Oktober 2017. Menukil dari Tribunnews, tiga personel Brimob Kepolisian Daerah Jawa Tengah diduga tewas karena ditembak rekannya sendiri di Blora, Jawa Tengah, pukul 18.30 WIB, Selasa (10/10/2017).

Tidak Hanya Sesama Polisi

Namun, insiden senjata api yang melibatkan Polri tidak hanya memakan korban sesama rekan polisi, tapi juga warga sipil dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat insiden senpi yang melibatkan Polri selama 2018 hingga 28 Juni 2022 dengan korban warga sipil nonkriminal, TNI, dan polisi, berjumlah total 139 insiden.

Tirto kemudian mengonfirmasi Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar, mengenai data ini, pada 11 Agustus 2022.

Di kurun waktu 2018 hingga 2022, KontraS mencatat bahwa ada 397 warga sipil nonkriminal, TNI, dan sesama polisi yang terluka akibat senjata api oleh polisi. Kemudian, ada 100 orang yang tewas akibat insiden senjata api yang melibatkan polisi.

Rivanlee juga menyatakan terdapat 7 insiden senpi yang korbannya merupakan sesama anggota Polri dan TNI dalam kurun waktu 4 tahun. Menurut Rivanlee pula, seringkali senjata api yang melibatkan polisi ini mengenai bagian vital, sehingga menyebabkan kematian.

Dapat dilihat bahwa kejadian paling banyak terjadi pada 2020, yakni 39 kejadian, diikuti oleh 2019 dengan 38 kejadian. Pada 2021 terdapat penurunan tren insiden senpi, hanya 14 kasus yang tercatat. Kemudian pada 2022 kejadian meningkat kembali. Belum sampai akhir tahun, hingga Juni 2022, sudah tercatat 19 insiden senpi yang melibatkan aparat kepolisian.

KontraS juga mencatat motif insiden-insiden senjata api ini, di antaranya penyalahgunaan kekuatan, pembubaran aksi, kesalahan prosedur, praktik penyiksaan, dan pengamanan swasta. Motif penyalahgunaan kekuatan menjadi motif insiden penggunaan senjata api paling dominan yang paling banyak dengan 103 kasus, diikuti oleh pembubaran aksi dengan 40 kasus.

Rivanlee juga menyebut mengenai aturan penggunaan senpi oleh pihak kepolisian.

Menurut Rivanlee, aturan yang mengatur penggunaan senpi terdapat dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 1 Tahun 2009 melalui Pasal 5 ayat (1) bagian f, tahap 6, yakni kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain, yang tujuannya menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka, yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Tahap 6 itu sendiri merupakan tahap akhir, yang artinya sudah terpaksa menggunakan senpi.

Disebutkan pula pada ayat (2), anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka.

"Mereka ini masuk ke dalam diskresinya kepolisian, yang merupakan kewenangan anggota polisi. Sayangnya diskresi ini seringkali dimaknai secara sewenang-wenang, sehingga seolah-olah semuanya legal," kata Rivanlee pada Tirto.

Rivanlee melanjutkan bahwa peraturan kedua yang membatasi ruang diskresi Kepolisian yakni Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009, tentang standar implementasi HAM. Peraturan Kapolri tersebut menurutnya paling jarang digunakan ketika anggota kepolisian melakukan tindakan.

Padahal, menurut KontraS, Perkap ini adalah salah satu perkap yang progresif untuk membatasi keleluasaan kepolisian untuk melakukan tindak kekerasan, baik itu penggunaan senpi atau penyiksaan, atau penangkapan sewenang-wenang, hak-hak tersangka, dan lain sebagainya.

Jika dilihat persebarannya berdasarkan provinsi, Papua merupakan provinsi dengan insiden senpi paling banyak, yakni 23 kasus, diikuti oleh Sulawesi Selatan (15 kasus), dan DKI Jakarta (11 kasus).

Makin Merusak Citra Polri

Kapolri pada tahun 2017, Jenderal Tito Karnavian, pernah menyatakan setelah kasus penembakan di Blora pada tahun yang sama, bahwa teknis penggunaan senjata api untuk anggota Polri diatur dalam aturan internal yang sangat ketat.

"Kami hanya berharap insiden tidak membuat publik mengeneralisir soal perilaku anggota Polri keseluruhan, karena di lingkungan Polri ada ribuan yang menggunakan senjata dan tidak ada masalah selama ini. Hanya satu oknum yang melanggar," kata Tito seperti dikutip dari Tribunnews, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/10/2017).

Namun Rivanlee dari KontraS menduga kejadian pembunuhan Brigadir J akan memperburuk citra Polri di mata masyarakat.

“Dugaan saya kuat sekali akan buruk citranya. Misalkan Irjen Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam melakukan skenario, itu sudah menunjukkan pengawasan kepolisian buruk sekali. Kedua, dia bisa melibatkan jajarannya untuk menutupi peristiwa. Ketiga, dia bisa membangun narasi ke publik agar publik percaya pada narasi tunggal kepolisian yang kita lihat pada kasus kemarin," katanya.

Senada dengan KontraS, Indonesia Police Watch (IPW) juga menyatakan bahwa kasus penembakan Brigadir J merupakan tantangan bagi Tim Khusus Internal Polri yang menangani kasus pembunuhan tersebut demi menjaga marwah institusi dan menyelamatkan Polri dari hujatan masyarakat, menukil dari siaran pers IPW yang diterima oleh Tirto tertanggal 27 Juli 2022.

Pasalnya, menurut IPW pula, banyak kejanggalan yang diungkap. Mulai dari ditutup rapatnya kasus selama tiga hari sejak 8 hingga 11 Juli 2022, hingga hilangnya telepon genggam Yosua dan rusaknya CCTV di lokasi kejadian yang menjadi pertanyaan bagi para tokoh masyarakat di DPR, LSM, hingga Presiden Joko Widodo.

Melihat ke tahun 2021, respon polisi dalam menindak kasus dugaan pelecehan seksual juga dipertanyakan, hingga memunculkan tagar #PercumaLaporPolisi.

Menurut Rivanlee dari KontraS, banyak tugas yang mesti dilakukan Polri setelah kejadian ini. Misalnya dengan menghapus kultur kekerasan, dengan meminimalisir ruang-ruang kekerasan seperti penangkapan paksa, memasang body kamera, memasang CCTV di ruang tahanan, dan membuatnya mudah diakses untuk lembaga pengawas internal maupun eksternal.

Yang kedua, polisi mesti menghapus relasi kuasa yang kerap kali tumbuh subur di kepolisian antara senior dan junior.

“Karena ini berbahaya mengingat yang bawah tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa ada legitimasi dari atasan, baik itu perintah ataupun pembiaran,” pungkas Rivanlee.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Hukum
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Farida Susanty