Menuju konten utama

Childfree di Jepang Bikin Pemerintah Kesusahan

Anak muda Jepang memilih tidak menikah dan punya anak karena alasan ekonomi. Tapi bagi pemerintah, menurunnya populasi juga masalah ekonomi.

Childfree di Jepang Bikin Pemerintah Kesusahan
Tokyo 2020 Japan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tahun 2018, di Tangerang Selatan, seorang pria berinisial NS ditemukan gantung diri. Dua hari sebelum hilang kabar, lansia umur 60 tahun itu pamit kepada adiknya untuk menonton lenong. Tapi sebenarnya dia tidak pernah berniat menikmati alunan gambang keromong dan sejenisnya. Dia mengikuti pikirannya yang kalut. NS meninggal sendirian. Kesepian menolak meninggalkannya.

Situasi serupa banyak terjadi di Jepang. Orang-orang tua kebanyakan mengasingkan atau diasingkan.

Hal ini tampak dari statistik resmi. Tahun 2021 lalu pemerintah mendapat pemasukan senilai 64,7 miliar yen dalam bentuk aset, utamanya bangunan dari mereka yang meninggal tanpa ahli waris. Angka ini meningkat sekitar 7,8% dibanding 10 tahun sebelumnya. Aset-aset ini sebenarnya bisa dialihkan kepada saudara kandung atau bahkan teman, hanya saja kebanyakan yang meninggal sendiri memilih untuk tidak membuat surat wasiat.

Banyak orang yang kemudian mengadu ke pengadilan untuk mengklaim aset keluarganya. Pemerintah mencatat ada 27.208 permintaan yang masuk.

Fenomena mati ditemani rasa sepi alias kodokushi marak di Jepang sampai-sampai menjadi salah satu referensi film serial Move to Heaven (2021) yang ditayangkan di Netflix. Sutradara Kim Sung-ho mengakui langsung itu meski film ini bercerita tentang kehidupan pekerja trauma cleaner di Korea.

Bisnis trauma cleaner mulai berkembang pesat sejak sekitar 2010. Tahun 2017, diperkirakan sudah ada 4.000 bisnis serupa tersebar di seantero Negeri Sakura. Tugas mereka adalah merapikan tempat tinggal mendiang kemudian mengumpulkan barang-barang peninggalannya untuk diberikan pada famili.

Kodokushi bukan hanya terjadi pada lansia, tapi juga anak muda. Ketika pandemi merebak, jasa pembersihan ini kian dibutuhkan karena orang-orang mengisolasi diri kemudian bunuh diri. Diperkirakan ada 30 ribu orang yang meninggal sendirian sebelum Covid-19 menyerbu.

Kesendirian ini tak muncul begitu saja. Salah satu sebabnya adalah banyak orang Jepang yang memilih untuk tidak punya keturunan.

Ketika di Indonesia perdebatan childfree atau memilih untuk tidak bereproduksi baru belakangan terjadi di media sosial, di Jepang itu semua sudah lewat. Kini pemerintah mereka tengah menghadapinya karena menganggap ini masalah besar.

Hidup Tanpa Anak di Jepang

Ditilik lebih jauh, Jepang punya masalah yang lebih fundamental daripada sekadar childfree. Banyak dari mereka bahkan enggan menikah. Fenomena enggan menikah tentu berujung pada banyaknya orang-orang tanpa keturunan.

Laporan dari pemerintah Jepang tahun lalu menunjukkan bahwa 26,5% pria dan 25,4% perempuan di umur 30-an tidak ingin menikah. Sedangkan di umur 20-an, niat sama diutarakan 19% pria dan 14% perempuan.

Di tahun 2021, hanya ada 514 ribu pernikahan yang tercatat di Jepang. Ini adalah angka terendah sejak tahun 1945. Sebagai gambaran, pada satu titik di tahun 1970, pernikahan di Jepang sempat menyentuh angka 1,02 juta.

Pandemi yang diprediksi akan meningkatkan aktivitas seksual dan menggenjot pertumbuhan penduduk justru berdampak sebaliknya. Jumlah bayi yang lahir di Jepang tahun 2021 ada 811.604 ribu jiwa, menurun 30 ribu dibanding 2020.

Perempuan dan laki-laki punya alasan yang mirip saat memutuskan tidak mau mengupayakan pernikahan. Bagi perempuan, karier yang menjanjikan serta nikmatnya kebebasan akan buyar jika punya pasangan. Mereka membayangkan saat menikah maka waktu akan terenggut untuk mengurus rumah, anak, dan tentu saja orang tua. Laki-laki, dalam survei yang sama, menyampaikan mereka juga nyaman dengan kebebasan yang ada.

“Aku bisa melakukan hal-hal yang aku inginkan dan tidak perlu memikirkan orang lain. Aku juga bisa menghabiskan waktu di malam hari bermain komputer atau menonton film dan nongkrong dengan teman-teman,” kata Sho, pria berusia 37 yang memilih selibat, dilansir Dw.

Dia mengaku puas dengan hidupnya. Toh teman, uang, pekerjaan, dan hobi masih dia miliki. Pasangan hidup bukanlah faktor penting yang harus dia cari di hidup yang singkat ini. “Punya pacar atau menikah sepertinya terlalu merepotkan.”

Alasan lain sebagian orang memilih tidak menikah meski telah berusia matang cukup klasik. Itu adalah cara untuk mengatasi persoalan generasi: terhimpit dan harus mengurus orang tua seperti banyak anak muda di Indonesia. Punya anak atau membina keluarga hanya dianggap akan memberi tambahan beban ekonomi.

Ketakutan ini tak lepas dari budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Di Jepang dan banyak negara Asia lain masih kuat anggapan bahwa tugas laki-laki adalah pemberi nafkah keluarga, sedangkan perempuan harus bergelut dengan urusan rumah tangga dan mengurus anak. Pemikiran yang sudah disematkan entah sejak kapan ini perlahan menumbuhkan ketakutan.

Dengan ketatnya persaingan kerja, mereka, khususnya laki-laki, khawatir tidak punya cukup uang untuk membiayai hidup pasangan jika nanti menikah.

Sementara perempuan melihat bahwa mereka memang punya pilihan lain selain menjadi ibu rumah tangga, yang merupakan salah satu inti gagasan feminisme.

Seperti dalam penelitian Tren Childfree dan Unmarried di Kalangan Masyarakat Jepang (2022), disebutkan bahwa tren unmarried dan childfree “membuktikan bahwa gerakan feminisme memberikan pengaruh besar terhadap tatanan kehidupan. Wanita Jepang mulai mendapat hak-hak merdeka atas diri sendiri dan menentukan arah hidup masing-masing, cita-cita wanita Jepang yang ingin karier mereka maju dan mandiri tanpa merasa terbebani dan membebani.”

Asiatimes menemukan bahwa seiring dengan banyaknya perempuan yang memutuskan tidak menikah dan punya anak, semakin banyak juga dari mereka yang fokus pada pendidikan. Pada tahun 2020, ada 51% perempuan yang mengikuti perkuliahan dan 87% perempuan umur 25-29 tercatat punya pekerjaan.

Infografik SC Childfree

Infografik SC Childfree. tirto.id/Fuad

Pemerintah Jepang Kelabakan

Tidak mau menikah apalagi punya anak menjadi perhatian serius pemerintah sebab akhirnya membuat penduduk muda alias usia produktif berkurang. Usia produktif kurang berarti buruk bagi ekonomi, apalagi jika mereka terus menanggung populasi yang lebih tua.

Pemerintah Jepang yang khawatir lantas merancang kebijakan untuk memberikan bantuan dana sebesar 500 ribu yen yang bisa digunakan untuk biaya persalinan dan rumah sakit. Angka ini meningkat 80 ribu yen dibanding sebelumnya. Namun JapanToday melaporkan kebijakan ini tak serta-merta bisa menumbuhkan niat orang Jepang untuk punya anak.

Bagaimanapun, ketika harus mengurusi anak dari kecil hingga dewasa, mereka membutuhkan uang lebih dari itu.

Pemerintah Jepang juga berencana memberikan tambahan 5.000 yen kepada setiap keluarga yang punya anak. Jumlah ini bisa meningkat tergantung berapa anak yang dimiliki. Sejauh ini Jepang telah memberikan bantuan 10-15 ribu yen untuk beberapa keluarga yang punya penghasilan rendah agar bisa menyekolahkan anak sampai lulus SMP. Nantinya, pemerintah juga mewacanakan untuk memberi tambahan biaya supaya sebuah keluarga bisa meneruskan pendidikan anak sampai SMA.

“Dalam usaha mempertahankan keberlanjutan dan inklusivitas sosial-ekonomi negara kita, pemerintah akan mengutamakan kebijakan untuk membantu pengasuhan anak,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dikutip dari CNN. “Ini tidak bisa menunggu lagi.”

Selain faktor biaya, terkadang penghalang pernikahan dan punya anak datang dari masyarakat itu sendiri. Perempuan Jepang menganggap tidak ada–atau setidaknya sedikit–laki-laki yang cukup maskulin. Di sisi lain sebagian pria Jepang lebih asyik dengan hobi sendiri seperti bermain gim atau membaca manga dan menonton anime.

Psikolog Aya Fujii menyatakan bahwa masyarakat Jepang “lebih suka kegiatan demikian daripada harus bertemu orang dan bersosialisasi.” Karakter di dunia imajiner pria itu lebih mudah diajak berkomunikasi karena mereka tidak membutuhkan apa pun dan hanya diam. Oleh sebab itu Fujii percaya meski dengan pelbagai usaha masalah populasi yang menyusut tak akan selesai dengan cepat.

“Orang Jepang di umur 20-an dan 30-an yang tidak berkomunikasi dengan lawan jenis akan terus kesulitan untuk mencari pasangan dan kecenderungan penurunan populasi Jepang akan terus berlanjut,” klaim Fujii.

Baca juga artikel terkait CHILDFREE atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino