Menuju konten utama

Cheongsam dari Masa ke Masa

Busana tradisional elegan ini pernah menjadi simbol perlawanan perempuan yang mustahil dipisahkan dari gejolak sosial-politik dalam masa lalu negeri Cina.

Cheongsam dari Masa ke Masa
Header diajeng Baju Cheongsam. tirto.id/Quita

tirto.id - Busana tradisional asal daratan Cina, cheongsam atau sering disebut qipao (dibaca: chi phao), selalu punya tempat spesial di hati pecinta fesyen di penjuru dunia.

Coba kamu ketik “celebrities in cheongsam” di mesin pencari Google.

Voilà!

Muncullah sederet sosok familiar di industri hiburan seperti Nicole Kidman, Paris Hilton, Emma Watson, sampai Taylor Swift.

Modifikasi cheongsam dalam sentuhan modern juga dapat kamu temui di berbagai runway, termasuk dalam pagelaran rumah mode Louis Vuitton pada 2011 silam.

Apresiasi terhadap tradisi cheongsam pernah diabadikan melalui pameran bertajuk “Timeless Elegance” yang berlangsung pada Desember 2022, di China National Silk Museum di Hangzhou, ibukota provinsi Zhejiang.

Dalam perhelatan kala itu, desainer dari 30 negara dan wilayah ditantang untuk menerjemahkan cheongsam sesuai perspektif masing-masing. Hasilnya? Sebuah platform interaksi lintas budaya.

Desainer Umida Muminova asal Uzbekistan misalnya, mendesain gaun pengantin dengan membordir elemen tradisional Uzbek yang menyerupai burung foniks di atas cheongsam beludru merah.

Desainer lain asal Prancis, Françosie Hoffmann, terinspirasi oleh pesona kawasan Jiangnan yang puitis. Berbekal teknologi cetak digital, Hoffmann membuat pola riak yang mengingatkan pada bukit dan danau barat (Xi Hu) di Hangzhou. Pengunjung sampai mengira cheongsam monokrom karya Hoffmann dibuat oleh desainer asal Cina.

Dafna Stoilkova dari Bulgaria mempersembahkan busana avant-garde dengan teknologi laser cutting. Menurutnya, pola gelombang pada busana kreasinya menunjukkan potensi eksperimental yang baru dari cheongsam tradisional.

Desainer Yu Hua memamerkan cheongsam yang dinamai “Relawan untuk Misi ke Meicheng” untuk memperingati kejadian pandemi. “Meicheng” itu sendiri berarti kota bunga Mei Hua (plum blossom)—mengacu pada lokasi kasus infeksi Covid-19 pertama, Wuhan.

Sebelumnya, pameran cheongsam sudah pernah diselenggarakan oleh otoritas Hong Kong di Canada (2021) dan baru-baru ini di Makau (2023).

Sebelum jadi cheongsam seperti kita kenal sekarang—gaun terusan kerah tinggi dengan belahan samping dan nuansa feminin yang mengikuti lekuk tubuh—busana ini telah melewati lika-liku sejarah yang panjang.

Cikal bakal cheongsam berakar dari masa Dinasti Qing (1644-1912). Ketika suku Manchu berkuasa, laki-laki diwajibkan mengenakan jubah panjang changpao untuk membedakan dari busana suku Han yang berkuasa sebelumnya.

Sementara perempuan memakai qipao—gaun panjang longgar yang menyembunyikan lekuk tubuh dengan belahan samping untuk memudahkan gerak. Di baliknya, mereka biasa pakai celana panjang. Agar terlihat lebih feminin, qipao dihiasi manik-manik, bebatuan, atau bordir.

Seiring Dinasti Qing runtuh, rakyat Cina bertransformasi. Perempuan yang terinspirasi oleh prinsip kebebasan dan kesetaraan dari Eropa dan Amerika Utara mulai memprotes patriarki dan budaya kuno seperti tradisi mengikat kaki. Mereka ingin sekolah tinggi, berkarier, dan bersuara di luar ranah domestik. Dalam aksi demo pelajar Gerakan 4 Mei 1919, demonstran perempuan memakai changpao seperti rekan laki-laki sebagai bentuk protes.

Memasuki dekade 1920, di kawasan industri yang terkenal dengan sebutan Paris of the East sekaligus kota persilangan budaya Barat dan Timur, Shanghai, mulai muncul bentuk qipao modern seperti yang kita kenal sekarang.

Bentuk dasar qipao, gaun panjang yang longgar, dimodifikasi agar lebih ramping dan memamerkan lekuk tubuh perempuan.

Bagian lengan dibuat lebih pendek dan belahan samping lebih tinggi. Gaya demikian dipandang sebagai fashion statement yang merayakan pembebasan perempuan, sekaligus simbol seksualitas dan standar baru modernitas.

Persisnya pada 1927, qipao diresmikan sebagai busana nasional perempuan Cina oleh pemerintahan Nasionalis dan dikenakan sehari-hari oleh perempuan dari semua kelas sosial.

Kala itu, kaum perempuan juga memiliki panutan dalam berbusana, seperti politisi perempuan yang menikahi pemimpin revolusi Sun Yat-sen dan dijuluki “Ibu Modern Cina” Soong Qingling.

Ada juga Oei Hui-lan atau dikenal sebagai Madame Wellington Koo, putri taipan gula dari Semarang yang pernah menikah dengan diplomat Cina.

Foto-foto ikonik Madame Koo dalam balutan qipao dimuat di majalah-majalah internasional. Vogue bahkan menobatkannya sebagai Perempuan Berbusana Terbaik sepanjang dekade 1920-40.

Citra qipao sempat meredup saat Perang Sino-Jepang meletus pada 1937. Harga kain yang melesat dan situasi tak kondusif membuat desain qipao menjadi sederhana: lebih fungsional, tak lagi estetik.

Sejak pemerintahan Komunis berkuasa pada 1949, qipao dipandang sebagai simbol kaum borjuis, sementara jas monokrom Mao yang dipakai baik oleh laki-laki maupun perempuan dianggap melambangkan kesetaraan di bawah Partai Komunis.

Kabar baiknya, qipao ‘selamat’ berkat orang kaya daratan Cina yang kabur ke Hong Kong—saat itu masih koloni Inggris. Di sana, pada pertengahan abad ke-20, qipao meraih era keemasan lagi. Seiring itu, penjahit qipao yang merupakan penduduk asli Shanghai bermunculan di Hong Kong.

Kaum pekerja kelas bawah ikut belajar menjahit qipao sendiri dengan bahan lebih murah. Karena rata-rata orang Hong Kong berbahasa Kanton, istilah qipao mulai diganti jadi cheongsam (gaun panjang). Warga keturunan Cina di kawasan lain, Singapura dan Taiwan, juga mulai memakainya.

Pada dekade 1970-an, popularitas cheongsam merosot karena kalah bersaing dengan fesyen Barat yang lebih nyaman, praktis, dan membebaskan gerak seperti kaos oblong dan celana panjang.

Citra cheongsam baru pulih pada tahun 2000—ketika “In the Mood for Love” karya sutradara Wong Kar Wai dirilis. Penonton seolah tersihir oleh pesona aktris Maggie Cheung yang mengenakan 21 macam cheongsam warna-warni dalam film berlatar di Hong Kong pada 1962 itu.

Desainer internasional yang terinspirasi cheongsam juga mencoba untuk mengadopsi elemennya, seperti kerah yang tinggi—disebut kerah Shanghai/ Mandarin. Jean Paul Gaultier, Guo Pei, Louis Vuitton dan Yves Saint Laurent adalah segelintir di antaranya.

Menariknya, kreasi cheongsam di luar negeri juga bukan tanpa kontroversi. Pada 2019, grup penyanyi Little Mix asal Inggris meluncurkan koleksi fesyen yang terinspirasi cheongsam.

Tak butuh lama, seperti diwartakan The Independent, produknya diprotes oleh publik lantaran dianggap sebagai perampasan budaya (cultural appropriation) sekaligus cerminan fetis terhadap perempuan Asia. Interpretasi cheongsam mereka juga dipandang terlalu seksi.

Di media sosial, seorang netizen menuding koleksi Little Mix sudah mendukung citra perempuan Asia yang submisif, eksotik, dan seksi—semua demi meraup untung semata. Ada pula yang mengkritik kenapa para modelnya berkulit putih alih-alih keturunan Asia.

Bagaimana dengan perkembangan cheongsam di negeri kita?

Di Indonesia, kamu mungkin familiar dengan cheongsam glamor buatan Adrian Gan yang struktur dan craftmanship-nya dipuji sangat rapi.

Atau desainer Tina Andrean yang pada 2019 pernah merilis koleksi cheongsam berbahan kain batik tulis Palembang dan Betawi.

Perpaduan unsur budaya Cina dan Indonesia ini Tina ciptakan untuk menjawab antusiasme tinggi penduduk keturunan Cina yang memakai batik saat Imlek. Ya, busana ini tentu punya makna penting bagi kalangan etnis Cina yang jumlahnya di sini mencapai 2,83 juta jiwa.

Menjelang Imlek, cheongsam selalu diandalkan sebagai peluang bisnis menggiurkan. Dari tahun ke tahun, pedagang dari pusat perbelanjaan Glodok City di Jakarta Barat sampai Pasar Gede di Solo melaporkan penjualan cheongsam yang fantastis.

Tak bisa dimungkiri, cheongsam sudah menorehkan segudang kisah dalam perjalanannya berevolusi dan beradaptasi.

Dari simbol perlawanan dan kebebasan perempuan, sumber inspirasi seniman, hingga bagian dari identitas penduduk Indonesia keturunan Cina, masa depan cheongsam nampaknya masih akan panjang.

* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 22 Januari 2023. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait BISNIS FESYEN atau tulisan lainnya dari Eyi Puspita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Eyi Puspita
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi & Sekar Kinasih