Menuju konten utama
Pendidikan Inklusi

Cerita Santri Tunarungu dan Sulitnya Difabel Dapat Hak Keagamaan

Selain kesulitan bahasa dan ketiadaan ruang belajar, ada problem yang lebih mendasar bagi penyandang disabilitas: stigma.

Cerita Santri Tunarungu dan Sulitnya Difabel Dapat Hak Keagamaan
Pondok Pesantren Tunarungu Darul Ashom, tirto.id/Sidratul Muntaha

tirto.id - Kitab suci konon diturunkan untuk semua manusia, meski tak semua orang mampu menjangkaunya untuk kali pertama. Itulah yang dirasakan Azman, santri Pondok Pesantren Tunarungu Darul Ashom, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya menemui Azman pada Rabu, 1 Maret 2023.

Meski lahir dari keluarga muslim, Azman tak mendapatkan pelajaran agama secara optimal. Ia, misalnya, tak tahu cara membaca Alquran hingga akhirnya ia masuk Pesantren Darul Ashom pada 2020.

Sebelumnya, ia mengenyam pendidikan dasar di sebuah sekolah luar biasa di Kendal, Jawa Tengah. Namun, pelajaran agama dan membaca Alquran baru ia dapatkan saat ia nyantri di Darul Ashom.

Di Darul Ashom, Azman bangun tiap subuh untuk menghafal ayat suci Alquran. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu juga menghafalkan satu hadis setiap hari. Kini ada 4 juz dan 100 hadis lebih yang tersimpan di kepalanya dan bisa ia panggil kembali kapan saja.

Saya menemui Azman tak lama setelah salat zuhur, ketika ia baru saja menyetor hafalan hadis ke salah satu ustaz. Siang itu, sesuai jadwal yang telah ditetapkan pesantren, ia dan santri lainnya harus menghafalkan satu hadis yang diilustrasikan oleh Abu Kahfi, pengasuh sekaligus pendiri Darul Ashom.

Dengan bahasa isyarat, Abu Kahfi menuturkan sebuah riwayat hadis. Ia menjelaskan konteks kemunculan hadis itu dan mengilustrasikan pelafalannya dengan bahasa isyarat. Sementara para santri memperhatikan pengasuhnya itu dengan khidmat.

Di akhir sesi, Abu Kahfi mengajak semua santri untuk mengikuti hadis yang ia ilustrasikan dengan bahasa isyarat. Tak butuh waktu lama, setiap santri sudah mampu menghafalkan hadis itu dan menyetorkan hafalannya langsung ke pengajar pesantren.

Pesantren Darul Ashom

Pondok Pesantren Tunarungu Darul Ashom, tirto.id/Sidratul Muntaha

Begitulah rutinitas harian di Darul Ashom. Para santri dituntut untuk menghafal Alquran setiap selepas salat subuh dan menghafal hadis seusai salat zuhur. Mereka juga mendapatkan pelajaran diniyah atau keislaman seperti akidah dan fikih selepas salat asar, sementara pelajaran umum seperti Bahasa Inggris, ilmu alam, dan ilmu sosial mereka pelajari seusai salat isya.

Dengan kewajiban itu, jadwal mereka cukup padat. Kegiatan harian Darul Ashom dimulai sejak jam tiga pagi. Sebelum salat subuh, mereka wajib menjalankan salat malam sendiri-sendiri. Kala salat malam, mereka melafalkan Al-Fatihah dengan bahasa isyarat.

“Kalau salat sunnah memang boleh pakai bahasa isyarat. Kalau salat jamaah nggak boleh, nanti mengganggu jamaah yang lain. Tapi kalau salat sunnah kita wajibkan pakai bahasa isyarat supaya mereka terbiasa membayangkan isyarat dari surat-surat, kemudian bisa membacakannya dalam hati,” terang Kahfi, pengurus pesantren Darul Ashom.

Kahfi pun mencontohkan tata cara membaca surat menggunakan bahasa isyarat saat salat. Isyarat pembacaan Al-Fatihah kala salat, menurutnya, harus dilakukan dengan tangan yang bersedekap. Pergelangan tangan pun tetap harus menempel ke dada sehingga isyarat hanya dilakukan dengan jari-jari.

“Kalau gerakan kecil kan nggak membatalkan salat,” imbuh Kahfi.

Dengan rutinitas harian itu, Kahfi yakin beberapa tahun ke depan santri-santrinya mampu menjadi pendakwah sekaligus penghafal Alquran. Hingga saat ini, salah satu muridnya sudah mampu menghafal 14 juz dalam waktu dua tahun.

“Targetnya mereka bisa hafal Alquran setelah belajar 5-6 tahun, terus Kutubus Sittah (kitab hadis) 4 tahun. Jadi kurang lebih 10 tahun. Sampai saat ini Darul Ashom memang belum pernah meluluskan, belum punya alumni, tapi kami yakin itu bisa,” jelas Kahfi.

Pesantren Darul Ashom

Pondok Pesantren Tunarungu Darul Ashom, tirto.id/Sidratul Muntaha

Awal Mula Pendirian

Saya menemui Kahfi di kantor Darul Ashom. Ia menggantikan ayahnya Abu Kahfi, yang baru saja sembuh dari sakit keras, menceritakan awal mula pendirian pesantren pada 2019.

Sebelum Darul Ashom didirikan, Abu Kahfi sebetulnya telah lama bergulat dengan tunarungu. Selama belasan tahun ia menggelar majelis taklim di Bandung, Jawa Barat untuk tunarungu juga. Namun, tunarungu yang ia ajari saat itu kebanyakan berusia dewasa.

Sepenuturan Kahfi, dakwah ayahnya dimulai karena ia merasa tunarungu di Indonesia saat ini masih kesulitan mengakses pengetahuan agama. Kendati diajarkan oleh guru di sekolah atau orang tua di rumah, agama tak datang melalui cara yang mereka pahami. Karena itu, disabilitas rungu kerap salah paham dalam memelajari agama.

“Misalnya ada tunarungu yang awalnya menganggap Rasulullah dan Allah itu suami istri karena simbolnya selalu dipersandingkan. Mereka, kan, tahu Islam dari apa yang mereka lihat saja,” terang Kahfi.

Melihat fenomena itu, Abu Kahfi terus bergiat untuk memperlebar sayap dakwahnya. Alhasil, ia hijrah ke Yogyakarta dan mendirikan pesantren untuk remaja.

Pada mulanya sebuah pesantren kecil di Jalan Srandakan, Bantul. Dalam waktu dua tahun, pesantren itu pindah ke Condongcatur, Sleman, karena semakin banyak peminat yang berdatangan.

Tahun ini sudah ada 87 santri putra dan 42 santri putri di Darul Ashom. Mereka datang dari berbagai daerah dan provinsi di luar Yogyakarta. Ruang yang lebih luas dan besar pun diperlukan. Alhasil, Abu Kahfi kini mengontrak lima rumah dan mendapatkan tiga rumah hibah untuk kegiatan pesantrennya.

Menurut Kahfi, dakwah terhadap tunarungu mestinya lebih digencarkan. Sebab, kesulitan yang dihadapi tuna rungu bukan hanya perihal sedikitnya ruang untuk belajar agama. Di samping itu, bahasa isyarat Indonesia (bisindo) belum punya banyak entri perihal pengetahuan keislaman.

Maka dari itu, dalam pembelajaran di Darul Ashom, banyak entri bahasa isyarat yang diserap dari luar Indonesia. "Abu Kahfi referensinya ada yang dari India, Arab, dan sebagainya," jelas Kahfi.

Abu Kahfi konon mempelajari itu saat umrah, tepatnya ketika ia berkunjung ke Thaif, sebuah kota yang berjarak 67 kilometer dari Mekkah. Ada banyak majelis taklim Alquran di kota itu. Hanya saja, ada satu majelis taklim yang sunyi–tanpa lantunan ayat Alquran.

Setelah ditelusuri, majelis taklim itu ternyata berisi tunarungu. Abu Kahfi pun mengadaptasi bahasa isyarat berikut metode pelajaran yang ada di majelis taklim tunarungu itu untuk dibawa ke Indonesia.

Hak Keagamaan bagi Penyandang Disabilitas

Selain kesulitan bahasa dan ketiadaan ruang belajar, ada problem yang lebih mendasar bagi penyandang disabilitas: stigma. Karena stigma, hak keagamaan penyandang disabilitas dikesampingkan. Hal ini dirasakan Fatimah Asri Mutmainnah, penyandang disabilitas fisik sekaligus anggota Komisi Nasional Disabilitas (KND).

Fatimah, misalnya, merasa ada anggapan bahwa beberapa kewajiban dalam fikih tak sepenuhnya ada untuk penyandang disabilitas. Alasannya: rukhsah, untuk memudahkan penyandang disabilitas menjalankan hukum.

“Padahal sebenarnya tidak sesederhana itu. Hubungan manusia dengan Tuhan itu kebutuhan. Jadi kalau misalnya ada tunarungu yang menginginkan haknya untuk beribadah, atau memelajari agama, walaupun mereka terhambat secara verbal, mereka tetap punya cara,” jelas Fatimah.

Maka dari itu, Fatimah menganggap, stigma masih menjadi persoalan mendasar bagi penyandang disabilitas.

Selain itu, Fatimah juga membenarkan masih adanya diskriminasi dalam pendidikan keagamaan bagi penyandang disabilitas. Semisal, tutur Fatimah, ada penyandang cerebral palsy yang ditolak masuk ke madrasah di Salatiga.

Cerita serupa juga dapat ditemukan di rumah-rumah ibadah. Menurut Fatimah, bagi penyandang disabilitas daksa, menjalankan ibadah di masjid masih merupakan barang mewah. Padahal, masjid merupakan tempat yang juga vital untuk pendidikan agama bagi muslim.

“Ini yang sedang KND advokasi. Bahkan kalau misalnya ada perlombaan masjid terbaik, salah satu indikatornya adalah ramah disabilitas,” imbuh Fatimah. “Begitu juga pendidikan seperti madrasah termasuk organisasi yang berbasis keagamaan harus mulai peduli dengan penyandang disabilitas.”

Untuk mewujudkan itu, utamanya perihal pendidikan keagamaan, ada tiga pihak yang mestinya punya peran aktif.

Pertama, Kementerian Agama. Lebih spesifik lagi, terang Fatimah, Dirjen Pendidikan Islam agar memerhatikan pendidikan agama bagi muslim penyandang disabilitas. Kedua, Kemendikbudristek yang menaungi sekolah luar biasa di seluruh Indonesia.

“Sekolah berkebutuhan khusus juga harusnya disentuh oleh kebutuhan keagamaan,” tukas Fatimah.

Fatimah juga menerangkan, pemerintah daerah atau bahkan desa punya peran penting untuk mendukung dua pihak sebelumnya. Sebab, ada prioritas penggunaan anggaran desa untuk penyandang disabilitas.

Anggaran tersebut, menurut Fatimah, mestinya bisa dipakai untuk menciptakan aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap pendidikan agama. “Misalnya alat bantu, transportasi dia berangkat sekolah. Sekolah ini, kan, bisa saja SLB, madrasah,” pungkas Fatimah.

Pesantren Darul Ashom

Pondok Pesantren Tunarungu Darul Ashom, tirto.id/Sidratul Muntaha

Baca juga artikel terkait DISABILITAS atau tulisan lainnya dari Muhammad Sidratul Muntaha Idham

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Penulis: Muhammad Sidratul Muntaha Idham
Editor: Abdul Aziz