Menuju konten utama
Wabah Virus Corona

Cerita Pedagang Kuliner Ekstrem di Mangga Besar Usai Ramai Corona

Sejumlah pedagang kuliner ekstrem di Mangga Besar, Jakarta Barat mengeluhkan jualan mereka sepi usai ramai wabah virus Corona yang berasal dari Cina.

Cerita Pedagang Kuliner Ekstrem di Mangga Besar Usai Ramai Corona
Lika menyiapkan bumbu untuk mengolah daging kobra menjadi sate. tirto.id/Bernie Kurniawan

tirto.id - Kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat dikenal sebagai salah satu pusat kuliner di ibu kota. Di kawasan ini, kita bahkan bisa menemukan aneka penjaja makanan, termasuk yang tak lazim sekalipun, seperti ular, biawak hingga kelelawar.

Saya mendatangi warung King's Cobra yang terletak di pinggir jalan Mangga Besar tepatnya sebelah Hotel Sumi, Selasa, 4 Februari 2020. Seperti namanya, yang dijual di sini ialah olahan daging kobra dan binatang tak lazim lainnya.

Di sana saya menemui Lika (45 tahun), salah satu pedagang kuliner “ekstrem.” Berbeda dengan gambaran dalam pikiran saya tentang penjual kuliner eksotis, rupanya Lika sangat ramah.

Sudah lebih dari 20 tahun ia menggeluti profesi ini dan berkutat dengan ular berbisa itu sudah jadi kesehariannya.

Meski begitu, tetap saja raut tegang tak bisa disembunyikan dari wajah ibu dua anak itu kala hendak mencomot kobra dari kandangnya. Ia menggulung lengan bajunya dan mulai memasukan tangannya ke dalam kandang ular kobra.

"Tolong pilih yang bagus ya bu," kata seorang pelanggannya sambil merekam aksi Lika.

Dengan hati-hati, Lika mengambil satu ular berbisa itu, tapi ia singkirkan. Mungkin dirasa kurang cocok. Ia mengambil satu lagi dan langsung dikeluarkan dari kandang, dengan gesit tangan satunya menangkap kepala ular tersebut dan langsung ia jepit agar tidak menggigit.

Kepala kobra diletakkan di talenan dan tanpa ragu Lika mengayunkan pisaunya. Kepala ular berbisa itu itu langsung terpenggal dalam sekali potong.

Badan kobra yang telah terpenggal itu lalu diperas oleh Udin, anak buahnya, hingga darahnya tandas di dalam gelas. Selanjutnya, Udin menguliti kobra itu dan mengeluarkan empedunya.

Darah dan empedu itu dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan. Selanjutnya badan ular dipotong dan ditusuk untuk dibakar menjadi sate. Di warung ini, daging ular juga diolah menjadi sop, abon, atau salep.

Selain kobra, Lika juga menjual sate biawak dan abon biawak. Namun berbeda dengan ular, biawak tak ia potong di lokasi, ia memotongnya di rumah dan membawa dagingnya ke warung.

Lika juga menjual kura-kura jika ada pesanan. Umumnya orang-orang membeli itu mentah untuk diolah sendiri. Lika juga menjual kelelawar meski jumlahnya sedikit. Alasannya peminat kelelawar terbilang sedikit dan harganya pun mahal karena sulit mendapatkannya.

"Kalau kalong, kami sedikit paling 10 ekor, soalnya kalong juga mahal satu ekor Rp400 ribu," kata dia.

Bukan hal yang sulit mendapatkan binatang-binatang itu. Lika selalu membeli dari supplier. Untuk ular, ia dapatkan dari kawasan Semarang, Jawa Tengah. Dalam sebulan ia bisa tiga kali membeli dengan total 300 ekor ular setiap bulan.

Kemudian, untuk biawak ia mengambil dari supplier di Serang, Banten. Dalam seminggu ia bisa mengambil 20kg dari pemasok tersebut.

Sementara untuk harga, Lika membandrol 1 porsi sate kobra beserta darah dan empedunya berkisar Rp150 ribu, sate biawak Rp30 ribu untuk 10 tusuk. Sedangkan kura-kura dihargai Rp100 ribu per kilogram dan kelelawar Rp400 ribu per ekor.

Lika bercerita, ia berjualan kuliner sejak tahun 1996. Awalnya ia berjualan durian, tapi atas ajakan seorang kawan akhirnya diputuskan sang suami yang menjaga kios durian, sementara ia mengurus kios ular.

Saat itu, kata Lika, yang menjadi alasan dia memberanikan diri ialah potensi keuntungan yang disebut-sebut menjanjikan.

“Ya alhamdulillah, kenyataannya 20 tahun masih jalan terus dan anak saya dua bisa kuliah dua-duanya.” kata Lika sambil tertawa.

Umumnya orang yang datang ke warungnya ialah para langganan. Mereka mencari manfaat dari binatang-binatang tersebut.

Ular kobra misal, dipercaya memiliki khasiat lain yakni membersihkan darah kotor, mengatasi asam urat, rematik, darah tinggi, darah rendah, diabetes, dan jerawat. Kemudian daging kelelawar dipercaya mampu mengatasi asma.

Hal itu pun dipercaya Tyo (30 tahun) yang mengaku baru pertama kali mencoba daging kobra. Ia bercerita telah seminggu mengalami gatal-gatal. Teman Tyo merekomendasikan darah dan empedu kobra.

"Kalau ke dokter sih sudah beberapa hari lalu, tapi kan ini untuk melengkapi saja, siapa tahu bisa jadi lebih cepat sembuhnya," kata Tyo.

Meski begitu, berjualan daging eksotis atau kuliner ekstrem tak melulu soal cerita senang. Lika kerap mengalami desakan dari orang tuanya, bahkan anak-anaknya agar berhenti berjualan karena risiko yang besar.

Dia bercerita pada 2011, ia pernah teledor saat hendak mengambil kobra dan akhirnya tangannya dipatuk.

Saat itu, Lika langsung dilarikan ke RS Cipto Mangunkusumo. Bayang-bayang kematian telah menggelayut, tapi karena penanganan yang cepat hanya tangan kiri yang terdampak hingga tak bisa digerakkan.

Menurut Lika, total dua bulan ia dirawat dan menjalani beberapa kali operasi untuk memulihkan fungsi tangannya.

Warung Olahan King Kobra

Warung King's Cobra yang menjual olahan daging binatang eksotis sejak tahun 1996. tirto.id/Bernie Kurniawan

Terpukul Isu Virus Corona

Ujang (65 tahun), pedagang kuliner ekstrem lainnya, duduk di tenda miliknya sambil memilin-milin rokoknya. Sesekali ia masukkan ke kantong, kemudian melakukan hal lain. Tapi pada akhirnya ia kembali memilin rokoknya. Tak bisa disembunyikan mood pria itu memang sedang jelek.

“Belakangan yang datang wartawan terus, enggak ada yang beli,” kata dia kesal.

Pangkal masalahnya ialah penyakit menyerupai pneumonia akibat virus Corona jenis baru yang mewabah di Cina dan sejumlah negara lainnya. Virus Corona telah menyebabkan 638 orang meninggal hingga Jumat (7/2/2020) pukul 15.33 WIB, menurut data di Johns Hopkins CSSE.

Berdasarkan data tersebut, sebanyak 618 orang meninggal di Hubei, Cina. Hingga saat ini, kasus virus Corona yang dilaporkan di seluruh dunia sebanyak 31.494 kasus. Dari data yang sama, diketahui sebanyak 1.634 orang berhasil disembuhkan. Jumlah orang yang paling banyak disembuhkan yaitu 832 orang di Hubei, Cina.

Sejumlah isu berkembang soal penyakit ini, salah satunya bahwa penyakit ini berasal dari kebiasaan warga Wuhan memakan sup kelelawar dan binatang ekstrem lainnya. Isu ini berkembang dan viral di media sosial bersama dengan video orang yang menyantap sup kelelawar.

Akan tetapi, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto membantah isu itu. Dalam keterangan yang dikutip dari Kominfo.go.id, Terawan menyebut kelelawar dan semacamnya tak ada hubungannya dengan Corona.

Perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erni Juwita Nelwan pun memberi pernyataan senada. Ia membenarkan virus Corona awalnya menyerang hewan seperti kelelawar. Namun, jika sudah dimasak dan dijadikan sup seharusnya virus sudah mati.

Namun nyatanya, isu itu tetap berkembang dan memukul usaha Ujang. Ia mengaku dalam sehari bisa menjual hingga 20 ekor ular kobra dalam sehari. Namun, akibat isu ini untuk menjual 5 ekor pun Ujang sudah kesulitan.

Ujang sendiri mengaku telah berjualan sejak tahun 1982. Saat ini anak-anaknya membuka cabang usaha yang sama di lokasi lain.

Menurut Ujang, usahanya selama ini memang ditopang oleh langganan. Namun sebagian dari mereka tetap terpengaruh isu itu, Ujang tak bisa berbuat apa-apa.

"Ya itu sih tergantung orangnya. Corona, kan, bukan di kita, jadi tergantung orangnya saja kalau dia percaya ini enggak ada virus, ya alhamdulillah," kata dia.

Hal serupa juga dialami Erika (35 tahun), pemilik restoran Kings Cobra di Mangga Besar. Ia mengaku omzetnya sedikit menurun akibat isu ini, tapi ia beruntung langganannya masih tetap setia hingga saat ini.

Meski begitu, baik Ujang maupun Erika percaya isu ini hanya berlaku temporer dan usahanya akan kembali normal. Mereka hanya berharap media dan masyarakat tidak berspekulasi dan melebih-lebihkan wabah itu serta mengikuti apa yang dikatakan pemerintah.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz