Menuju konten utama

Ciri Gejala Corona Temuan Riset Terbaru Covid-19 di Amerika & Eropa

Gejala Covid-19 pada banyak orang bisa muncul dalam bentuk beragam. Riset guna memahami apa saja gejala infeksi virus corona masih terus dilakukan.

Ciri Gejala Corona Temuan Riset Terbaru Covid-19 di Amerika & Eropa
Ilustrasi Virus Corona. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Para peneliti masih terus bekerja untuk memahami seluk-beluk penyakit Covid-19 yang dipicu oleh infeksi virus corona jenis baru (SARS-CoV-2), hingga saat pandemi sudah berlangsung hampir 11 bulan lamanya.

Salah satu fokus para peneliti ialah mengenali ciri-ciri gejala Covid-19, selain yang selama ini telah umum dikenali dan diinformasikan dalam berbagai publikasi resmi, termasuk dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Fokus pada tema ini bertujuan meningkatkan kapasitas diagnosa terhadap Covid-19.

Sampai 25 November 2020, publikasi di laman resmi WHO mendeskripsikan ciri-ciri gejala Covid-19 dalam 3 kategori. WHO menyatakan gejala Covid-19 di setiap orang bisa berbeda-beda, dan sebagian pasien dengan sakit ringan hingga sedang bisa pulih tanpa harus dirawat di rumah sakit, alias menjalani isolasi mandiri.

Kategori pertama gejala Covid-19 ialah yang paling umum dialami pasien penyakit baru ini, yakni: demam; batuk kering; dan kelelahan.

Kedua, kategori gejala Covid-19 yang agak kurang umum terjadi, yaitu: rasa nyeri di tubuh; sakit tenggorokan; diare; sakit kepala; hilangnya kemampuan lidah mencecap rasa (dysgeusia) dan mencium bau (anosmia); ruam pada kulit atau perubahan warna pada jari tangan dan kaki; serta konjungtivis (mata merah).

Kemudian, kategori ketiga adalah gejala Covid-19 yang menunjukkan sakit serius pada pasien, yakni: kesulitan bernapas atau sesak napas; nyeri di dada atau rasa tertekan di dada; dan hilangnya kemampuan berbicara atau bergerak.

Sedangkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), badan kesehatan masyarakat milik Pemerintah AS, menginformasikan sejumlah ciri gejala Covid-19 yang terus diperbarui berdasarkan hasil riset terbaru. Hingga 25 November 2020, CDC mencatat ada 11 gejala yang mungkin dialami oleh pasien Covid-19 dalam waktu 2 sampai 14 hari setelah tertular virus corona.

Kesebelas gejala Covid-19 yang diinformasikan oleh CDC adalah: demam atau kedinginan; batuk; sesak napas atau kesulitan bernapas; kelelahan; nyeri di otot atau tubuh; sakit kepala; kehilangan kemampuan mencecap rasa atau mencium bau; sakit tenggorokan; hidung tersumbat atau pilek; mual atau muntah; dan diare.

CDC pun menyarankan agar mereka dengan gejala serius yang mengindikasikan Covid-19 segera menjalani perawatan darurat di fasilitas kesehatan. Sejumlah gejala serius itu adalah: kesulitan bernapas; nyeri di dada atau tekanan di dada yang terus-menerus; kebingungan; tidak mampu bangun ataupun terjaga; serta muncul kebiruan pada bibir atau wajah.

Hasil pengamatan para ilmuwan di Inggris yang disarikan BBC serta diperbarui hingga September 2020, juga menyimpulkan bahwa gejala Covid-19 di setiap orang tidak seragam. Covid-19 dapat memengaruhi banyak organ tubuh dan memicu beberapa gejala yang kurang umum.

Masih mengutip BBC, laporan para peneliti yang berbasis pada data hasil diagnosa 4 juta pasien menunjukkan ada 6 sub-tipe gejala Covid-19. Keenam sub-tipe kombinasi gejala Covid-19 adalah sebagai berikut:

-Seperti flu tanpa demam: sakit kepala, tidak bisa mencium bau, nyeri otot, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada, tidak demam.

-Seperti flu dengan demam: sakit kepala, kehilangan penciuman, batuk, sakit tenggorokan, suara serak, demam, kehilangan nafsu makan.

-Gastrointestinal (pendarahan saluran pencernaan): sakit kepala, kehilangan penciuman bau, kehilangan nafsu makan, diare, sakit tenggorokan, nyeri dada, tidak ada batuk.

-Kelelahan (parah tingkat satu): sakit kepala, kehilangan penciuman, batuk, demam, suara serak, nyeri dada, kelelahan.

-Kebingungan (parah tingkat dua): sakit kepala, kehilangan penciuman, kehilangan nafsu makan, batuk, demam, suara serak, sakit tenggorokan, nyeri dada, kelelahan, kebingungan, nyeri otot.

-Gangguan perut dan pernapasan (parah tingkat tiga): sakit kepala, kehilangan penciuman bau, kehilangan nafsu makan, batuk, demam, suara serak, sakit tenggorokan, nyeri dada, kelelahan, kebingungan, nyeri otot, sesak napas, diare, sakit perut.

Sedangkan mengutip publikasi Harvard Medical School, gejala Covid-19 yang paling umum adalah: demam; nyeri pada tubuh; batuk kering; kelelahan; menggigil; sakit kepala; tenggorokan sakit; nafsu makan hilang; dan tak bisa mencium bau.

Pada sebagian orang, Covid-19 menyebabkan gejala yang lebih parah seperti demam tinggi, batuk parah, dan sesak napas, yang seringkali menandakan pneumonia.

Orang dengan COVID-19 juga mungkin mengalami gejala neurologis, gejala gastrointestinal, atau keduanya. Hal ini dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan pernapasan.

Laporan Harvard Medical School menjelaskan, Covid-19 bisa mempengaruhi fungsi otak sehingga memicu gejala neurologis, seperti: tak mampu mencium bau dan mencecap rasa; kelemahan otot; kesemutan atau mati rasa di tangan dan kaki; sakit kepala; kebingungan; mengigau; kejang; dan stroke.

Selain beragam gejala yang terasosiasi dengan Covid-19 di atas, sejumlah hasil riset terbaru juga menjelaskan apa saja yang mungkin dialami oleh manusia setelah terinfeksi virus corona.

Berikut ini merupakan beberapa laporan riset hasil kerja para ilmuwan di Amerika dan Eropa yang diterbitkan sejumlah jurnal internasional pada pekan ketiga dan keempat November 2020.

Temuan Riset di Amerika

Sebuah laporan studi yang diterbitkan oleh Canadian Medical Association Journal (CMAJ) pada 24 November 2020 menemukan gejala Covid-19 yang mungkin khas terjadi pada anak-anak.

Riset ini mengamati hasil tes terhadap 2.463 anak-anak di Provinsi Alberta, Kanada, yang 1.987 di antaranya positif Covid-19.

Sepertiga dari mereka yang positif Covid-19 tidak mengalami gejala. Namun, sebagian anak-anak yang punya gejala Covid-19, mayoritas mengalami hilangnya kemampuan mencecap rasa ataupun mencium bau, mual atau muntah, sakit kepala, dan demam.

Gejala berupa batuk, pilek, sakit tenggorokan juga tercatat dialami oleh banyak anak-anak yang dinyatakan positif Covid-19. Namun, tiga gejala yang terakhir juga dialami oleh anak-anak yang terbukti negatif Covid-19.

Riset yang dikerjakan oleh tim peneliti University of Alberta tersebut mencatat 8 persen anak-anak yang dites positif Covid-19 kehilangan kemampuan indera perasa atau penciuman. Sebaliknya, 1 persen saja dari anak-anak yang dites negatif Covid-19 mengalami gejala serupa. Sementara pada gejala mual atau muntah, perbandingannya adalah 4 persen vs kurang dari 1 persen.

Sakit kepala adalah gejala pada 16 persen kasus positif, dibandingkan dengan enam persen pada kasus negatif. Dan, 26 persen anak-anak kasus positif mengalami demam, dibandingkan dengan 15 persen yang negatif.

Salah satu peneliti dalam riset tersebut, Dr. Finlay McAlister mengatakan bahwa gejala berupa batuk, pilek, dan sakit tenggorokan sama-sama umum terjadi pada anak-anak yang positif Covid-19 maupun negatif tetapi terpapar virus lain.

Finlay juga mencatat kebanyakan kasus positif Covid-19 yang diamatinya cenderung dialami oleh anak-anak berusia 13-17 tahun, demikian dikutip dari Global News.

Satu studi terbaru lainnya, yang diterbitkan jurnal EClinical Medicine pada 20 November 2020 dan dirangkum oleh Science Daily, memperkuat dugaan bahwa penyakit Covid-19 meningkatkan risiko pembekuan darah (hiperkoagulabilitas).

Laporan studi yang dikerjakan oleh tim peneliti dari University of California San Diego, AS tersebut menyimpulkan, pembekuan darah meningkatkan risiko kematian hingga 74 persen pada pasien Covid-19. Kesimpulan ini merupakan hasil analisis terhadap 42 laporan riset yang melibatkan 8000 pasien Covid-19.

"Kami mulai melihat manifestasi yang sangat tidak biasa dari vena dan tromboemboli arteri pada pasien dengan COVID-19," kata kepala divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular di UC San Diego Health, Mahmoud B. Malas, MD, peneliti utama dalam studi tersebut, dikutip dari Science Daily.

"Selain kasus pembekuan darah yang lebih tinggi, kematian pasien yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 dan tromboemboli pun jauh lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa pembekuan darah. Kami belum pernah melihat hal seperti ini di infeksi pernapasan lain," dia menambahkan.

Temuan Riset di Eropa

Salah satu laporan riset terbaru yang mengamati gejala Covid-19 dikerjakan oleh enam ilmuwan dari Inggris, Italia, dan Skotlandia. Laporan studi mereka diterbitkan di jurnal The Lancet Microbe pada 19 November 2020.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa orang yang terinfeksi virus corona lebih mungkin menularkan Covid-19 dalam lima hari setelah mengalami gejala. Oleh karena itu, para ilmuwan yang terlibat dalam riset itu menyarankan orang positif Covid-19 perlu menjalani isolasi sedini mungkin.

"Studi ini merupakan tinjauan sistematis serta meta-analisis pertama yang secara komprehensif memeriksa dan membandingkan viral load dan penularan tiga jenis virus corona yang menginfeksi manusia [SARS-CoV, MERS-CoV, SARS-CoV-2]," kata peneliti Universitas St Andrews yang terlibat dalam pengerjaan studi itu, Dr Muge Cevik, di Skotlandia, seperti dilansir Euronews.

"Hasil studi ini memberi penjelasan yang jelas mengapa SARS-CoV-2 [COVID-19] menyebar lebih efisien daripada SARS-CoV dan MERS-CoV dan jauh lebih sulit dikendalikan," tambah Cevik.

Sekalipun materi genetik virus corona masih terdeteksi dalam sampel pernapasan dan tinja pasien Covid-19 hingga beberapa minggu, Cevik mengatakan studi yang dikerjakan timnya menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak terkandung lagi dalam sampel yang diambil dari para pesien pada 9 hari setelah mereka terinfeksi.

Hasil studi ini semakin menegaskan pentingnya isolasi selama 10-14 hari terhadap pasien Covid-19 setelah gejala infeksi virus corona pertama kali muncul.

Namun, para peneliti dalam studi yang sama mengakui bahwa temuan mereka masih memerlukan bukti penguat karena pengamatan dilakukan hanya pada data pasien yang dirawat di rumah sakit.

Studi tersebut tidak mengamati orang-orang yang tidak menunjukkan gejala karena para peneliti mengatakan data yang tersedia masih terbatas. Namun, Cevik memperingatkan mereka yang tidak mengalami gejala juga bisa menularkan Covid-19, meski dalam durasi lebih singkat.

"Mayoritas studi yang termasuk dalam tinjauan kami meneliti pasien yang dirawat di rumah sakit. Oleh karena itu, temuan kami mungkin tidak berlaku untuk orang dengan infeksi yang lebih ringan meskipun studi ini juga menemukan bahwa mereka yang mengalami gejala ringan bebas dari virus lebih cepat," kata peneliti lainnya yang bekerja bersama Cevik, yakni Dr Antonia Ho dari MRC-University of Glasgow Center for Virus Research.

"Peningkatan penerapan pengobatan, seperti dengan deksametason, remdesivir serta antivirus dan imunomodulator lain dalam uji klinis juga cenderung mempengaruhi pelepasan virus pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Riset lebih lanjut dalam konteks ini diperlukan," Antonia melajutkan.

Baca juga artikel terkait COVID-19 atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH