Menuju konten utama

CISDI: Pengesahan RUU Kesehatan Perlu Ditunda

CISDI menilai percepatan proses pengesahan RUU Kesehatan akan kontraproduktif dengan upaya memperkuat sistem kesehatan agar lebih tangguh.

CISDI: Pengesahan RUU Kesehatan Perlu Ditunda
Sejumlah tenaga kesehatan berunjuk rasa menolak RUU Omnibuslaw Kesehatan di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/11/2022). ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/wsj.

tirto.id - Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih menyampaikan, pihaknya mendesak DPR RI menunda pengesahan RUU Kesehatan dan membuka ruang pembahasan lebih lanjut bersama masyarakat sipil.

“Kami tidak mendukung percepatan pengesahan RUU Kesehatan. Kami memandang diperlukannya pembahasan lanjutan dengan waktu lebih panjang agar proses dan substansi teknis dalam penyusunan RUU ini bisa diperbaiki,” kata Diah dalam konferensi pers daring yang diikuti reporter Tirto, Kamis (8/6/2023).

CISDI, kata Diah, menilai percepatan proses pengesahan RUU Kesehatan akan kontraproduktif dengan upaya memperkuat sistem kesehatan agar lebih tangguh.

“Sebaliknya, proses penyusunan RUU Kesehatan perlu diperbaiki dan melibatkan konsultasi yang lebih inklusif, partisipatif, transparan, dan didasarkan bukti kuat,” sambungnya.

Diah menyatakan bahwa DIM RUU Kesehatan terbaru ingin menghapuskan alokasi anggaran kesehatan minimal 10% dari APBN dan APBD.

“CISDI ingin menekankan pentingnya mempertahankan komitmen anggaran 10% sebagai bentuk kehadiran dan komitmen politik negara terhadap kesehatan masyarakat,” ujar Diah.

Padahal, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki proporsi anggaran kesehatan di bawah 10 persen pada 2021 disertai distribusi alokasi yang timpang.

Selain itu, draft RUU Kesehatan belum melirik kesejahteraan kader kesehatan melalui pemberian upah secara wajib. Draft ini juga dinilai belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK), tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

“Pelembagaan kader penting untuk meregistrasikan kader, memetakan jumlah dan lokasi kader sebagai sumber daya kesehatan garda terdepan, membuat struktur pelatihan yang berkesinambungan, dan memastikan kualitas layanan dengan standar kompetensi,” imbuh Diah.

Definisi kelompok rentan pada draft RUU Kesehatan saat ini, juga diminta agar diberikan perluasan. Diah menyampaikan bahwa pihaknya mengapresiasi diterimanya masukan masyarakat sipil untuk perluasan definisi masyarakat rentan dalam penjelasan pasal 27 ayat 3 RUU Kesehatan.

“Akan tetapi, pemerintah perlu memasukkan variabel kerentanan akibat minimnya kualitas hunian termasuk akses sanitasi dan kepadatan penduduk seperti warga binaan pemasyarakatan yang akses terhadap layanan kesehatannya terbatas,” sambung Diah.

CISDI juga menyatakan mendukung usulan masyarakat sipil untuk memasukkan aturan larangan iklan, promosi dan sponsorship (IPS) rokok ke dalam RUU Kesehatan.

Di kesempatan yang sama, Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyampaikan bahwa dari segi pembahasan RUU Kesehatan yang mengundang banyak kontroversi, sudah sebaiknya aturan sapu jagat ini ditunda.

“Dari segi prosesnya, artinya kan ada proses yang terlewati, partisipasi (kepentingan publik) yang terlewati ini yang menurut saya dalam kontek sangat dekat dengan pergantian pemerintahan kita lebih baik ditunda dulu, dibongkar lagi,” kata Bivitri.

Bivitri menilai pemerintah dan DPR RI terkesan terburu-buru melakukan pembahasan RUU Kesehatan dengan memanfaatkan momen Pemilu 2024 yang kian mendekat.

“Karena semua lagi fokus ke pemilu, menyelamatkan kursi masing-masing kalau anggota DPR, dan kursi masing-masing anggota kabinet. Jadi sering kali ada keterburuan-keterburuan sehingga tidak fokus,” sambungnya.

Baca juga artikel terkait RUU KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri