Menuju konten utama

CISSREC: Indonesia Perlu Grand Design tuk Hadapi Tren OTT

Pengamat mengingatkan pemerintah untuk membuat sebuah grand design yang dapat digunakan untuk melindungi Indonesia dari tren bisnis OTT yang dinilai tidak menguntungkan pemerintah setempat.

CISSREC: Indonesia Perlu Grand Design tuk Hadapi Tren OTT
(Ilustrasi) WhatsApp. Foto/Shutterstock.

tirto.id - Dengan semakin merajanya layanan "over the top" (OTT) - mengingat layanan itu tidak mengenal batas wilayah negara sebab bisa mengeruk uang dari negara mana pun - para pengamat mengingatkan pemerintah untuk membuat sebuah grand design yang dapat digunakan untuk melindungi Indonesia dari tren bisnis yang tidak menguntungkan pemerintah setempat tersebut.

OTT atau layanan dengan konten berupa data, informasi, atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet, seperti WhatsApp dan Facebook, saat ini sangat "powerfull," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Dahlian Persadha di Semarang, Rabu (17/8/2016).

Pratama mencontohkan, Facebook di Indonesia, setiap bulan bisa mengeruk lebih dari Rp500 miliar, bahkan jumlahnya terus bertambah seiring makin banyaknya pengguna internet.

Oleh karena itu, dia menyarankan agar pemerintah punya "grand design" menghadapi tren bisnis seperti itu. Masalahnya, OTT itu relatif banyak yang tidak berbadan hukum di Indonesia, tetapi punya pengguna dan pendapatan (income) yang sangat besar dari Indonesia.

Ia mengatakan bahwa hal itu jelas tidak sesuai dengan keinginan pemerintah untuk menarik sebanyak mungkin uang warga negara Indonesia di luar negeri. Pasalnya, pada saat yang bersamaan, begitu banyak potensi devisa yang disedot oleh asing.

"Itu baru dari segi ekonomi. Bayangkan dari segi keamanan, dengan edukasi yang minim saat ini Indonesia rawan menjadi serangan asing," katanya.

Pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, itu menambahkan, "Kita tidak tahu, sebenarnya data yang kita simpan di cloud maupun dikirim lewat surat elektronik (surel) gratisan itu dipakai oleh mereka."

Pratama mencontohkan, Cina yang berani menolak Google dan Facebook masuk ke negaranya karena tidak mau mematuhi aturan di Negeri Tirai Bambu itu bukan berarti rakyatnya tidak bisa menikmati media sosial dan surel. Hal ini karena pemerintah di sana sudah menyiapkan aplikasi alternatif, seperti Baidu, Weibu, dan QQ.

"Kuncinya, pemerintah mau dalam jangka menengah membangun aplikasi dan layanan yang dibutuhkan masyarakat, mulai dari surel, cloud, messenger, dan aplikasi lainnya. Dengan memakai produk sendiri, masyarakat juga bisa diarahkan untuk berpindah secara bertahap," terangnya.

Pratama sendiri melihat potensi bagus mengingat jumlah pemakai internet Indonesia terus bertambah. Namun, hal ini harus diikuti oleh kesiapan pemerintah menyiapkan SDM, layanan, dan aplikasi lokal yang mudah dipakai dan bermanfaat sehingga mudah diterima masyarakat.

Membangun aplikasi maupun infrastruktur siber, menurut dia, harus diikuti oleh membangun kesadaran keamanan siber.

"Jadi, di setiap langkah yang diambil pemerintah, selalu memperhatikan keamanan. Jangan sampai seperti e-Goverment milik Estonia yang pada tahun 2007 lumpuh karena diserang peretas (hacker) asal Rusia," katanya.

Oleh karena itu, kata Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) memandang perlu peningkatan kemampuan "cyber intelligence".

Untuk itu, ke depan instansi intelijen terkait bisa proaktif bersama badan yang mengurusi keamanan siber untuk melakukan perekrutan pemrogram (programmer) andal. Tujuannya bukan untuk memata-matai warga sendiri, melainkan memetakan potensi serangan siber.

Baca juga artikel terkait E-GOVERNMENT

tirto.id - Teknologi
Sumber: Antara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara