Menuju konten utama

Chrisye Terbang Tinggi Bersama Badai Pasti Berlalu

Chrisye memulai karier dengan terlibat di album Guruh Gipsy dan tembang "Lilin-Lilin Kecil" gubahan James F. Sundah.

Chrisye Terbang Tinggi Bersama Badai Pasti Berlalu
Ilustrasi Chrisye. tirto.id/Gery

tirto.id - Christian Rahadi atau Chrisye. Nama itu hadir dalam benak Erros Djarot saat menentukan penyanyi untuk lagu-lagu di film Badai Pasti Berlalu, selain Berlian Hutauruk.

Namun “badai” menerjang rencana ini. Sang sutradara, Teguh Karya, menolak Chrisye. Ia lebih memilih Broery Marantika, penyanyi yang saat itu lagi populer. Erros tak kuasa menolak. Berlian Hutauruk juga ditampik.

“Suara siapa itu? Kayak kuntilanak,” kata Teguh.

Teguh lantas memilih Anna Mathovani. Tiga tahun sebelumnya, Broery dan Anna terlibat dalam film musikal Teguh berjudul Cinta Pertama. Agaknya pria bernama asli Steve Liem itu kepincut dan ingin memanfaatkan lagi suara emas mereka.

Ketegangan menjalar di antara Sang Sutradara dan Sang Penata Musik. Untuk Berlian, Erros enggan mengalah.

“Kalau nggak setuju…..ya batalin aja semua,” ujar Erros.

Teguh melunak. Kompromi terjadi. Broery menyanyikan "Merpati Putih" dan "Baju Pengantin", Berlian membawakan "Badai Pasti Berlalu".

Chrisye akhirnya hanya main bas. Kibordis dan musisi kreatif, Yockie Suryoprayogo, mengurus aransemen. Erros menjadi konseptor dan penulis lagu.

Awal Mula Karier yang Panjang

Semua bermula pada pertengahan 1977. Erros menghubungi Chrisye. Ia diserahi proyek bikin musik untuk film Badai Pasti Berlalu. Bintang utamanya Slamet Rahardjo (kakak kandung Erros), Christine Hakim, dan Roy Marten.

Chrisye baru di awal karier. Ia terlibat di album Guruh Gipsy dan memetik popularitas lewat tembang "Lilin-Lilin Kecil" gubahan James F. Sundah dalam Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) 1977 yang diinisiasi Radio Prambors, Jakarta. Juga mengisi vokal di album Jurang Pemisah yang banyak disebut sebagai “eksperimen estetis dan politis” Yockie.

Badai Pasti Berlalu pun menjanjikan eksperimentasi.

“Teguh menginginkan ilustrasi musik yang menawarkan pembaruan. Bukan musik romantis yang cengeng, juga bukan musik yang susah dicerna. Tapi semacam musik pop dengan level yang tinggi. Berkelas,” ungkap Chrisye dalam Chrisye: Sebuah Memoar Musikal karya Alberthine Endah.

Sebelum Badai Pasti Berlalu, Erros (dan Barong’s Band) bekerja sama dengan Teguh Karya untuk menata musik di Kawin Lari (1975). Untuk garapan di film ini, Erros dan Barong’s Band diganjar sebagai Penata Musik Terbaik pada Festival Film Indonesia 1976.

Erros mengenal sejak Chrisye bergabung dengan band Gipsy di masa SMA dan kerap menyanyikan lagu-lagu Chicago atau Blood Sweat & Tears. Mereka sebaya, Chrisye hanya setahun lebih tua. “Sejak dulu saya suka suaranya, suara yang sulit tergantikan sampai sekarang,” tulis Erros di majalah Rolling Stone Indonesia edisi November 2008.

Mereka kemudian berpisah. Erros kuliah ke Jerman. Gipsy sempat dikontrak setahun sebagai home band di Restoran Ramayana milik Pertamina di New York, Amerika Serikat.

Gipsy berangkat lebih dulu pada awal 1973. Chrisye tertinggal di Jakarta. Ia mengalami pergolakan batin karena merasa ayahnya, Laurens Rahadi, pasti kecewa jika ia berangkat dan meninggalkan kuliah di Akademi Perhotelan Trisakti. Musik tak bisa diharapkan sebagai tumpuan hidup, kata ayahnya, jauh sebelum undangan ke New York muncul. Jadikan musik sebagai hobi saja, kuliah yang serius, lalu cari kerja normal.

Perasaannya begitu halus: memilih diam dan menyiksa diri ketimbang melukai hati sang ayah. Chrisye pun sempat jatuh sakit. Belakangan Laurens menemui Chrisye dan bertanya.

“Kamu benar mau ke New York?”

Sang anak hanya mampu mengangguk. Sempat terjadi perang dingin beberapa waktu. Namun, sang ayah melunak. Izin berangkat terbit. Chrisye bersorak girang dan menyusul ke New York.

Ketika tawaran membuat musik film Badai Pasti Berlalu datang, Chrisye menyatakan, “Saya sendiri belum bisa membayangkan bagaimana kira-kira musik yang dimaksud Erros. Tapi apa yang dicetuskan Erros tentang musik yang berbeda membuat saya tertarik.”

Toh terselip gentar di dada Chrisye. Maklum membuat musik film adalah sesuatu yang baru baginya. Namun Erros meyakinkan bahwa mood film itu telah dikuasainya.

Segera saja Erros, Yockie, dan Chrisye menjadi erat dan solid. Nyaris tiap hari mereka bertemu. Tenggat memang terbilang cukup mepet. Kurang dari tiga bulan mesti kelar. Hasilnya menggembirakan: pada Festival Film Indonesia 1978, Erros menjadi Penata Musik Terbaik.

Lalu muncul ide untuk mengembangkannya menjadi album kaset. Total ada tambahan delapan lagu.

Infografik Chrisye

Infografik Chrisye. tirto.id/Sabit

Di album ini Chrisye pertama kali mencipta lagu, yaitu "Merepih Alam". Proses penciptaan cukup cepat. “Saya hanya melamun di teras dan seperti mendapat wangsit melodi. Lirik saya kerjakan mengikuti mood yang meletup-letup,” kata pria kelahiran 16 September 1949 tersebut.

Dalam ingatan Erros, setelah mendengar melodi dasar "Merepih Alam", ia menyampaikan masukan. Karena itu, kredit lagu atas nama Chrisye dan Erros. Lagu rampung dan Chrisye bilang: bikin lagu ternyata gampang. Langsung Erros menimpali, “Elo aja yang penakut, apalagi elo main musiknya jauh lebih bagus dari gue.”

Saat membikin album kaset, posisi Chrisye sebagai penyanyi dikembalikan. Ya, Teguh Karya tak lagi jadi pemegang otoritas. Suara Chrisye dan Berlian berkumandang di sana. Rekaman tuntas, Yockie mengenang, tak ada satu produser pun yang bersedia mengedarkan. Musik di album tersebut dianggap ”aneh.”

Bos perusahaan rekaman Irama Mas, In Chung, menjadi juru selamat. Album itu kemudian dibeli putus oleh Irama Mas. Dengan begitu tak ada lagi perkara royalti. Untung atau rugi menjadi urusan Irama Mas.

Ternyata album itu laku keras. “Kaget. Tentu saja saya kaget. Begitu juga Eross dan Yockie. Kami sama sekali tak menyangka sukses album ini demikian besar,” ujar Chrisye.

Sukses ini memompa rasa percaya diri. Chrisye semakin yakin musik adalah kariernya. Semula ia masih bimbang karena industri musik saat itu belum bisa memberi garansi kehidupan layak kecuali memang ngetop banget. Terbayang pula wajah skeptis ayahnya.

Sejumlah teman berseru, “Sudahlah, Chris, elu gak usah hidup dari musik. Sampai berapa tahun sih kita bisa bertahan begini?! Nyambi aja, kerjakan bisnis sambil main musik.”

Hal lain yang dihargai Erros adalah keberanian Chrisye untuk hidup dari musik saja. “Elo gila juga ya, Chris. Salut banget sama elo. Berani hidup dari musik. Kalau gue sih enggak berani,” kata Erros suatu ketika.

Chrisye tipikal individu yang cuma bisa berkonsentrasi pada satu hal besar. Ketika musik telah menjadi pilihan, ia bakal berjuang keras agar bisa hidup layak hanya dari sana.

Keyakinan Berada di Jalur Musik

Pada 1978, Amin Widjaja dari Musica Studio datang ke rumah orang tua Chrisye di kawasan Pegangsaan, Jakarta Pusat. Amin mengajak Chrisye untuk rekaman solo. Kabarnya Amin telah mengamati sejak Guruh Gypsy dan Jurang Pemisah. Namun ia baru menemui setelah album Badai Pasti Berlalu meledak.

Pada hari-hari itu juga Laurens akhirnya benar-benar luluh. Ketika mengizinkan ke New York, ia masih setengah hati. Tapi, bertahun-tahun kemudian, meluncurlah pengakuan, “Selama ini Papi salah. Papi telah memperlakukan kalian seperti milik Papi…Chris, apa pun yang kamu pilih, Papi menyerahkan seutuhnya pada kamu.”

Jalan panjang berliku namun tak keliru. Chrisye bertengger di puncak popularitas pada pertengahan 1980-an ketika melempar album Aku Cinta Dia, Hip Hip Hura, dan Nona Lisa. Kaset-kasetnya laku, lagu-lagunya rajin diputar di radio. Tapi sudah tak ada Erros dan Yockie di sisinya, berganti musisi seperti Addie MS dan Adjie Sutama.

Begitulah. Badai Pasti Berlalu mengubah hidup Chrisye, perlahan tapi pasti menerbangkannya menjadi bintang kemilau di langit musik Indonesia.

Album tersebut niscaya monumen gemilang. Pada akhir 2007, Rolling Stone Indonesia menobatkannya di peringkat pertama “150 Album Indonesia Terbaik.” Bertahun-tahun kemudian, proyek kolektif sejumlah penulis menaruh Badai Pasti Berlalu di peringkat kelima dalam buku This Album Could Be Your Life – 50 Album Musik Terbaik Indonesia 1955-2015.

Hampir 30 tahun setelah album Badai Pasti Berlalu dirilis, pada 30 Maret 2007, Chrisye meninggal dunia. Sejarah industri musik Indonesia mencatatnya sebagai salah seorang musisi paling komplet dan paling dihormati sepanjang masa.

Baca juga artikel terkait CHRISYE atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Musik
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono