Menuju konten utama
8 Februari 1967

Chaerul Saleh: Pendorong Proklamasi yang Dilupakan Negara

Mantan pemuda
dilupakan negara.
Bilik penjara.

Chaerul Saleh: Pendorong Proklamasi yang Dilupakan Negara
Ilustrasi Chaerul Saleh. tirto.id/Gery

tirto.id - Seorang gadis indo-Belanda bernama Farida pernah meramalkan nasib Chaerul Saleh. Kala itu, di tahun 1950-an, Chaerul sedang jadi mahasiswa di Jerman Barat. “Farida meramalkan padanya dia itu akan menjadi orang penting di Indonesia,” kata seorang peninjau politik kepada Rosihan Anwar.

Rosihan mencatat kalimat itu dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006: 111). Meski hanya sehari saja, lanjut ramalan tersebut, Chaerul akan menjadi Presiden Indonesia.

“Chaerul percaya akan ramalan itu dan karena itulah dia kini bersikap amat berhati-hati sambil menunggu waktunya,” kata si pengamat seperti ditulis Rosihan.

Nyatanya, Chaerul, yang dekat dengan Presiden Sukarno, tak pernah satu jam pun jadi presiden. Setelah 1966, nasib baik nyatanya berpihak pada Mayor Jenderal Soeharto. Tapi, Chaerul setidaknya sudah jadi orang penting.

Di akhir pemerintahan Sukarno, Chaerul punya posisi yang tak jauh dari Presiden: dia adalah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III dari 13 November 1963 hingga 22 Januari 1966. Waperdam adalah jabatan unik saat itu karena tidak ada posisi perdana menteri. Hanya ada Presiden Sukarno.

Pada 18 Maret 1966, Chaerul ditangkap dan ditahan. Tuduhan yang dialamatkan padanya, menurut Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006), “tidak terkait keterlibatan dalam Gerakan 30 September. Melainkan karena sejumlah tuduhan pidana menyangkut penggunaan uang negara” (hlm. 264).

Dasar apes, penyakit jantung yang dideritanya kambuh selama di tahanan. “Dokternya Profesor Hanafiah, kawan saya, keponakannya Chairul Saleh. Dia mengatakan, waktu itu Chairul Saleh kehabisan obat, dan kena serangan jantung, pingsan dia. Sudah dilaporkan ke piket, dan piket sudah melapor ke pimpinan bahwa Chairul Saleh harus dibawa ke rumah sakit. Tapi ditunggu berjam-jam tidak mendapat izin, ya, akhirnya meninggal,” aku Adnan Buyung Nasution dalam Pergulatan Tanpa Henti (2004: 288).

Chaerul Saleh meninggal di penjara pada Rabu pagi tanggal 8 Februari 1967, tepat hari ini 51 tahun lalu. Jenazahnya dimakamkan di Karet Bivak oleh istri dan keluarganya.

Pemuda Malas yang Jadi Aktivis

Sebelum jadi Waperdam III, Chaerul Saleh pernah jadi Menteri Negara Urusan Veteran, Kabinet Djuanda (1957); Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (1959-1960); Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja II dan III (1960-1963). Ia juga pernah menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965).

Jauh sebelum nasibnya diramal Farida, Chaerul layak disejajarkan dengan tokoh pergerakan kemerdekaan, terutama dari kelompok pemuda radikal. Chaerul dikenal sebagai pemimpin Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Kala itu, Chaerul Saleh adalah mahasiswa sekolah tinggi hukum Recht Hoogeschool (RHS) Betawi. Dia jadi mahasiswa sejak 1937. Anak dokter Ahmad Saleh ini adalah lulusan Europe Lager School (ELS) dan Hogere Burger School (HBS).

Pemuda yang tak suka dibangunkan dari tidur ini tak mau jadi dokter seperti yang diinginkan ayahnya. “Ah, aku tidak mau jadi dokter, karena malam-malam sedang enak-enak tidur dibangunkan,” akunya seperti dicatat dalam Chaerul Saleh Tokoh Kontroversial (1993: 157).

Meski begitu, dia tetap peduli pada cita-cita yang radikal di zaman kolonial: kemerdekaan Indonesia. Ketika tentara pendudukan Jepang berkuasa dengan cukup kejam di Jawa, Chaerul menjadi anggota Gerakan Bawah Tanah. Ia juga termasuk pemuda-pemuda yang ikut menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok dan mendorong dibacakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.