Menuju konten utama

Cerita Tukang Becak Saat Ketimpangan di DIY Tertinggi se-Indonesia

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengakui jika meningkatnya angka ratio gini di DIY tidak dapat dihindari.

Cerita Tukang Becak Saat Ketimpangan di DIY Tertinggi se-Indonesia
Sejumlah pengemudi becak motor (bentor) berkumpul di depan Balai Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta, Rabu (22/2). Aksi tersebut sebagai solidaritas mendukung perwakilan pengemudi bentor melakukan audiensi dengan pihak Pemkot terkait izin operasi bentor di Yogyakarta. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/kye/17.

tirto.id - Angka ketimpangan di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami kenaikan dan kembali menjadi yang tertinggi di Indonesia pada Maret 2020. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 15 Juli 2020, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk DIY menunjukkan peningkatan dibandingkan kondisi satu semester sebelumnya.

Hal tersebut tercermin dari angka gini ratio Maret 2020 yang tercatat sebesar 0,434 atau naik 0,006 poin dibandingkan September 2019 sebesar 0,428. Angka itu secara nasional merupakan yang tertinggi, dan berada di atas angka gini ratio nasional sebesar 0,381.

Meningkatnya gini ratio ini tak lepas dari pertumbuhan ekonomi DIY yang saat ini minus setelah sektor pariwisata yang selama ini menopang perekonomian DIY limbung saat COVID-19. Sejumlah objek wisata sempat ditutup, wisatawan anjlok diikuti tingkat hunian hotel yang akhirnya berdampak pada sektor informal lain.

Salah satu pekerja informal yang terdampak adalah tukang becak. Mereka yang biasanya hilir mudik mengantar wisatawan, kini sepi penumpang. Pendapatan mereka bahkan minus.

Ketua Paguyuban Becak Motor Yogyakarta Parmin bilang kepada reporter Tirto, Jumat (17/72020) dari 1.700 anggota paguyuban yang resmi terdaftar kurang dari separuhnya yang masih bisa bekerja.

“Sisanya ngamen di lampu merah,” kata Parmin.

Usai Lebaran, bantuan sembako dari para dermawan makin minim. Para tukang becak, kata dia, juga makin sulit menyambung hidup. Kemudian banyak di antaranya yang terpaksa hidup dari belas kasihan orang lain. Mereka membawa spanduk di lampu merah meminta bantuan para pengendara.

Itu dilakukan karena tak ada pilihan lain. Parmin sendiri mengaku dalam sehari paling banter hanya dapat mengangkut dua penumpang, rata-rata ia hanya dapat Rp20 ribu sehari. Uang itu kemudian seringnya habis hanya untuk membeli bensin.

“Saya terpaksa minta bantuan orang tua di Sumatra, mereka di sana bertani. Saya minta bantuan untuk membeli beras. Sudah sejak empat bulan terakhir,” ujarnya.

Nasib kawan-kawannya di paguyuban banyak yang lebih tidak beruntung. Hampir tiap hari ia menerima aduan dan keluh kesah. Salah satu temannya yang tinggal di Bantul misalnya menghidupi lima orang. Untuk makan tiap hari ia hanya bisa utang ke warung.

“Istrinya sering datang ke saya dan bertanya apakah sudah ada bantuan dari pemerintah,” ujar Parmin.

Beberapa kali ia melakukan audiensi dengan DPRD DIY agar bantuan kepada para tukang becak segera diberikan. Namun kata dia hingga kini belum ada bantuan dari pemerintah yang sampai ke mereka.

Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Mudrajad Kuncoro mengatakan ketimpangan di DIY disebabkan adanya ketimpangan antara kota dan desa. Rasio gini di kota naiknya lebih tinggi daripada di desa.

Kemudian ketimpangan disebabkan karena produk domestik regional bruto (PDRB) yang disumbangkan oleh masing-masing daerah selalu jomplang. Sleman dan Kota Yogya selalu menyumbang PDRB tertinggi atau jika digabung 60 persen, sedangkan Kulonprogo yang terendah yakni hanya sekitar 7 persen.

Ketimpangan DIY juga disebabkan karena 40 persen golongan pengeluaran terbawah hanya menikmati 15,26 persen dari PDRB DIY. Sementara golongan menengah 34,50 persen, dan golongan pengeluaran tinggi atau kaya 50,24 persen, kata dia.

Jika dibandingkan dengan periode September 2019 atau sebelum pandemi, golongan pendapatan terendah menikmati 15,22 persen dari PDRB DIY, golongan pengeluaran menengah 35,18 persen, dan golongan pengeluaran tinggi atau kaya sebesar 49,60 persen.

“Jadi siapa yang menikmati kue pembangunan di DIY itu adalah 40 persen golongan menengah dan 20 persen golongan terkaya di DIY. Di tengah pandemi justru yang makin kaya makin menikmati pendapatan yang lebih tinggi,” kata Mudrajad kepada reporter Tirto, Jumat (17/7/2020).

Selain itu, kata dia, angka kemiskinan juga mengalami peningkatan yang sebelumnya pada September 2019 hanya 11,4 persen, pada Maret 2020 menjadi 12,8 persen. “Ketimpangan naik karena jumlah orang miskin naik,” ujarnya.

Naiknya angka ketimpangan dan kemiskinan di DIY, kata Mudrajad, tak lepas dari merosotnya pertumbuhan ekonomi DIY yang mengalami kontraksi hingga -5,48 persen pada triwulan I 2020. Itu yang kemudian membuat tiga sektor utama di DIY terpukul yaitu pertama pariwisata, perdagangan, dan industri.

Untuk mengatasi ketimpangan ini, kata dia, perlu menggenjot daerah seperti Kulonprogo agar perekonomiannya meningkat. Kemudian meningkatkan aksesibilitas kabupaten/kota.

Sedangkan untuk jangka pendek, kata dia, Pemda DIY harus menyelamatkan usaha mikro kecil menengah (UMKM) dengan membantu restrukturisasi kredit.

“Restrukturisasi harus diikuti dengan subsidi bunga. Dipotong kewajiban bunganya dan dibantu oleh Pemda DIY,” kata dia.

Ia juga mendukung agar bantuan sosial yang selama ini ada agar dikoordinasikan sehingga tepat sasaran. “Penduduk miskin kota itu yang paling terpukul, kalau di kota yang jelas ya tukang becak, buruh, gendong, dan pengamen. Itu yang paling terkena dampak jadi harus fokus ke sana,” kata dia.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X mengakui jika meningkatnya angka ratio gini di DIY tidak dapat dihindari. “Rasio gini seperti itu tidak bisa dihindari, karena pertumbuhan itu pasti mengakibatkan kesenjangan itu terjadi,” ujar Sultan, Kamis (16/7/2020).

Menurutnya pengusaha pasti memiliki kreativitas dan modal untuk berkembang lebih tinggi daripada mereka yang bergaji tetap. Sehingga hal itu kemudian muncul kesenjangan.

Kesenjangan ekonomi, kata Sultan, sulit untuk dihindari, karena sudah pasti ada orang yang golonganya kaya, berkecukupan, dan miskin.

“Jalan keluarnya pemerintah dengan data kemiskinan. Ya sudah, yang bisa dibantu, didampingi dapat berkembang. Enggak dapat bantuan sosial saja sampai mati," ujarnya.

Baca juga artikel terkait KETIMPANGAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz