Menuju konten utama

Cerita Urang Kanekes dan Hilangnya Pusaka Suci

Sebilah kujang bermata lima hilang dari hutan larangan. Peristiwa itu melibatkan seorang pencuri dan seorang jenderal.

Cerita Urang Kanekes dan Hilangnya Pusaka Suci
Ilustrasi: Kisah Orang Kanekes dan Hilangnya Pusaka Suci. tirto.id/Sabit

tirto.id - SETAHUN SEKALI PUUN YASIH diiringi baris kolot, orang-orang pilihannya, pergi ke Sasaka Pusaka Buana di Bukit Pamuntuan. Di sana ia memimpin mereka melakukan muja, yaitu pemujaan terhadap Tuhan nu kersa, yang berkuasa atas segala. Bukit Pamuntuan berada di hulu Sungai Ciujung, di selatan Kampung Cikeusik, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Namun, setiap kali muja tiba, ia merasa sedih. Para puun—pemimpin adat tertinggi—Cikeusik pendahulunya memanterai Sanghyang Kudi, kujang bermata lima yang menjadi bagian dari ritual muja, sedangkan ia belum pernah melakukannya sekalipun. Kujang itu dicuri lebih dari 30 tahun lalu sebelum ia menjadi puun. Dulu kujang pusaka tertancap pada batu di Arca Domas, tempat sakral dalam hutan larangan di bukit itu yang dipenuhi batu, termasuk batu-batu yang menyerupai hewan di bumi.

Di Arca Domas juga terdapat Lemah Bodas, yang dipercaya orang-orang Kanekes (Baduy Dalam dan Baduy Luar) sebagai satu-satunya tempat dewa-dewi turun dari kahyangan. Jukut komala atau lumut tebal yang menyerupai bentuk Semar atau Batara Manikmaya tumbuh di situ.

Setiap tahun, salah seorang pilihan Puun Cikeusik yang turut muja di Arca Domas meninggal dunia. Ia kembali kepada Tuhan nu kersa.

Tempat ini sakral, tetapi tidak luput dari tangan-tangan jahat. Tidak hanya sekali pusaka keagamaan di Arca Domas hilang. Pada awal 1980-an, sebuah cawan pusaka dan tutupnya dicuri. Pada akhir 1989, kujang pusaka mengalami nasib serupa. Pelakunya orang yang sama.

“Orang Jawa, perawakannya tinggi, berilmu tinggi, rambutnya beruban, gondrong. Sekarang dia sudah meninggal dunia. Kematiannya karena usia. (Jelema wetan, awakna jangkung, elmuna gagah, buuk kulawu, ngarenghap. Ayeuna tos maot, ripuh sabab parantos sepuh),” kata Puun Yasih, menjawab pertanyaan saya pada 20 Agustus 2020.

Usia Puun Yasih sekitar 95 tahun. Rambutnya putih panjang digelung. Ia mengenakan iket, penutup kepala khas Sunda, berwarna putih.

Majalah Tempo edisi 20 Januari 1990 menerbitkan berita pertama kali tentang hilangnya kujang pusaka di Arca Domas, dengan judul Kujang Lenyap, Bencana Datang. Pihak kepolisian Rangkasbitung yang mengetahui kabar pencurian waktu itu anehnya tidak menindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan.

Saat cawan pusaka hilang, orang Baduy sudah merasa akan terjadi malapetaka. Kebakaran di kampung Cibeo, Sungai Ciujung meluap dan banjir yang melanda sesudahnya dipercaya sebagai akibat.

Pada 1982, antropolog Judistira Garna mewawancarai Ki Jalceu, narasumbernya yang mengatakan pencurian cawan Sanghyang Pakombaan membuat orang-orang Kanekes merasa gagal mengemban amanat. Benda pusaka itu titipan dari Ratu Banten. Dalam Bahasa Sunda, Bahasa Jawa dan Bahasa Lampung, ratu artinya raja. Ki Jalceu pernah menjabat Puun Cikartawarna.

Kujang yang hilang makin meresahkan orang Baduy. Kujang tidak hanya pelindung dari bencana, tetapi juga simbol ilmu pengetahuan, pewarisan budaya berladang, dan petunjuk hidup langsung dari dewa.

Aksi pencurian benda ibadah dianggap telah mencapai puncak dengan hilangnya kujang. Puun Sadi, pendahulu Puun Yasih, segera mengutus sembilan orang untuk mencari pusaka-pusaka suci itu. Sebagai Puun Cikeusik, ia memegang otoritas tertinggi keagamaan dan hukum Kanekes. Pasukan sembilan (baresan salapan) ini berjalan kaki dari Banten ke sejumlah kota di Jawa Barat hingga akhirnya sampai di Jakarta. Mereka kemudian berhenti di muka rumah dinas seorang jenderal yang dijaga ketat. Mereka ingin bertemu tuan rumah, tetapi terhalang masuk.

Pencuri berilmu tinggi hanyalah orang bayaran. Ia menyerahkan benda-benda curiannya kepada pemberi perintah. Ketika kasus pembantaian Talangsari di Lampung pada 7 Februari 1989, pemberi perintah ini sudah berpangkat jenderal.

ORANG-ORANG BADUY percaya pemilik kujang itu Batara Patanjala, leluhur mereka. Namanya tidak tercatat dalam buku sejarah. Tetapi, banyak hal tidak tercatat dalam buku sejarah.

Berdasarkan Carita Lutung Kasarung, naskah sastra yang dipandang suci, Batara Guruminda Kahyangan turun ke Buana Panca Tengah dalam wujud seekor lutung hitam besar untuk mengajarkan adat berladang atau berhuma kepada manusia, meliputi tata cara, aturan, dan ritualnya. Ia menancapkan sebilah kujang bermata lima atau Sanghyang Kudi pada sebongkah batu di Bukit Pamuntuan. Setelah berada di bumi, Batara Guruminda Kahyangan atau Lutung Kasarung mengubah namanya menjadi Batara Patanjala.

Dalam Pantun Lutung Kasarung versi Kanekes, sastra lisan yang dilafalkan dengan diiringi tarawangsa (sejenis alat musik gesek), tiap kali ritual permulaan berladang, lutung dari kahyangan itu bernama Guruminda Patanjala. Tujuan ritual untuk menurunkan Pohaci Sanghyang Asri dari kahyangan yang akan berwujud padi sakral untuk ditanam. Tradisi bersawah di Jawa memiliki Pohacinya sendiri, yaitu Dewi Sri, sumber pangan kehidupan sekaligus dewi terpenting. Puun Cikeusik menetapkan awal berladang di Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna.

Belum ada yang mengetahui usia pasti kujang Batara Patanjala. Namun, sebagian orang memperkirakan ia jauh lebih tua dari Kerajaan Banten yang telah dikenal dunia luar pada abad ke-10 Masehi.

Di upacara narawas atau pembukaan lahan untuk ditanami padi pada bulan kapat dalam penanggalan Baduy, kujang menjadi alat pertanian yang ditetapkan hukum adat. Terlarang (buyut) menggunakan alat-alat lain.

Naskah Bujangga Manik turut merekam sosok Batara Patanjala. Tokoh cerita dalam naskah ini tiba di Bukit Bulitsir yang disebut tempat suci untuk mengenang Raja Patanjala. Letaknya diperkirakan di hutan larangan di Bukit Pamuntuan. Naskah Bujangga Manik ditulis pada akhir abad ke-15, mengisahkan perjalanan ziarah seorang pendeta-penyair ke sejumlah tempat di Jawa dan Bali. Ia pangeran yang meninggalkan kehidupan masa lalunya di Istana Pakuan Pajajaran. Naskah ini juga mengisahkan Kerajaan Demak sudah ada dan Kerajaan Majapahit masih kuat.

ADA TIGA JENIS ritual atau ziarah orang Baduy yang masing-masing dilakukan pada tempat dan waktu berbeda:

Pertama, ziarah ke Gunung Sorokokod sebelum kawalu tutug atau kawalu akhir dalam penanggalan Baduy. Di gunung ini tidak ada pusaka suci. Ziarah bertujuan meminta para guriang, para sanghyang, dan makhluk-makhluk halus agar turut membantu ketertiban dan keamanan.

Kedua, ziarah di Sasaka Domas Mandala Parahyang di hutan larangan sebelah selatan Kampung Cibeo, di hulu Sungai Ciparahyang. Doa dipimpin Puun Cibeo dan dilakukan pada kawalu tutug atau bulan katiga penanggalan Baduy.

Di Sasaka Domas ada makam para karuhun, benda-benda pusaka Pakuan Pajajaran, dan menurut kepercayaan orang Baduy, tempat Batara Cikal moksa. Batara Cikal adalah kakak Batara Patanjala. Ia dikisahkan turun di Sasaka Pusaka Buana, tapi menghilang atau moksa di Sasaka Domas. Puun-puun yang tutup usia pun dikuburkan di Sasaka Domas.

Hampir 450 tahun lalu, batu-batu leluhur Kerajaan Pakuan Pajajaran dipindahkan para ponggawa (pejabat tinggi) istana ke tempat ini. Pemindahan dilakukan oleh dua rombongan. Rombongan pertama dipimpin tiga serangkai: Demang Haur Tangtu, Puun Buluh Paneuh, dan Guru Alas Lintang Kendesan. Rombongan kedua dipimpin putra mahkota Pakuan Pajajaran, Rahyang Santang Aria Cakrabuwana. Prabu Ragamulya Suryakencana, raja terakhir Pakuan Pajajaran, memerintahkan operasi khusus tersebut. Setelah itu ia menghilang. Ia tidak dibunuh di Pulosari oleh Sultan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten seperti dalam versi sejarah yang banyak beredar.

Pulosari adalah tempat pertapaan di Gunung Pulosari, bukan lokasi pertempuran ataupun sebuah kota. Kerajaan Banten (dikenal pada abad ke-10 dan berakhir dengan berdirinya Kesultanan Banten pada 1526) membangun candi Hindu-Siwa dan pertapaan di Gunung Pulosari, yang juga dinamai Gunung Kailasa. Delapan ratus resi pertapa di Pulosari disebut Ajar Domas. Sejarawan dan arkeolog Perancis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (2008) menulis Kerajaan Banten adalah kerajaan Sunda sebelum Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Meskipun pertempuran pasukan Kesultanan Banten dengan pasukan Pakuan Pajajaran terjadi beberapa kali akibat dinamika politik waktu itu, ada kesepakatan tidak tertulis bahwa raja tidak boleh membunuh sesama raja dalam medan perang. Maulana Yusuf dan Suryakencana masih memiliki pertalian darah melalui Raja Pakuan Pajajaran terdahulu, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Suryakencana kemudian diketahui bertapa di hutan Gunung Halimun. Ia melakukan tapa drawa, yaitu bertapa sampai hilang jasadnya, tinggal rambut dan kuku. Dalam naskah akhir abad ke-16, Carita Parahiyangan, ia disebut Nusiya Mulya dan dikisahkan Pakuan Pajajaran runtuh akibat gempuran Kesultanan Banten—detail peristiwa terakhir ini tertera dalam naskah Sadjarah Banten.

Peninggalan Pakuan Pajajaran paling sakral adalah Hanjuang Bodas, tanaman berwarna putih menyerupai palem. Tanaman ini dianggap azimat dari Tuhan. Ia dapat berpindah-pindah tempat. Serbuk akarnya membuat manusia kebal segala jenis senjata, dapat bernapas dalam air, dan tidak dapat terlihat jin maupun manusia.

Ketiga, pemujaan di Arca Domas pada tanggal 16, 17, 18 bulan kalima penanggalan Baduy. Arca Domas terletak di Sasaka Pusaka Buana di dalam hutan larangan sebelah selatan Kampung Cikeusik, di hulu Sungai Ciujung.

Muja di situs keagamaan ini dipimpin Puun Cikeusik. Ia menentukan siapa saja yang boleh ikut muja. Dalam Bahasa Latin, posisi Puun Cikeusik di antara dua puun lain disebut primus interpares; artinya, yang terpenting dan diutamakan dari yang setara.

Di Arca Domas, Sanghyang Kudi atau kujang bermata lima pernah berada.

Pemujaan kepada Tuhan nu kersa di Arca Domas merupakan inti paling sakral dari agama orang-orang Baduy.

AWALNYA SEMUA ORANG Baduy tinggal dalam kampung yang kelak dikenal sebutan Baduy Dalam. Ketika seseorang lalai atau melanggar aturan dan adat, termasuk berkompromi dengan perkembangan dunia modern, ia akan diminta meninggalkan Baduy Dalam. Permukiman baru yang dibangun orang seperti ini dinamai kampung panamping atau kampung Baduy Luar.

Tidak ada puun di Baduy Luar. Para puun hanya ada di Baduy Dalam. Mereka pemimpin adat untuk Baduy Dalam dan Baduy Luar, orang-orang Kanekes.

Ada tiga kampung di Baduy Dalam, yaitu Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik. Baduy Luar sekarang meliputi 65 kampung.

Puun Cikartawarna tidak memiliki kekuasaan seperti Puun Cibeo dan Puun Cikeusik. Ia hanya berwenang terhadap urusan kesenian, kebatinan, pengobatan, dan pertahanan. Ia tidak berhak memimpin upacara-upacara ritual, seperti ke Sasaka Domas dan Arca Domas. Tetapi, ia wajib memimpin rakyatnya memulai berladang di huma serang, yang bisa berubah-ubah tempatnya, di tanah yang ditentukannya dalam lingkungan Kampung Cikartawarna.

Dalam upacara-upacara ritual, Puun Cikartawarna bisa ikut Puun Cikeusik atau Puun Cibeo. Puun Cikartawarna adalah keturunan Daleum Lagondi, anak kedua dari Batara Patanjala. Puun Cikeusik adalah keturunan Daleum Janggala, anak tertua dari Batara Patanjala. Puun Cibeo keturunan Daleum Putih Sedah Hurip, anak ketiga Batara Patanjala.

KEHIDUPAN ORANG BADUY Dalam tidak hanya menyatu dengan alam, menjaga dan merawatnya, tetapi diliputi kegaiban dan keajaiban yang disediakan semesta.

Puun Yasih teringat peristiwa di masa pendudukan Jepang. Tentara-tentara Jepang telah merampas padi yang disimpan di lumbung (leuit) di kampung Baduy Luar. Sejumlah orang Baduy Luar yang berhasil mencapai Baduy Dalam melapor kepada puun-puun yang menjabat waktu itu tentang apa yang terjadi.

Orang-orang kampung ketakutan. Mereka belum pernah mengalami penyerangan seperti itu. Di masa kolonial Belanda, mereka tidak pernah diganggu. Puun Cikeusik ketika itu adalah Puun Kais.

Puun Yasih turut menyaksikan ketegangan dan persiapan dalam kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung untuk menghadapi bala tentara Jepang. Ia mengisahkan upaya para kokolot (sesepuh) Cikeusik membangunkan Mahewa, kokolot yang sedang tidur di sebuah gua.

Mahewa pun bangun dari tidurnya. Ia berjalan keluar dari gua dan langsung bertanya, “Hari ini kiamat (Poe ayeuna kiamat)?”

Setelah mendapatkan penjelasan tentang ada ancaman terhadap kampung mereka, Mahewa pergi mengambil segenggam merang lalu berjalan keluar kampung untuk menyambut pasukan Jepang. Dengan segenggam merang, ia membuat pasukan Nippon lari terbirit-birit, tidak kembali lagi.

Sehari-hari Mahewa sering menjunjung batu besar di kepalanya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk tidur.

Setelah menyelesaikan tugas, Mahewa kembali ke gua untuk melanjutkan tidur dan berpesan ia hanya boleh dibangunkan bila terjadi perang. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi keluar dari gua.

DI MASA PUUN YASIH masih berusia belasan dan Mahewa melawan tentara-tentara Jepang dengan segenggam merang di Cikeusik, Tan Malaka menggunakan nama samaran Ilyas Hussein untuk bekerja sebagai juru tulis romusha di Bayah, yang terletak di Banten Selatan sebagaimana kampung-kampung adat orang Baduy.

Bayah adalah lokasi romusha terbesar di Pulau Jawa. Di Bayah terdapat penambangan batu bara dan pembangunan jalan kereta api dari Bayah (kini masuk Kabupaten Lebak) ke Saketi (kini masuk Kabupaten Pandeglang).

Tan Malaka menginjakkan kaki di Bayah pada Juni 1943. Ia menulis dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara, bahwa sekitar 90.000 rakyat tewas selama pembangunan jalan kereta api dari Bayah ke Saketi. Pada hari-hari tertentu, di puncak kelaparan dan penyiksaan pada 1944, ia mencatat romusha yang meninggal dunia per hari mencapai 500 orang.

Suatu hari, September 1944, Sukarno datang ke Bayah untuk memaksa romusha bekerja lebih keras menggali batubara untuk tentara Jepang. Sukarno berkata romusha harus bekerja lebih keras menggali batubara karena Jepang telah menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dan Jepang akan mengalahkan Sekutu dalam perang.

Ilyas Hussein atau Tan Malaka dalam penyamaran mendebat Sukarno dengan berkata, “Bangsa Indonesia akan lebih kuasa dan habis-habisan bukan memperjuangkan janji kemerdekaan, tapi untuk memperjuangkan kemerdekaan yang ada.”

Sukarno terdiam. Ia tersinggung. Baru pertama kali ia dibantah orang dan itu terjadi di Bayah. Ia tidak tahu tengah berhadapan dengan Tan Malaka. Ia mengira berhadapan dengan orang kampung biasa.

Pencurian Pusaka Ibadah Orang Baduy

Pencurian Pusaka Ibadah Orang Baduy. tirto.id/Sabit

BANTEN SELATAN merupakan salah satu basis gerilya pemuda Republik. Chaerul Saleh, Muhidin Nasution, Haji Tubagus Ahmad Chatib, dan Jaro Karis mendeklarasikan Tentara Rakyat pada 11 Oktober 1949. Mereka membangun basis untuk melawan penjajah kolonial di Banten Selatan. Mereka melawan sikap Sukarno dan Hatta, yang berkompromi dengan pihak Belanda melalui sejumlah perundingan pasca-proklamasi. Mereka ingin kemerdekaan total, bukan kemerdekaan bersyarat.

Pada 16 Agustus 1945, Chaerul bersama Sukarni, Wikana, dan Aidit terlibat menculik Sukarno dan Hatta untuk mendesak mereka memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, tidak menunggunya sebagai hadiah dari penjajah. Di hari berikutnya, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Bersama panutan revolusioner mereka Tan Malaka, Chaerul, Sukarni, dan Adam Malik mendirikan partai politik Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) pada 7 November 1948. Tiga bulan kemudian, 21 Februari 1949, Tan Malaka ditembak mati oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Seorang pejuang kemerdekaan Indonesia pun gugur di tangan bangsanya sendiri.

JABATAN PUUN CIKEUSIK, Cibeo, dan Cikartawarna diwariskan turun-temurun. Jabatan ketiga puun Baduy Dalam ini setingkat bupati. Mereka keturunan bergelar daleum.

Seorang puun dapat diganti berdasarkan tiga syarat. Syarat pertama, puun sendiri yang minta diganti. Syarat kedua, puun yang menjabat meninggal dunia. Syarat ketiga, tiga orang puun, termasuk puun yang sedang menjabat, mendapat bisikan gaib untuk berhenti dari jabatan puun.

Puun Cikeusik sebagai pemegang otoritas tertinggi keagamaan dan hukum Kanekes (Baduy Dalam dan Baduy Luar) juga mengemban amanat Ratu Pakuan Pajajaran berupa kawalu tengah, yang ditutup dengan penyerahan boneka atau golek yang terbuat dari tepung laksa kepada urang (orang) Pakuan di hutan larangan. Mereka dipercaya sudah berbentuk maung atau harimau. Kawalu tengah dilaksanakan pada bulan Karo, bulan ke-11 penanggalan Baduy. Puun Cikeusik memimpin upacara penyerahan boneka laksa ini dalam hutan larangan, tidak jauh dari Arca Domas.

Raden Marhum, seorang sesepuh Banten, meneruskan cerita tentang siapa urang Pakuan kepada saya: "Itulah harimau berbulu hitam loreng merah, senapati Pajajaran, seratus pejabat tinggi tulang punggung Pajajaran yang membela sampai mati junjungan tertinggi Bangsa Sunda masuk ke alam maya. (Nyaeta maung selang, saratus ponggawa tulang tonggong Pajajaran nu ngabela pati gegedug Sunda asup ka Buana Bungeung).”

Dalam Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600-1950, Peter Boomgaard membahas sejumlah tempat yang memiliki cerita tentang harimau-harimau gaib. Ia mencontohkan Arca Domas sebagai salah satu tempat yang memiliki cerita seperti ini, yang terkait dengan harimau-harimau leluhur. Ia menulis, “Di Jawa, harimau-harimau kadang-kadang dianggap sebagai leluhur yang bereinkarnasi.” Boomgaard adalah profesor sejarah lingkungan dan ekonomi Asia Tenggara asal Belanda.

Ayah Raden Marhum senang membagi kisah-kisah leluhur mereka kepada putranya. Ia dibakar hidup-hidup oleh orang-orang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) waktu memusnahkan permukiman adat di tenggara Kanekes. Raden Marhum memutuskan ikut pasukan TNI dari Batalyon Siliwangi untuk melacak keberadaan dan mengepung pasukan gerilyawan DI/TII yang dipimpin Zainal Abidin. Ia menyaksikan pemandangan yang tidak bisa dilupakannya seumur hidup. "Jenderal Abidin memeluk istrinya terbang ke langit seperti burung. (Jenderal Abidin ngapit pamajikanna lolos hiber ka atas langit jiga manuk dadali),” kisahnya. Ia menyebut dedengkot DI/TII yang sakti itu “jenderal”.

Selain pada kawalu tengah, maung selang tidak boleh menampakkan diri. Namun, suatu hari Sadim, penduduk kampung Cikeusik, membuat mereka terusik dan marah.

Karena kemiskinan, Sadim terpaksa bekerja di luar kampung. Ia menanggung hidup delapan anak. Padi di lumbung tidak lagi mencukupi kebutuhan seluruh keluarga.

Pada 17 Agustus 2005, lelaki berusia menjelang 40 tahun ini merambah sampai hutan larangan atas desakan majikannya untuk memperluas ladang. Ia tidak punya pilihan. Ia khawatir dipecat dari pekerjaan. Di sebelah selatan hutan larangan itu Kampung Cilebang, kampung adat urang Sunda, tempat majikan Sadim tinggal. Di sebelah utara hutan larangan adalah Cikeusik, kampung adat Baduy Dalam.

Penebangan hutan-hutan larangan yang tercatat dimulai pada awal 1950-an. Penduduk-penduduk kampung di luar kampung-kampung adat Baduy melakukannya untuk berladang. Penebangan itu memengaruhi debit air sungai, daya serap terhadap curah hujan, dan hasil ladang orang Baduy. Pada Oktober 1964, rombongan peneliti dari jurusan antropologi Universitas Padjadjaran yang dipimpin Judistira Garna dan Singgih Wibisana bertemu Puun Djandol dari Cibeo yang menjelaskan hutan larangan yang dirusak pasti menyebabkan malapetaka bagi Baduy dan Banten, dan hasil ladang merosot akibat kemarahan karuhun.

Seekor harimau tiba-tiba mengadang Sadim. Dengan rasa takut dan bersalah, ia buru-buru meninggalkan kawasan itu menuju rumah Yadi, majikannya. Ia merasa harimau masih membuntutinya. Sampai di rumah majikannya, ia mencoba tidur. Ia terbangun karena diserang harimau. Ia segera mengambil pisau untuk mempertahankan diri. Tidak hanya seekor harimau dihadapi Sadim. Ia diserang beberapa harimau.

Setelah melukai Yadi dan membunuh ibunya, Sadim berangsur-angsur melihat bahwa mereka manusia, bukan harimau. Istri Yadi, Aisyah, berlari ke luar rumah untuk meminta pertolongan warga.

Sadim terancam hukum pidana. Ia pun dijatuhi hukuman adat. Berdasarkan keputusan Puun Yasih, ia dikurung dalam sebuah rumah di Kampung Cibengkung, di luar wilayah Baduy Dalam dan Baduy Luar. Ia dirawat khusus oleh Jaro Dangka, tetapi menolak makan dan minum. Pada hari ke-30, ia meninggal dunia.

Menurut salah satu berita yang beredar waktu itu, tindakan Sadim dipicu rasa tertekan akibat dilarang majikannya mengikuti upacara adat ngasepan serang. Namun, dalam kehidupan orang Baduy, ngasepan serang tidak lebih penting dibanding kawalu. Sesepuh-sesepuh adat Baduy memercayai Sadim telah melanggar aturan dengan merusak hutan di kawasan yang diyakini keramat dan menanggung akibatnya.

PENCURIAN PUSAKA-PUSAKA suci keagamaan di Arca Domas telah menodai kesucian agama dan leluhur orang Baduy, tetapi pencuri itu tidak dihukum dengan julid atau praktik menyakiti orang sampai mati dengan ilmu gaib. Orang Baduy pantang mempraktikkan julid. Hukuman adat untuk pelaku julid pun amat berat, sehingga belum ada yang melanggarnya: yang bersangkutan diikat dan ditenggelamkan dengan pemberat di laut sampai menemui ajal.

Puun Yasih mengimbau orang yang menyimpan cawan dan kujang bermata lima itu, “Cepatlah sadar! Jangan bersikukuh pada kealpaan sampai ajal tiba (Geura waras! Ulah keukeuh dina poho nepi ka maot).”

Ia menyatakan pusaka ibadah orang Baduy harus diambil kembali dan ia yakin suatu hari, di masa depan, pusaka-pusaka itu dapat pulang ke Arca Domas, syukur-syukur di saat ia masih hidup.

=========

Linda Christanty adalah penulis dan penggiat budaya. Salah satu bukunya, Hikayat Kebo.

Baca juga artikel terkait SUKU BADUY atau tulisan lainnya dari Linda Christanty

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Linda Christanty
Penulis: Linda Christanty
Editor: Fahri Salam