Menuju konten utama

Ciri-ciri Sastra Melayu Lama dan Contoh Karyanya

Berikut ciri-ciri sastra melayu lama dan sejumlah contoh karya klasik dari periode tersebut.

Ciri-ciri Sastra Melayu Lama dan Contoh Karyanya
Ilustrasi Buku. tirto.id/iStockphoto

tirto.id - Dalam tradisi Melayu, karya sastra berkembang sejak lama, bahkan jauh sebelum ia dan bahasa turunannya menjadi identitas kebangsaan. Di sisi lain, menurut Shah dkk. dalam Similarities and Dissimilarities Between Character Frequencies of Written Text of Melayu (2013), rumpun bahasa Melayu mempunyai ikatan fonetis yang dekat dengan bahasa Indonesia. Apalagi bahasa Indonesia memang mengakar dari bahasa Melayu.

Di sisi lain, bahasa Melayu juga tidak serta merta berdiri tanpa pengaruh kebudayaan lain. Melayu punya keterikatan yang kuat dengan budaya Hindu-Buddha, Islam, dan Barat. Hal ini dikarenakan wilayah tempat bermukim penutur bahasa Melayu merupakan jalur lintas dagang internasional.

Periodisasi kesusastraan Melayu dapat dibagi menjadi dua, yakni Melayu Lama (klasik) dan Melayu Modern. Pembagian itu respons terhadap kebudayaan Melayu yang turut mengalami perubahaan.

Mengutip dari ulasan Ummu F.R. Lestari bertajuk "Konvensi dan Inovasi Sastra Melayu Hang Tuah (Studi Perbandingan dalam Prosa dan Puisi)" dalam Jurnal Medan Makna (Vol. 15, 2017), sastra Melayu Lama mengalami masa perkembangannya pada rentang abad ke-16 sampai paruh pertama abad 19.

Bentuknya kebanyakan hikayat dan cerita lisan. Mayoritas karya sastra Melayu Lama pun berisikan petuah dan nasihat pedagogis.

H.M. Bahar Akkase Teng melalui "Tuhfat Al-Nafis: Karya Sastra Sejarah (Melayu) dalam Perspektif Sejarah" dalam Jurnal Paramasastra (Vol. 2, 2015) menjabarkan beberapa ciri sastra Melayu Lama sebagai berikut:

1. Perkembangannya statis, ditandai dengan penggunaan pola kebahasaan yang terlalu kaku. Akibatnya, pola kalimatnya cenderung repetitif dan muatan prosanya klise. Sebagai contoh, "menurut empunya cerita", "konon", "sahibul hikayat", dan lain sebagainya.

2. Bentuk kesusastraannya masih terikat logika kebahasaan yang baku. Pola larik dan baitnya masih terjebak dengan penekanan kesesuaian rima akhir. Hal-hal demikian dapat terlihat pada pola sajak pantun a-b-a-b.

3. Kisahnya berupa kehidupan kerajaan yang menggambarkan kepahlawanan, cerita cinta di lingkungan istana, kegemilangan para raja, dewa, dan tokoh mulia.

4. Penyampaiannya masih tradisional, kebanyakan diproduksi dan didistribusi melalui media lisan atau mulut ke mulut. Karena itu, keabsahan ceritanya selalu ditangguhkan orisinalitasnya lantaran subjektivisme penutur yang punya bias tersendiri.

5. Kepemilikan karya cenderung kolektif dan hanya menghiasi rinai bibir masyarakat tanpa dimiliki secara sepihak (berlabel nama pengarang).

Contoh Karya Sastra Melayu Lama

Terdapat sejumlah contoh karya sastra melayu lama yang menarik untuk diamati. Di antara karya-karya itu adalah sebagai berikut.

1. Hikayat Hang Tuah

Semasa periode Kesusastraan Melayu Lama, kisah kepahlawanan yang memotivasi pembacanya adalah salah satu topik paling beken. Kisah ini biasanya dibungkus dengan penokohan sang karakter utama yang merupakan orang biasa, kemudian dengan semangat juang dan kegigihan hatinya, ia menjadi orang besar.

Seperti halnya Hikayat Hang Tuah yang juga mengadopsi pola demikian. Ia merupakan salah satu pahlawan rekaan dari tanah Melayu.

Kendati tak diketahui dengan pasti siapa pengarang pertamanya, V.I. Braginsky dalam Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (1998) mengklaim bahwa kisah ini merupakan karangan seorang misionaris Belanda bernama F. Valentijn. Karangan itu diberi judul Oud en Nieuw Oost Indie (Hindia Timur Lama dan Baru) yang terbit pada 1726.

Hikayat Hang Tuah menceritakan perjalanan romantisasi seorang yang biasa saja. Kemudian dengan bermodalkan keberanian serta kegagahannya, ia menjadi hulubalang terkenal di Melayu. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai sosok yang patuh dan setia terhadap Raja Malaka. Hal itu membuat ia menjadi pribadi yang disegani banyak masyarakat.

Di periode kesusastraan modern, kisah Hikayat Hang Tuah kemudian dipugar, ditata ulang, dan dikonvensi tak jauh dari cerita aslinya. reproduksi yang dilakukan hanya sebatas pengayaan kata dan kebahasaan, tanpa mengubah isi dan makna cerita.

Misalnya, Hikayat Hang Tuah karya Sutrisno (1979) dan Mosthamir Thalib (2003), kemudian puisi Taufik Ikram Jamil berjudul Penyair Hang Jebat dan Percintaan Hang Tuah-Tuh Teja (Kompas, edisi 1 September 2013).

2. Hikayat Darma Tahsiyah

Salah satu aspek paling menarik yang bisa ditonjolkan dari cerita Hikayat Darma Tahsiyah adalah muatan kisah yang menitikberatkan tokoh perempuan. Tahun pembuatannya tak bisa diidentifikasi secara pasti.

Isi ceritanya menggambarkan tokoh perempuan berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Perempuan dalam cerita ini dilukiskan sebagai tokoh yang berwatak mulia, dapat mengurusi rumah tangga dengan bijak, dan mengayomi keluarga.

Selain berkembang di Melayu, nama tokoh serupa juga dikenal dalam literatur sastra daerah lain. Misalnya, menurut Yayah Chanafiah dalam "Konsep Pemikiran Budaya Masyarakat Melayu Pengaruh Islam dalam Karya Sastra Melayu Klasik Hikayat Darma Tahsiyah" di Jurnal Wacana (1993), nama Inderamartasiyah dikenal sebagai seorang perempuan taat dan setia dari Bugis, Sulawesi Selatan.

Cerita yang kedua begitu populer di daerah asalnya. Apalagi penyajiannya dilantunkan dengan nyanyian yang disebut Makelong, sementara sang pelantun disebut Pakelong.

Di beberapa tempat lain, tokoh dengan nama mirip juga menjadi salah satu karakter dalam kisah sastra klasik. Di Surakarta dan Yogyakarta, nama tokoh ini bermutasi menjadi Murtasiyah.

Selanjutnya di tradisi Sunda, nama tokoh yang mirip menjadi karakter utama di naskah berjudul Wawacan Murtasiyah. Sementara di Cirebon, Dewi Murtasiyah digambarkan sebagai wanita yang teraniaya oleh kebengisan suami. Lantaran dirinya memotong beberapa helai rambut guna menjadi sumbu lampu yang hendak padam, ia diusir dari rumah oleh suami. Bukannya melawan, ia justru taat dan patuh pada keputusan suami.

3. Karangan Islami dari Arab dan Persia

Pengaruh kebudayaan Islam di Melayu sungguh besar. Ekspansinya tak hanya memengaruhi sosio-kultur tetapi juga adat istiadat dan hukum yang berlaku. Kehadiran kebudayaan Islam itu akhirnya merembet ke lapisan-lapisan mikro, salah satunya sastra.

Pengaruh Islam terhadap kebudayaan Melayu datang dari Arab dan Persia. Keduanya dibawa oleh para saudagar muslim yang bermigrasi ke Sumatra dan semenanjung Malaya.

Hal ini dapat dilihat pada bukti peninggalan kerajaan Islam tertua di Melayu, yaitu Samudra Pasai (1272-1516) dan Malaka (1400-1511). Pada masa 2 kerajaan ini, penggubahan karya sastra islami digencarkan sehingga menjadi basis wacana kuat dan mengakar di kebudayaan Melayu.

Contoh dari beberapa karangan Islami itu adalah kitab Taj al-Salatin, yang berisikan perundang-undangan dan hukum yang berkembang di Parsi dan Mughal. Kemudian juga karya sastra yang mengisahkan rentetan raja-raja Melayu, Sulalat al-Salatin. Kitab itu menjadi referensi utama silsilah raja-raja di Melayu dalam kacamata sastrawi.

Ada pula sejumlah prosa seperti dirangkum oleh Abdul Hadi W.M. dalam artikelnya yang bertajuk "Jejak Persia dalam Sastra Melayu" di jurnal Media Syariah (Vol. 15, 2013). Prosa-prosa itu berjudul Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mi'raj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan lain sebagainya. Kesemuanya berbicara tentang riwayat kenabian dari Rasulullah Muhammad SAW. .

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom