Menuju konten utama

Cerita Pemilik Indekos & Transpuan di Jakarta yang Terancam Haknya

Meskipun pada pertemuan, Rabu (21/11) akhirnya ketua RT bersedia mencabut spanduk, tapi DKM Masjid Al-Ihsan tetap bersikukuh mengusir para transpuan dari indikos AM.

Cerita Pemilik Indekos & Transpuan di Jakarta yang Terancam Haknya
Ilustrasi kriminalisasi LGBT. FOTO/tirto.id

tirto.id - AM, 54 tahun, Senin pagi (19/11) tiba di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat. Ia mengadu keluh-kesahnya sebagai pemilik salah satu indekos yang berada di Jalan Sandang, Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur. Sebab, tujuh dari delapan penghuni indekosnya terancam diusir warga lantaran satu alasan: mereka adalah transpuan.

AM datang tak sendiri. Ia ditemani tiga penghuni indekosnya yang transpuan, yaitu RAW (23), K, dan F. Mereka berempat mengadu ke LBH Jakarta karena hak-haknya merasa terancam.

AM misalnya, terancam akan kehilangan hak atas jaminan keberlangsungan mata pencahariannya. Padahal indekos adalah penghasilan utama AM untuk membiayai kedua anaknya. Sementara RAW, K, dan F terancam diusir dan kehilangan tempat tinggal.

Menurut AM, masalah ini bermula saat sejumlah warga protes karena penghuni indikosnya rata-rata adalah transpuan. Puncaknya, kata AM, Sabtu sore (17/11) ada pemasangan spanduk di dua titik yang memprotes keberadaan para penghuni indikosnya itu.

“[Spanduk] kurang lebih bertuliskan area itu dilarang ada kaum LGBT. Jika diusir, penghasilan saya akan kosong. Saya merasa keberatan dan akan dirugikan,” kata AM kepada reporter Tirto, Senin lalu.

Spanduk itu, kata AM, dipasang oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Al-Ihsan, manjid yang berada di kompleks sebelah indekosnya. Padahal, kata AM, ketujuh transpuan itu sudah tinggal lebih dari lima tahun dan selama itu pula tak pernah ada penolakan dari warga sekitar. Ia pun menilai mereka tak pernah berbuat masalah atau merugikan warga sekitar.

Hingga Ahad lalu (18/11), AM mengetahui sudah ada sebuah petisi penolakan ketujuh penghuninya yang sudah ditandatangani oleh 200 warga setempat. Ia mengatakan 200 tandatangan warga itu diklaim terdiri dari empat rukun tetangga (RT). Meski ia sendiri tak percaya dengan klaim itu.

“Sampai sekarang, petisi itu sudah sampai ke kelurahan. Pokoknya jangan sampai mereka terusir. Kasihan mereka. Pasti kesulitan cari tempat tinggal lagi nanti. Jangan sampai kena persekusi,” kata AM.

Dengan alasan itu, ia dan ketiga penghuni indekosnya datang ke LBH Jakarta untuk meminta bantuan hukum atas kasus yang sedang dihadapinya.

RAW, salah satu penghuni indekos AM mengatakan, selama ini ia dan teman-temannya tak pernah menganggu masyarakat sekitar. Karena jam kerjanya dimulai dari sore hingga malam hari, hal itu membuat mereka jarang berinteraksi dengan warga, apalagi membuat masalah.

“Kalau siang-siang keluar kos pun itu hanya untuk beli makan,” kata RAW kepada reporter Tirto.

RAW mengatakan sejak ada pemasangan spanduk pada Sabtu sore itu, dirinya dan teman-temannya merasa menjadi pusat perhatian warga. “Bahkan ada warga yang bilang kalau ada LGBT di daerah itu bisa mengakibatkan bencana. Saya jadi enggak paham apa hubungannya,” kata RAW.

Tak Boleh Ada Pengusiran

Rizkibana Latifah, asisten pengacara publik LBH Jakarta melihat kasus yang dialami AM dan para penghuni indekosnya memiliki banyak potensi pelanggaran HAM. Hal ini diketahui setelah AM dan ketiga penghuninya konsultasi kepada LBH Jakarta.

“Kami melihat di sini banyak potensi pelanggaran HAM. Hak atas tempat tinggal, hak atas rasa nyaman, diskriminasi. Bagi ibu kos juga hak atas mata pencaharian. Mungkin Komnas HAM bisa membantu mediasi musyawarah dengan lurah dan DKM setempat,” kata perempuan yang akrab disapa Bana ini.

Setelah melakukan konsultasi, AM dan tiga penghuni indikosnya, serta Bana sepakat membawa masalah ini ke Komnas HAM. Jalur ini dinilai baik supaya Komnas HAM bisa menginisiasi musyawarah dengan pihak kelurahan dan DKM masjid.

“Upaya persekusi untuk kawan-kawan LGBT itu tidak boleh. Itu merupakan diskriminasi, mereka akan kehilangan hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, juga hak atas jaminan mata pencaharian. Jadi enggak boleh ada orang diusir karena LGBT. Kami akan musyawarah dengan RT RW dan lurah. Kawan-kawan ingin tetap di sana dan spanduk dicopot. Mereka tetap aman,” kata Bana.

Kedatangan mereka diterima Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Menurutnya, ini merupakan satu di antara banyak kasus serupa yang terjadi di Jakarta.

“Saya menganggap teman-teman beruntung punya ibu kos, yang masih mau membantu advokasi. Kita harus saling menguatkan,” kata Beka usai menerima AM dan rombongan.

Beka mengatakan sebagai warga negara, AM dan para penghuni kosnya memiliki hak untuk terbebas dari rasa takut, hak untuk terbebas dari ancaman kekerasan fisik maupun verbal, dan juga hak atas jaminan keberlangsungan kerja.

“Semua warga negara, siapa pun, apa pun agamanya, termasuk apa pun orientasi seksualnya, harus bebas dari ancaman-ancaman itu. Pada titik itulah sebenarnya Komnas HAM ada,” kata Beka.

Beka mengatakan Komnas HAM segara mengirim surat ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan guna meminta jaminan perlindungan kepada warganya, yaitu AM dan ketujuh penghuni kosnya.

"Kenapa gubernur? Karena DKI, kan, khusus. Kalau wali kota, kan, hanya administratif. Yang punya kebijakan adalah gubernur. Saya akan kirim surat ke gubernur untuk meminta perlindungan. Pertama meminta jaminan perlindungan untuk kawan-kawan semua,” kata Beka.

Beka mengatakan Komnas HAM juga akan menjadi mediator dalam musyawarah yang akan dilakukan antara AM beserta para penghuni kosnya dengan pihak kelurahan, DKM masjid, dan perwakilan warga yang merasa keberatan.

“Salah satu materi negosiasi saat mediasi, tentu adalah permintaan pencopotan spanduk. Akan ada banyak aspek lagi: soal provokasi, soal bagaimana peran RT RW dan kelurahan. Itu, kan, jadi salah satu materi saat mediasi nanti. Solusinya bukan berarti pengusiran, itu bukan solusi,” kata Beka.

Meminta Perlindungan Polisi

Sementara Andreas Harsono, salah satu pegiat Human Rights Watch Indonesia memberikan saran agar AM dan para penghuni indekos melaporkan dan meminta perlindungan ke aparat setempat. Polisi seharusnya bisa menjadi pelindung masyarakat yang merasa terancam ruang hidupnya.

“Polisi bisa diminta bantuan buat melindungi mereka. Polisi ada buat warga tanpa pandang bulu: miskin atau kaya; suku; agama; minoritas gender, dan seterusnya,” kata Andreas.

Andreas berharap warga di wilayah Klender dapat mengerti kesulitan hidup para transpuan yang rentan mendapat praktik diskriminasi.

“Mereka orang yang bekerja keras dengan segala keterbatasan. Mereka seharusnya dibantu dengan modal, kesempatan kerja, pendidikan keterampilan atau lainnya. Bukan malah diusir. Mereka tak pernah merepotkan masyarakat,” kata dia.

Andreas juga mengatakan ketua RT dan lurah setempat perlu menunjukkan sikap yang jelas dalam melindungi warganya.

“Warga berhak tinggal di kos tersebut. Mereka bayar kontrakan, mereka tak langgar hukum. Tak ada alasan mengusir mereka,” kata Andreas.

Janji untuk Tak Ada Persekusi

Pratiwi Febry, pengacara publik LBH Jakarta, pada Rabu (21/11/2018) akhirnya melakukan musyawarah dengan ketua RT setempat, bersamaan dengan AM dan para penghuni indikosnya.

"Hasil pembahasan tadi, pak RT bersedia mencabut spanduk dan para transpuan bersedia untuk mengikuti aturan yang ada. Namun DKM Masjid Al-Ihsan tetap bersikukuh mengusir teman-teman transpuan,” kata Tiwi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu malam.

Tiwi juga mengatakan ketua RT berjanji untuk menjamin keamanan para transpuan yang ada di wilayahnya tanpa ada persekusi sama sekali.

"Jika ada kejadian persekusi, kami akan bawa ke ranah pidana," kata Tiwi.

Baca juga artikel terkait TRANSGENDER atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz