Menuju konten utama

Cerita Korban Klitih di Jogja & Mengapa Kasus Serupa Terus Berulang

Dani, salah satu korban klitih di Jogja menceritakan pengalamannya. 5 tahun berlalu, tapi fenomena klitih tak rampung hingga hari ini.

Cerita Korban Klitih di Jogja & Mengapa Kasus Serupa Terus Berulang
Ratusan anggota organisasi masyarakat (Ormas) melakukan aksi di halaman Polda DIY, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (3/2/2020). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.

tirto.id - Oktober 2016, dua pemuda berseragam sekolah menengah atas berboncengan motor. Satu orang membawa pipa besi di tangannya. Mereka membuntuti motor yang ditumpangi Dani Greget Sumangghani, 19 tahun, siswa kelas XI SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta, dari perempatan Wirobrajan. Dani melaju ke barat menuju ringroad, hendak pulang ke rumah usai sekolah.

Hari itu terik, dengan penuh curiga, Dani mencari tempat berteduh sesaat sembari menunggu lampu lalu lintas mempersilakannya melanjutkan perjalanan. Ia melihat pemuda yang berboncengan itu di belakangnya, rela berpanas-panasan. Lampu hijau menyala, Dani memacu gas. Tiba di kawasan Bantulan, sekira pukul 14, motor dua pemuda itu berada di kiri motor Dani sembari berkata “Kamu dari Morenza, ya?” Jalanan kala itu tak banyak kendaraan lain berseliweran.

Belum sempat menjawab, si penumpang dua kali mengayunkan pipa besi ke lengan kiri dan bahu kirinya. “Motor sudah miring, hampir jatuh. Saya bisa berdiri lagi,” ujar Dani kepada reporter Tirto, Jumat (31/12/2021).

Morenza adalah nama geng di sekolahnya, yang ia sebut berseteru dengan Grixer, geng dari SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Dani bukan anggota geng dan menduga terduga pelaku mengidentifikasinya dari seragam yang ia kenakan; ketika berkendara, Dani tak menggunakan jaket.

Dani tak ingin mengejar terduga pemukul, namun ia berhenti di dekat sebuah rumah makan. Ia tahu bahwa penjaga rumah makan yang kala itu berdiri di depan bangunannya melihat pemukulan secara jelas. Dani menghampiri si penjaga dan mengajaknya mengadukan peristiwa kepada polisi, tapi berujung penolakan lantaran saksi cari aman.

Tiba di rumah, ia merawat luka robeknya, tak butuh pertolongan tenaga medis. Ia pun mengadukan peristiwa yang menimpanya ke pihak sekolah, namun pihak sekolah tak mau membantunya. Entah apa alasan penolakan itu. Dia pun ogah melaporkan kejadian itu kepada Korps Bhayangkara karena pesimistis.

“Saya lebih baik diam, karena percuma lapor polisi. Beberapa kejadian seperti itu tidak pernah ditindak. Teman-teman saya sering di-klitih, lapor polisi tapi tak digubris,” aku Dani.

Lima tahun berlalu, Dani kini menjadi pegawai swasta di Yogyakarta. Meski kejadiannya telah kelar, namun fenomena klitih tak rampung hingga hari ini. Ketika pulang di atas jam 18 dari kantor menuju kediamannya di daerah Sleman, Dani memilih menggunakan mobil ketimbang motornya atas dalih keamanan dan meminimalisasi waswas. Dani meyakinkan kejadian yang menimpanya adalah klitih karena terduga penyerang telah mempersiapkan senjata, menyebut nama geng sekolah, dan rela membuntutinya 20 kilometer.

“Aktivitas klitih di Yogyakarta, terutama untuk anak sekolah, mereka masih membawa nama geng sekolah. Klitih sudah terjadi di tahun 2009 sampai sekarang. Catatannya juga sama, terkait geng-geng sekolah,” ujar Dani.

Karena fenomena klitih kerap berulang, Dani menyarankan beberapa hal seperti sekolah lebih berperan mengawasi siswa; Polri cepat bertindak saat ada kejadian dan tak perlu menunggu viral, memaksimalkan sumber daya kepolisian; serta meminta Sri Sultan Hamengkubuwono untuk berdiskusi dengan korban dan pihak terkait untuk mencari solusi agar tiada lagi korban klitih.

Tagar #YogyaTidakAman #Klitih hingga #SriSultanYogyaDaruratKlithih ramai diperbincangkan warganet di Twitter, Selasa, 28 Desember 2021. Klitih jadi perbincangan lantaran seorang warganet mengisahkan kejadian klitih yang ia alami. Lantas banyak warganet yang juga berbagi cerita klitih yang mereka ketahui atau dialami sendiri. Tagar tersebut menjadi respons kejahatan jalanan yang terjadi di Kota Gudeg.

Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran, tapi dalam dunia remaja Yogyakarta, pemaknaannya kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal.

Soeprapto, eks Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, tak setuju dengan istilah klitih yang digunakan untuk mendefinisikan kejahatan jalanan. "Kejahatan jalanan itu beda dengan klitih. Jangan menyebut klitih, karena klitih sendiri berarti aktivitas positif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Sayangnya ini kemudian diadaptasi pelajar atau remaja untuk kegiatan mencari musuh," ujar Suprapto, 4 Februari 2020.

Aktivitas yang dilakukan pelajar tersebut berbeda dengan aksi kejahatan jalanan berupa pembacokan. “Pelajar itu punya aturan sendiri, mereka tidak akan menyerang perempuan, orang yang boncengan, orang tua. Aksi pembacokan yang menimpa sopir ojek daring beberapa hari lalu, menurut saya, bukan dilakukan oleh pelajar atau geng pelajar karena itu bukan target mereka," terang dia.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sujito berpendapat klitih seperti letupan terus-menerus yang bisa muncul usai ketenangan. Artinya penanganan klitih tak efektif. “Karena menangani saat darurat dan ketika tidak terjadi, tidak ada upaya mencari akarnya. Pendekatan represif tak cukup, tapi juga melihat sisi sosiokultural,” tutur dia kepada Tirto, Jumat (31/12/2021).

Arie menilai anak-anak yang diduga terlibat dalam klitih mengalami disorientasi karena kurangnya ruang mereka memproduksi ide-ide konstruktif. Hal ini bisa saja karena masalah keluarga, sosial, pun lingkungan di Yogyakarta.

“Maka tidak cukup polisi jadi aktor menyelesaikan masalah klitih. Memang saat kejadian polisi harus gerak, tapi peran pemerintah, dalam hal ini pemda, untuk mengevaluasi pendekatan yang selama ini diterapkan,” imbuh dia.

Pendekatan pendidikan juga bisa dilakukan, tapi pendidikan bisa jadi resolusi dan sumber masalah. Bila jadi resolusi, maka pendidikan berperan untuk mendalami seberapa jauh efek kegagalan pendidikan atau malah fungsi edukasi kurang optimal. Keluarga pun harus jadi tumpuan anak untuk melarang anak melakukan klitih, sementara komunitas jangan membingkai buruk alias antistigma, tapi diajak berembuk untuk mencari akar perkara dan penyelesaiannya.

Peran media sosial juga tak luput, melalui dunia maya banyak pihak bisa menginformasikan cara-cara penanggulangan klitih sehingga bisa mewujudkan kondusifitas wilayah. “Sementara pemerintah daerah harus melindungi (warga). Kalau wujud ekspresi anak-anak dalam bentuk menggali potensi kreatif, maka energinya ke sana (dituangkan kepada hal konstruktif). Sedangkan polisi bertugas melacak rantai (klitih),” terang Arie.

Tapi ia kembali mengingatkan, cara-cara kepolisian harus bersanding dengan pendekatan lain dan kultur humanis di Yogyakarta harus lebih maksimal. “Bukan gerakan caci-maki klitih, tapi orang-orang harus diingatkan sehingga melahirkan kesantunan kolektif.”

Sanksi Pelaku Klitih

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menyatakan klitih sebagai bentuk penganiayaan yang bisa menyebabkan luka atau kematian korban, maka para terduga pelaku melanggar Pasal 351 KUHP.

“Kalau penganiayaan ringan, (terancam) 2 tahun penjara, penganiayaan berat (terancam) 5 tahun penjara. Jika menyebabkan meninggal (terancam) 7 tahun penjara. Karena pelakunya masih remaja, masuk kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,” kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Jumat (31/12/2021).

Apabila penganiayaan itu menyebabkan luka ringan atau luka berat dan ancaman pidana di bawah 7 tahun kurungan, maka bisa dilakukan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

“Syaratnya (si pelaku) bukan residivis. Jadi pelaku klitih, si remaja ini, belum pernah dihukum sebelumnya. Itu bisa diversi, tidak perlu masuk penjara,” terang Fachrizal. Pasal 6 UU Sistem Peradilan Anak menyatakan diversi bertujuan mencapai perdamaian anak dan korban.

Sedangkan Pasal 8 ayat (1) menyebutkan proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.

Publik memang tak perlu main hakim sendiri terhadap pelaku klitih, meski polisi baru turun tangan ketika perkara viral. Fachrizal menilai sebaiknya diupayakan preventif, karena klitih ini bentuk agresivitas remaja dalam pencarian jati diri.

“Ruang-ruang publik untuk mereka berkreasi itu semakin menyempit, anak zaman sekarang juga terpapar informasi di dunia maya tanpa batas, bisa merangsang agresivitas. PR ini tidak hanya polisi (yang harus membenahi), butuh pendekatan holistik dan tidak hanya pendekatan hukum,” ucap dia.

Baca juga artikel terkait KLITIH DI JOGJA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz