Menuju konten utama

Chili Bersiap Menggulingkan Neoliberalisme Lewat Konstitusi Baru

Rakyat Chili berada dalam gelombang perubahan besar. Mereka memutuskan merombak konstitusi propasar peninggalkan diktator Pinochet.

Chili Bersiap Menggulingkan Neoliberalisme Lewat Konstitusi Baru
Pengunjuk rasa melakukan demonstrasi sambil membawa bendera dan poster saat protes atas model ekonomi negara Chili di Santiago, Chili, Jumat (25/10/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Ivan Alvarado/wsj/cfo

tirto.id - Babak baru sejarah politik Chili telah dimulai sejak Juli ini. Konvensi Konstitusional resmi bekerja. Lembaga ini diberi mandat untuk merumuskan undang-undang dasar baru untuk menggantikan konstitusi lama warisan Jenderal Augusto Pinochet, diktator sayap kanan yang berkuasa pada 1973-90. Draf konstitusi baru ditargetkan selesai dalam satu tahun, sebelum diputuskan diterima atau tidak melalui referendum.

Konvensi Konstitusional, terdiri dari 155 anggota yang dipilih melalui pemilu langsung pada 15-16 Mei 2021, dipandang sebagai badan paling inklusif yang pernah mewakili rakyat Chili: terdiri dari 78 laki-laki dan 77 perempuan—17 orang di antaranya merupakan tokoh masyarakat adat dan sedikitnya enam orang mengidentifikasi diri sebagai LGBT. Mayoritas delegasi (65 orang) juga tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun alias independen, kontras dengan Kongres yang dikuasai koalisi partai berhaluan kanan-tengah. Kebanyakan berlatar belakang non-elite dan punya riwayat aktivisme bidang lingkungan sampai pemberdayaan perempuan.

Namun Konvensi Konstitusional tetap dimotori oleh gerakan yang cenderung berhaluan kiri. Partai kiri-tengah dan kiri masing-masing memperoleh 25 dan 28 kursi, sementara koalisi kanan-tengah harus puas dengan perolehan 37 kursi.

Tokoh suku Mapuche bernama Elisa Loncón (58) terpilh sebagai ketua. Peneliti dan dosen linguistik di Universitas Santiago ini sudah malang melintang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Terpilihnya Loncón sebagai nakhoda tim sudah dipandang sebagai pencapaian tersendiri. Untuk kali pertama seorang minoritas dipilih untuk memimpin misi memperjuangkan kepentingan rakyat—mulai dari pelajar sekolah sampai lansia—di negara dengan 19 juta populasi jiwa ini. BBC juga melaporkan bahwa masyarakat adat Chili belum banyak berkiprah dalam pemerintahan, padahal negara tersebut memiliki sembilan grup suku tradisional dengan populasi mencapai sembilan persen dari total penduduk. Chili juga menjadi satu-satunya negara di Amerika Latin yang belum mengakui masyarakat adat dalam konstitusi.

Bermula dari Demostrasi 2019

Menulis ulang konstitusi adalah keputusan 78 persen rakyat dalam referendum yang diselenggarakan pada 25 Oktober 2020. Konstitusi era Pinochet yang ditetapkan pada 1980 dipandang terlalu berpihak pada swasta dan menjadi biang kerok masalah ketimpangan sosio-ekonomi selama sekian dekade. Selain itu, mayoritas rakyat menginginkan konstitusi baru dirumuskan oleh perwakilan yang juga dipilih langsung, alih-alih melibatkan anggota dewan.

Semua berawal dari keresahan dan kemarahan rakyat pada Oktober 2019. Para pelajar berdemonstrasi menolak rencana kenaikan harga tiket kereta di ibu kota Santiago. Presiden Sebastián Piñera, politikus berhaluan kanan, akhirnya membatalkan rencana tersebut. Akan tetapi, demonstrasi yang kelak populer dengan nama Estallido Social—Ledakan Sosial—ini sudah terlanjur beranak pinak menjadi protes besar yang dalam salah salah satu hari bisa dihadiri lebih dari satu juta demonstran. Isu-isu yang diangkat pun melebar, dari mulai mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, sistem dana pensiun, serta berbagai ketimpangan sosio-ekonomi lainnya yang lahir karena kebijakan privatisasi besar-besaran. Protes harga tiket berubah menjadi protes terhadap pemerintahan.

Piñera mengakui bahwa “memang benar masalah menumpuk selama beberapa dekade dan pemerintah yang berbeda tidak dapat mengenali situasi ini.” Ia sendiri “menyadari dan meminta maaf”. Piñera lantas menjanjikan subsidi ekstra bagi pensiunan, asuransi kesehatan tambahan, upah minimum bulanan 483 dolar AS (Rp7 juta), pajak lebih besar bagi pekerja berpenghasilan di atas 11 ribu dolar AS (Rp150 juta), pembatalan rencana kenaikan harga listrik, bahkan pemotongan gaji anggota Kongres dan PNS berpangkat tinggi. Namun, permintaan maaf dan janji toh tidak membuat demonstran puas.

Situasi bertambah runyam karena aparat kerap merespons demonstran dengan kekerasan. Investigasi Amnesty International satu bulan setelah demonstrasi pecah mengungkap lima demonstran meninggal dan aparat sudah melakukan pelanggaran HAM. Kelak pemantau HAM Chili memperbarui data, bahwa sedikitnya 27 yang orang meninggal selama aksi berlangsung. Temuan ini didukung oleh laporan PBB yang rilis Desember 2019. Isinya menjabarkan 345 orang mengalami trauma pada mata akibat peluru karet polisi, 113 kasus penyiksaan, 24 pelecehan seksual, dan sedikitnya 1.600 orang masih menjalani penahanan prapengadilan (dari total 28 ribu orang yang pernah ditahan sejak demonstrasi dimulai).

Piñera, yang dianggap gagal melindungi HAM selama protes, telah berusaha dimakzulkan tapi tidak membuahkan hasil. Politikus partai sayap kanan Renovación Nacional sekaligus pengusaha kaya tersebut tetap bertahan di kursi kepresidenan. Namun demikian, pada November 2019, satu bulan setelah rakyat turun ke jalan, Piñera menyanggupi salah satu tuntutan, yakni menyelenggarakan referendum untuk mengganti Konstitusi 1980—dokumen 'sakti' di balik ketidakadilan sosio-ekonomi di Chili selama ini.

Pinochet dan Kelahiran Neoliberalisme

Menurut dosen hukum sekaligus anggota Konvensi Konstitusional Fernando Atria, konstitusi warisan Pinochet pada dasarnya bersifat neoliberal. “Peran utamanya adalah menjamin kondisi-kondisi untuk pasar bebas, bahkan di area-area sosial yang tradisional seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan sosial,” ujarnya pada 2020, dikutip dari New York Times. Di Indonesia, neoliberalisme diterapkan mulai 1998, lewat program penyesuaian struktural atau pembatasan intervensi negara di ranah ekonomi seperti pencabutan subsidi, privatisasi, dan perdagangan bebas.

Dengan sokongan CIA pada 1973, Pinochet melancarkan kudeta terhadap Salvador Allende, presiden berhaluan sosialis yang terpilih secara demokratis. Pinochet lantas fokus memulihkan perekonomian yang terpuruk di antaranya karena inflasi tinggi (mencapai 150 persen pada 1972) dan produktivitas rendah BUMN, yang diperparah oleh blokade ekonomi dari Amerika Serikat.

Melansir Authoritarianism and the Elite Origins of Democracy (2018) karya Michael Albertus dan Victor Menaldo, program utama Pinochet adalah privatisasi, yang kelak berperan melahirkan elite-elite baru. Sektor telekomunikasi, listrik, hingga perbankan dialihkan menjadi milik swasta. Selama Pinochet berkuasa, jumlah perusahaan negara menyusut dari 594 (1973) jadi 43 (1989). Lama-kelamaan, satu perusahaan bisa punya bank sendiri sekaligus membawahi badan usaha di bidang lain. Mereka inilah yang disebut konglomerasi besar—grupos económicos. Komisaris untuk korporat-korporat raksasa ini ditunjuk langsung oleh lingkaran kekuasaan. Sebagai contoh, mantu Pinochet sendiri jadi komisaris perusahaan nitrat Soquimich.

Langkah lain yang diambil Pinochet adalah menghapus kebijakan reforma agraria. Sampai 1979, sekitar 30 persen tanah yang dirampas negara pada era Eduardo Frei (1964-70) dan Allende (1970-73) dikembalikan kepada pemiliknya atau dilelang. Akan tetapi, pengembalian lahan ini tidak diiringi dengan bantuan finansial. Akibatnya, petani yang mendapatkan tanahnya kembali kesulitan membuatnya produktif dan terpaksa menjual lagi aset tersebut. Hal ini menjadi celah bagi kalangan berduit, pemilik modal, dan perusahaan besar untuk membeli lahan petani dengan cara yang di atas kertas legal. Singkatnya, petani kecil semakin terpinggirkan.

Strategi ekonomi dan politik yang digencarkan rezim akhirnya diabadikan melalui Konstitusi 1980 (sebelumnya Chili menggunakan Konstitusi 1925). Masih mengutip Albertus dan Menaldo, Konstitusi 1980 bertujuan memperkuat dan melegitimasi kekuatan politik junta militer, di samping juga memulihkan dan mengonsolidasikan posisi ekonomi para sekutu.

Lebih dari itu, bagi Pinochet Konstitusi 1980 dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk melindungi institusi-institusi dari ideologi marxisme yang dipandang mengancam stabilitas ekonomi dan politik. Konstitusi ini melarang partai politik berhaluan ekstremis, maksudnya, yang memperjuangkan kepentingan kelas pekerja (doktrin marxisme mengajarkan masyarakat itu terdiri dari kelas penindas dan kelas tertindas yang kepentingannya tak pernah terdamaikan, yang dalam konteks kapitalisme berarti mereka yang menguasai alat produksi yaitu borjuis dan pekerja/proletar). Oleh karena itulah dalam Konstitusi 1980 tertera “mengatur hak-hak kepemilikan pribadi sebagai hal yang sakral.”

Menurut Albertus dan Menaldo, rezim Pinochet menggunakan retorika yang mendewakan liberalisme klasik dan kebebasan individu sebagai “hukum alam” atau “hak-hak alamiah” yang harus dilindungi oleh negara.

Setelah Pemilu 1990, Pinochet dan elite militernya memang tak lagi bertengger di pucuk kepemimpinan. Namun perangkat hukum yang sudah dibuat tetap menjamin mereka punya jabatan mapan, juga menyediakan impunitas atas kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang pernah dilakukan. Di tangan rezim otoriter Pinochet, terdapat sedikitnya 40 ribu korban pelanggaran HAM, meliputi tahanan politik yang disiksa dan diculik, termasuk 3.000 orang yang tewas dibantai.

Konstitusi 1980 tetap melanggengkan penguasaan negara di kalangan segelintir elite. Menurut dosen ilmu politik Javier Sajuria di Washington Post pada 2019 silam, Konstitusi 1980 terang-terangan melarang tokoh pemimpin serikat atau asosiasi pekerja untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, yang tradisinya telah diberangus sejak Pinochet berkuasa. Kebanyakan partai di Chile akhirnya tidak memiliki 'kaki' di gerakan sosial atau organisasi sipil, yang itu otomatis memperlebar jurang pemisah antara masyarakat dengan elite politik.

Kebanyakan wakil rakyat berasal dari kelompok elite yang tumbuh dewasa dengan beragam privilese. Hal ini tak hanya nampak pada elite yang condong pada haluan politik kanan, namun juga kiri. Mereka umumnya merujuk pada laki-laki yang mengenyam pendidikan di sekolah swasta mahal (seperti dijalankan oleh yayasan Katolik besar seperti Opus Dei atau Yesuit) di ibu kota. Mereka kelak melanjutkan studi di kampus-kampus top (Pontifical Catholic University of Chile atau University of Chile), biasanya menyasar program studi hukum, kedokteran, dan teknik. Presiden Piñera, sebagai contoh, belajar bisnis di Pontifical Catholic University sampai memperoleh gelar doktor ilmu ekonomi di Universitas Harvard, AS.

Meskipun demikian, diketahui baru-baru ini bahwa sepertiga anggota di koalisi berhaluan kiri Frente Amplio (berdiri pada 2017) punya riwayat memimpin gerakan sosial termasuk serikat pekerja.

Ekonomi Pesat Diiringi Ketimpangan

Kebijakan propasar dan ramah investasi akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat dan membuat Chili menjadi salah satu negara dengan ekonomi terkuat di Amerika Latin. Pendapatan nasional mereka disokong oleh tambang tembaga—pada 2019, proporsinya mencapai 50 persen dari keseluruhan komoditas ekspor. Chili juga aktif menjalin kesepakatan perdagangan bebas di antaranya dengan Cina, AS, Jepang, Uni Eropa, Turki sampai negara-negara Asia Tenggara.

Mengutip Cato Institute, angka kemiskinan berhasil ditekan dari 45 persen pada 1980 menjadi 8,6 persen pada 2017. Sepanjang 1990 sampai 2015, pendapatan 10 persen orang termiskin meningkat 439 persen, sementara pendapatan 10 persen kalangan terkaya meningkat 208 persen. Sementara Bank Dunia mendapati rasio Gini atau tingkat ketimpangan di Chili cenderung turun sejak 1990.

Namun tingkat ketimpangan Chili termasuk tinggi di antara negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Dikutip dari Reuters, kesenjangan pendapatan antarwarga 65 persen lebih besar dari rata-rata negara OECD.

Ketimpangan ini tercermin di sektor pendidikan. Privatisasi yang digencarkan oleh rezim Pinochet menitikberatkan peran swasta dalam menyediakan pendidikan berkualitas—dan tentu saja mahal. Akibatnya, mereka yang bersekolah di institusi negeri merasa dikesampingkan. Dikutip dari The Guardian, pada 2006, sebanyak 50 persen lulusan SMA di Chili gagal ujian masuk perguruan tinggi, sementara 91 persen pelajar dari sekolah swasta berhasil diterima di universitas.

Pada tahun itulah terjadi protes massa terbesar sejak demokratisasi 1990. Aksi ini digerakkan oleh lebih dari satu juta remaja sekolah, yang menuntut agar transportasi publik digratiskan dan biaya ujian masuk universitas diturunkan. Dalam aksi yang disebut Revolusi Penguin—merujuk pada seragam sekolah—para pelajar juga ingin suaranya dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan pendidikan.

Infografik Konstitusi Baru Chili

Infografik Konstitusi Baru Chili. tirto.id/Fuad

Kritik terhadap pendekatan propasar di sektor pendidikan kembali menyeruak dalam protes pelajar 2011—populer disebut sebagai aksi Musim Dingin Chili. Kala itu, para demonstran bersikeras bahwa pendidikan—mulai dari SD sampai universitas—adalah hak universal dan wajib tersedia gratis dan berkualitas. Mereka juga menyerukan agar pengelolaan sekolah negeri dipasrahkan kepada pemerintah federal alih-alih otoritas daerah. Sebab, di bawah kontrol pemda, sekolah negeri dipandang tak merata dalam hal kualitas, di samping juga kerap diabaikan.

Dalam demo pada 2019 silam, protes yang dimotori kalangan pelajar menjalar pada kritik terhadap privatisasi di sektor lain, terutama sistem dana pensiun. Pekerja Chili menyisihkan sedikitnya 10 persen dari gaji bulanan kepada perusahaan swasta pengelola dana pensiun yang disebut AFP.

Melansir Financial Times, sistem ini diklaim menjamin kemakmuran sampai-sampai disebut pensiunan gaya “Mercedes-Benz”—bahkan dijadikan contoh negara-negara lain di Amerika Latin, Asia Tenggara, sampai Eropa Timur. Dana pensiun yang terakumulasi sudah melebihi 200 miliar dolar AS—sekitar 80 persen dari Produk Domestik Bruto negara tersebut. Masalahnya, skema ini hanya menguntungkan pekerja yang berkarier di sektor formal dalam jangka waktu lama. Satu contoh, seorang pensiunan PNS yang sudah mengabdi selama 30 tahun bahkan terpaksa kerja sampingan sebagai tukang bersih-bersih pada usia senja, 70 tahun.

Pekerja di sektor informal—persentasenya mencapai sepertiga dari total angkatan kerja—juga tetap sulit meraih kesejahteraan dengan skema demikian. Sejak 2008, pemerintah sudah mencoba membantu dengan memberikan tunjangan minimal pensiun yang berkisar 150 dolar AS per bulan atau Rp2 juta—jauh di bawah median gaji pekerja atau upah minimum yang dijanjikan Presiden Piñera. Seorang pensiunan penjahit mengaku disokong dengan dana pensiun Rp2 juta, sementara suaminya yang juga pernah bekerja di industri tekstil mendapat 2,6 juta rupiah per bulan.

Seluruh latar belakang inilah yang membuat rakyat Chili bulat memilih mengganti konstitusi. Fernando Atria mengatakan konstitusi baru kelak bakal lebih menjamin hak-hak sosial seperti ini dibanding kepentingan pasar, yang terbukti hanya menguntungkan segelintir orang.

Baca juga artikel terkait CHILI atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino