Menuju konten utama

Cerita Para Penata Musik dalam Film

Musik dalam sebuah film serupa aliran listrik yang menyalakan lampu-lampu di sebuah rumah, menghidupkan dan memberi nuansa pada setiap adegan yang terjalin.

Cerita Para Penata Musik dalam Film
Iustrasi Music Scoring. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tanpa membuka mata dan hanya mendengarkan suara-suara dari telinganya, Nina, seorang penonton film Pengabdi Setan 2 merasakan kengerian adegan yang tengah muncul di layar. Cerita menarik lainnya, penonton film Kucumbu Tubuh Indahku, seperti diceritakan sutradaranya, Garin Nugroho, mengatakan merasa telah mengenal seluk beluk film sebelum menonton film tersebut. Saat akhirnya penonton tersebut menyaksikan filmnya, music scoring yang telah menjadi bekal sebelumnya, menjadi semacam momen mengkonfirmasi adegan yang sebelumnya hanya bisa mereka bayangkan saat mendengar musik.

Music scoring merupakan serangkai musik asli yang digubah secara spesifik untuk mengiringi sebuah film. Demikian spesifiknya, kita mungkin tak akan pernah mendapatkan music scoring yang sama antara satu film dengan yang lainnya.

Komposisi musik tersebut lazimnya terdiri dari beberapa cuplikan-cuplikan nada penanda untuk mengiringi adegan tertentu yang disusun untuk memberi nuansa, dan meningkatkan narasi dramatik, serta dampak emosional penonton terhadap sebuah adegan. Musik tersebut bisa berupa sebuah lagu, serangkai ilustrasi musik singkat, atau bahkan sekadar satu ketukan nada dari tuts piano, atau gesekan biola atau bahkan remasan kertas.

Pembuatan music scoring ini biasanya ditulis oleh satu atau lebih komposer di bawah arahan sutradara. Berikut cerita para kreator mengenai kerja dan prosesnya.

Lika Liku Pembuatan Musik dalam Film

Di Indonesia, perkembangan music scoring cukup mewarnai perjalanan perfilman Indonesia. Festival Film Indonesia (FFI), ajang penghargaan tertinggi untuk film yang diadakan pertama kali pada 1955, telah menganugerahkan Piala Citra untuk penata musik terbaik sejak pertama kali diadakan.

Hingga saat ini, penghargaan untuk “Tata Musik Terbaik” diberikan setiap tahun. G. W. R. Sinsu menjadi penata musik film pertama yang menerima penghargaan sebagai penata musik terbaik lewat film berjudul Debu Revolusi pada 1955.

Setelahnya, mengikuti dinamika penyelenggaraan FFI, muncul nama-nama komposer yang menonjol dan kerap masuk nominasi, juga berkali-kali keluar sebagai pemenang seperti Idris Sardi, Franki Raden, Thoersi Argeswara, Dian HP, Aghi Narotama dan banyak lainnya.

Tiga Dara, Perkawinan, Badai Pasti Berlalu, November 1828, Kabut Sutra Ungu, Doea Tanda Mata, Ibunda, Nagabonar, Tjoet Nja’ Dhien, Cinta Dalam Sepotong Roti, Ada Apa Dengan Cinta, Opera Jawa, Love Is Cinta, The Mirror Never Lies, Tanah Surga… Katanya, Siti, Pengabdi Setan, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, Kucumbu Tubuh Indahku, Humba Dreams, dan Penyalin Cahaya, merupakan sebagian film yang pernah menerima penghargaan musik terbaik dalam FFI.

Untuk bisa menghadirkan musik yang bisa menjadi outlet terdepan sebuah film, tentu ada banyak formula yang perlu dikenali dan diracik oleh seorang komposer music scoring.

Thoersi Argeswara mengatakan, ada beberapa hal penting diperhatikan dalam menata music scoring . “Seperti apa kira-kira musik yang diperlukan oleh film tersebut, seperti apa tuntutan sutradara dan atau produser, juga seperti apa music guide (temp track) yang digunakan oleh editor,” kata Thoersi yang pernah tiga kali memenangi Piala Citra dan 16 kali masuk nominasi sebagai penata musik terbaik dalam FFI .

Menurutnya, tidak ada formula baku dalam menata music scoring, karena seperti halnya editing, konsep penataan music scoring bisa saja “dibolak-balik” penerapannya tapi satu hal yang pasti menurut Thoersi adalah bahwa musik otomatis akan mengikuti naik-turun dinamika film.

“Musik dalam film adalah penentu rasa. Kegunaan musik dalam film itu untuk menambahkan atau mengurangi rasa atau emosi. Dengan titik berangkat tersebut, pengertian musik dalam film menjadi lebih luas. Ia tidak hanya hadir dalam bentuk musik pada umumnya, tapi juga berbentuk nuansa, bahkan ambience atau atmosfer atau ruang,” Thoersi mengatakan.

Ia menggambarkan, sebuah ruangan dengan latar belakang dengung pendingin ruangan (AC), misalnya, akan sangat berbeda dengan ruangan tanpa suara pendingin. “Rasa saat kita berada di ruangan yang besar akan sangat berbeda dengan ruangan yang lebih kecil. Jadi music scoring memberi pemahaman yang jauh lebih luas dari pengertian musik itu sendiri. Sebuah film horor, pada umumnya, sama sekali tidak akan berfungsi jika tidak di dukung oleh musik,” kata Thoersi.

Pendapat Thoersi itu diamini pula oleh Aghi Narottama, yang pernah menata musik untuk film Janji Joni, Berbagi Suami, dan mendapat piala citra untuk penataan musiknya di film Pengabdi Setan.

Menurut Aghi, musik memegang peran sangat besar dalam sebuah film, “Karena musik bisa dibilang adalah cerita tanpa kata-kata.” Selain menjadi pengantar cerita, musik, menurut Aghi, memperkuat sinyal dramatisasi dan emosi dalam adegan. Musik juga berperan untuk menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan dengan visual dan dialog dalam film.

“Hal ini membuat film menjadi lebih luas dimensi ceritanya tidak terbatas dari hanya yang terlihat saja, bahkan bisa memberikan ruang imajinasi baru pada penontonnya,” kata Aghi.

Saat mengerjakan komposisi musik untuk sebuah film, Aghi biasanya berpegang pada beberapa hal. “Pelajari sampai kita mengerti dan menguasai ceritanya, baik yang tertulis di dalam skenario maupun yang tidak tertulis, contohnya hal-hal yang menjadi latar belakang tiap karakternya. Hal ini dilakukan baik dengan membaca scriptnya dan juga harus banyak berdiskusi dengan sutradara,” Aghi mengungkapkan.

Ia juga biasanya akan terus mempelajari cerita dari sebuah naskah film sampai dapat menceritakan ulang cerita film tersebut dengan bahasanya sendiri. Menurutnya, pemahaman tersebut menjadi amat penting karena ia harus dapat menuangkan cerita tersebut ke dalam bahasa musik.

Peran Penting Sutradara

Secara intensif berkomunikasi dengan sutradara juga merupakan hal yang penting dilakukan seorang komposer music scoring. Sebab ketika membuat cerita film, menurut Joko Anwar, seorang sutradara biasanya telah memiliki visi tentang dunia seperti apa yang ingin dibangun dalam filmnya.

“Dunia seperti apa, rasanya seperti apa, bagaimana interaksi antar karakter atau bagaimana interaksi karakter dengan lingkungan dan dunianya, itu ada dalam visi sutradara termasuk bagaimana secara visual dan bagaimana secara audio,” Joko mengungkapkan.

Joko mengatakan, sebelum membuat film atau bahkan saat baru membentuk konsep, seorang sutradara biasanya juga telah membuat visi tentang bagaimana desain suara dan musik dalam film yang kemudian akan didiskusikan dengan direktur musiknya. “Sebelum mulai syuting saya sudah berdiskusi dengan direktur musik yang biasanya sudah membuat contoh music scoring sesuai dengan hasil diskusi kami,” kata Joko.

Ia mencontohkan music scoring film Pengabdi Setan 2 yang tayang tahun ini, sudah dibuat sebelum syuting dilakukan dan ia sengaja memutar music scoring yang telah dibuat itu saat syuting. “Tujuannya supaya kru paham kira-kira seperti apa filmnya. Bisa dibilang, 80% music scoring yang ada di Pengabdi Setan 2 adalah music scoring yang dibuat sebelum filmnya syuting,” tandasnya.

Sutradara Garin Nugroho mengatakan, musik atau lagu kerap kali menjadi outlet terdepan sebuah film. “Ia merepresentasikan film dalam melodi dan syair pendek yang mudah diingat dan dilagukan,” katanya. Menurut Garin, tidak ada porsi pasti, namun music scoring bisa membangun banyak hal antara lain membangun dramatisasi suasana yang ingin dibangun seperti sedih, gembira dan sebagainya, sebagai pengantar narasi film, membuat ketegangan, kejutan, serta tema film.

Musik Film di Berbagai Era

Pengamat film Hikmat Darmawan, dalam tulisannya, “Musik dan Film: Bukan Sekadar Latar” yang pernah dilansir dalam situs rumahfilm.org dan telah disertakan dalam buku Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film (2007-2012) dari “Seri Wacana” yang diterbitkan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta pada 2019 mengatakan bahwa, musik telah jadi bagian tak terpisahkan dari film (genre apapun).

Sejarah musik dalam film atau yang disebut Hikmat sebagai musik-film, telah dimulai sejak era film bisu tatkala musik digunakan sebagai latar film dengan berbagai alasan antara lain musik jadi latar dengan berbagai alasan seperti sebagai warisan tradisi teater, sebagai peredam suara berisik dari proyektor, dan sebagai pemberi ‘kedalaman’ pada gambar bisu dua dimensi di layar.

Infografik Musik Film

Infografik Musik Film. tirto.id/Fuad

Di era film bersuara, menurutnya, musik-film mulai menyusun bahasa tersendiri. Kendati pada mulanya musik-film cenderung lebih seperti melanjutkan tradisi era film bisu, yakni menggunakan khasanah musik Barat yang telah ada – terutama musik klasik Eropa abad ke-19. Pada era 1930-an komposisi khusus untuk sebuah film mulai biasa dibuat.

Dalam tulisannya, Hikmat juga membagi beberapa era yang menurutnya dapat dianggap sebagai tonggak-tonggak perkembangan musik-film. Di era 1930-an, Hollywood disebut mulai menyusun kamus musik-film lewat para komposer yang terdidik dalam tradisi musik Eropa. Kosa musik-film tersebut mapan di era 1940-an.

Dominasi kosa musik-film yang menggunakan simfoni dan bergaya Eropa, diungkapkan Hikmat, mulai didobrak di tahun 1950-an dengan masuknya pengaruh jaz ke arus besar musik film Hollywood.

Beranjak ke era 1950-an, eksperimen musik-film menjadi lebih beragam dengan sentuhan lokalitas yang lebih kentara seperti Satyajit Ray menggunakan musik etnis karya Ravi Shankar untuk filmnya, Pather Panchali. Di Jepang, Fumio Hayasaka menggunakan alat-alat musik Jepang untuk film Akira Kurosawa, Rashomon (1950) dan Seven Samurai (1955). Di masa ini, Eropa pun melahirkan pakem musik-film dengan orkes studio yang kecil.

Gerakan new-wave di Perancis pun turut mempopulerkan pakem itu, dan melahirkan tokoh musik-film seperti Michel Legrand (The Umbrellas of Cherbourg (1964), Summer of ’42 (1972) dan Yentl (1983). Eksperimentasi era 1950-an ini terus berlanjut hingga tahun 1960-an bertepatan dunia sedang dilanda revolusi musik, dengan The Beatles sebagai pahlawan utamanya.

Hal yang menurut Hikmat paling menonjol dari revolusi musik itu adalah mencuatnya musik rok sebagai kekuatan baru di tengah maraknya pengaruh jaz dan musik etnik.

Beberapa kecenderungan mutakhir terjadi saat penggunaan synthesizer mencuat ke permukaan dan menjadi tren di era 1980-an. Musik-film dengan synthesizer, menurut Hikmat, memberi nuansa yang khas seperti bunyi-bunyi buatan elektronik yang amat tepat untuk membangun atmosfer alam dongeng, futuristik atau mimpi pada gambar di layar.

Tren lainnya, adalah musik avant garde yang sebelumnya menjadi milik film-film avant garde pula, mulai masuk ke arus besar. Begitu pula masuknya kecenderungan membangun tata musik-film dari lagu-lagu popular, lagu-lagu rok yang sedang atau akan digemari, sampai meriahnya musik alternatif dan musik R&B dan rap – yang menghias film-film Hollywood tahun 1990-an hingga kini.

Baca juga artikel terkait MUSIK FILM atau tulisan lainnya dari Indah Ariani

tirto.id - Musik
Kontributor: Indah Ariani
Penulis: Indah Ariani
Editor: Lilin Rosa Santi