Menuju konten utama
20 Juli 2017

Chester Bennington Meninggal, Linkin Park Limbung

Sahabat gundah.
Pengiring gelisah dan
ledak amarah.

Chester Bennington Meninggal, Linkin Park Limbung
Chester Bennington (20 Maret 1976-20 Juli 2017). tirto.id/Sabit

tirto.id - Linkin Park (LP) adalah salah satu band raksasa di era 2000 awal. Video klipnya wira-wiri di MTV atau acara televisi musik lokal. Lagunya nangkring di puncak tangga lagu radio. Poster band dan personel dijual di mana-mana, dari mamang pinggir jalan hingga di etalase mall.

Dalam pusaran kegemaran terhadap Linkin Park, biasanya ada dua jenis penggemar. Yakni mereka yang menggemari Mike Shinoda, dan mereka yang lebih suka Chester Bennington. Shinoda memukau berkat pembawaan yang tenang dan gaya ngerap yang mulus dan rapi. Sedangkan Bennington, melengkapi Linkin Park dengan emosi yang menguar tanpa segan. Ia menyanyi—juga berteriak dan menggeram—hingga otot lehernya terlihat jelas.

Semua penyuka Bennington tahu, idola mereka amat rapuh. Hasil dari masa lalu yang berat. Ia lahir di Phoenix pada 20 Maret 1976. Ibunya seorang perawat, dan ayahnya adalah detektif yang menangani kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak. Ini sebuah ironi. Sebab, Bennington mengalami pelecehan seksual sejak usia 7 hingga 13 tahun.

"Kalau mengingat masa kecilku, saat aku dilecehkan, aku merasa jijik," ujarnya pada 2011.

Kedua orang tuanya bercerai saat Bennington berusia 11 tahun. Momen itu yang mengantarkannya menuju pintu obat-obatan. Awalnya ganja. Lalu Bennington mengenal kokain hingga metamphetamin. Sewaktu masih remaja, penggemar Stone Temple Pilots ini juga kerap dirisak karena fisiknya yang kurus.

"Kalau aku ingat masa itu, rasanya aku ingin menangis. Tak heran aku menjadi pecandu narkoba. Tak heran aku jadi gila selama beberapa saat," tuturnya kepada The Guardian.

Lagu-lagu Linkin Park, terutama yang baitnya disemburkan oleh Bennington, terasa betul emosinya. Dalam album pertama, lagu seperti "Papercut" dan "Crawling" adalah tipikal lagu yang membuat pendengar merasakan pikiran terdalam Bennington. Kepada Spin, Bennington mengisahkan lagu "Crawling" adalah tentang, "Aku yang seperti tak punya kontrol diri terhadap narkoba dan alkohol."

Linkin Park lantas menjadi rumah yang nyaman bagi Bennington. Grup yang lahir dari kancah musik California ini nyaris tak pernah berselisih hebat. Personelnya pun tetap awet sejak album pertama. Tak ada perubahan.

Bagi Bennington, Linkin Park adalah penyelamat. Ia sudah sempat menyerah ingin mengakhiri karier sebagai musikus sebelum akhirnya nasibnya berubah. Di hari ulang tahunnya yang ke 23, Ia mendapat telepon dari Jeff Blue, Wakil Presiden Zomba Music. Blue bilang ada band bernama Xero dan mereka butuh penyanyi. Esok harinya, paket datang ke rumah Bennington: sebuah demo dengan 2 lagu. Satu lagu berisi vokal, satu lagu lainnya adalah lagu instrumental.

"Aku ingin kamu bernyanyi dengan interpretasimu sendiri," ujar Blue.

Dua hari kemudian, Bennington datang ke Phoenix untuk mengikuti audisi secara formal. Ia mengorbankan banyak hal, termasuk keluar dari pekerjaannya di sebuah perusahaan layanan digital. Untung istrinya, Samantha, mendukung penuh pengorbanan itu.

"Ada banyak hal yang dipertaruhkan (supaya bisa ikut audisi itu)," kenang Bennington. "Keuangan kami, pernikahan kami."

Setelah Bennington melengkapi kepingan puzzle, Xero mengganti nama jadi Hybrid Theory. Nama itu tak bertahan lama. Mereka beralih nama jadi Linkin Park. Tapi nama Hybrid Theory tetap abadi. Ia jadi judul album perdana mereka. Setelah album itu dirilis, Linkin Park jadi nama terpanas dalam kancah rock alternatif awal 2000-an. Apalagi setelah album kedua mereka, Meteora, dirilis 3 tahun berikutnya.

Namun, kesuksesan memang menuntut harga yang mahal. Perkawinan Bennington dengan Samantha berakhir dengan perceraian. Momen itu kembali membenamkan Bennington dalam depresi. Ia merasa marah, terasing. Rumah bernama Linkin Park, dalam masa berat itu, hanya jadi persinggahan sementara. Bagi Bennington kala itu, hidup hanyalah mampir untuk mabuk dan teler. Tur keliling dunia tak banyak membantu.

"Awal-awal tur, semua orang yang ikut dalam tur itu kalau tidak tukang mabuk ya memakai narkoba. Dan aku berpesta dengan semua orang," kata Bennington.

Semua kemarahan Bennington, tercermin dari gayanya bernyanyi. Juga lirik-liriknya. Jika generasi 1990-an punya Kurt Cobain yang jadi ikon kemarahan dan kecemasan dan kegundahan anak muda, maka Chester Bennington mengambil alih tongkat estafet peran itu di era 2000.

Lirik yang ditulis oleh Bennington jelas dan pekat menggambarkan kemarahan dan perasaan depresi yang dirasakan oleh banyak anak muda. Ia menjadi suara bagi generasinya. Ia seperti sahabat lama yang merangkulmu, menjadi teman kala dunia seolah memusuhi dan menjauhimu. Teriakannya adalah teriakan anak-anak muda yang mengalami depresi dan kemarahan yang sama.

Akhir 2005, Bennington kembali menikah, kali ini dengan Talinda Bentley. Pernikahan ini mengubah banyak hal dalam diri Bennington. Ia mulai menjalani terapi dan rehabilitasi, perlahan sembuh dari ketergantungan terhadap alkohol. Di terapi itu, Bennington mulai bisa melepas semua hal gelap yang selama ini ada dalam dirinya. Semua kemarahan dalam kotak pandora itu mulai menguap. Hal itu Ia sadari ketika masuk ke studio untuk menggarap album baru, Minute to Midnight. Di album itu, corak vokal Bennington menjadi tidak agresif seperti dulu lagi.

"Aku sadar, aku tak lagi punya binatang buas dalam diriku," katanya. "Aku tak lagi ingin berteriak."

Setelah itu, Bennington seperti terlahir kembali. Ia menjadi pejalan dan pengembara musikal yang berbahagia. Selain tetap menjadi vokalis Linkin Park, Bennington juga membuat proyek pribadi. Ia menulis lagu "Walking Dead" untuk kolaborasi bersama DJ Z-Trip. Penggemar Depeche Mode ini juga membentuk band Dead by Sunrise bersama Ryan Shuck dan Anthony Valcic. Album perdana Out of Ashes dirilis pada 2009.

Pada 2013, mungkin tak ada bintang rock yang sebahagia Bennington. Ia bergabung dengan Stone Temple Pilots, menggantikan idola masa mudanya, Scott Weiland. Secara musik, band ini amat berbeda dengan Linkin Park. Stone Temple Pilots, ujar Bennington, terasa lebih seksi, lebih terasa aura rock klasiknya. "Aku tumbuh besar dengan mendengarkan mereka."

Ia juga berkawan akrab dengan Chris Cornell, vokalis Soundgarden. Bennington adalah bapak baptis bagi anak Cornell. Pada 2008, Linkin Park dan Chris Cornell mengadakan tur Project Revolution. Bennington dan Cornell sempat menyanyikan lagu "Hunger Strike", sebuah lagu yang dibuat Cornell untuk mengenang sahabatnya, vokalis Andy Wood dari band Mother Love Bone.

Infografik Mozaik Linkin Park

Pada Mei 2017, Chris Cornell meninggal dunia karena gantung diri. Momen ini kembali menghadirkan duka bagi Bennington. Di pemakaman Cornell, Bennington menyanyikan "Hallelujah" milik Leonard Cohen. Bennington juga menulis surat perpisahan bagi Cornell. Ia mengatakan bermimpi tentang Beatles, dan sedih karena Cornell sudah tak ada lagi.

"Aku tak bisa membayangkan hidup yang tak ada dirimu. Semoga kamu menemukan kedamaian di kehidupan berikutnya," tulis Bennington.

Tak ada yang menyangka bahwa Bennington kemudian menyusul Cornell dengan cara yang sama. Pada 20 Juli 2017, tepat hari ini setahun lalu, Bennington memutuskan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di hari ulang tahun Cornell. Kematian Bennington membawa duka bagi banyak orang. Mereka yang merasa diwakili oleh liriknya, oleh teriakan marahnya, oleh geramannya. Bennington juga menambah panjang daftar musisi yang bunuh diri.

Pada akhirnya, Bennington terus mencari kedamaian di dunia. Ia mungkin gagal dan memilih untuk mencari cahaya kedamaian itu di kehidupan berikutnya. Tapi hidupnya menjadi suluh bagi banyak orang yang merasa ditindas, dirisak, dan dilecehkan.

Mengenang Bennington, mengenang pencarian kedamaiannya, juga usaha menjinakkan binatang buas dalam dirinya, mau tak mau mengingatkan pada lagu "Walking Dead" yang ia tulis pada 2005 silam. Lagu itu menunjukkan pikiran Bennington tentang kematian, tentang kehidupan setelah mati.

Suppose you were to die tonight.

What would you say?

Do you believe in life after death?

In the chill of the night,

I can feel my heart racing,

As I run towards the light,

that seems so far away,

Wondering forever, in the darkest of shadows,

Wondering if I will ever see you again.

==========

Artikel ini pernah ditayangkan pada 21 Juli 2017 sebagai obituari Chester Bennington. Kami melakukan penyesuaian dan penyuntingan untuk ditampilkan dalam rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait MUSISI atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Ivan Aulia Ahsan