Menuju konten utama

Cerita Konsumen yang Terjerat Utang 15 Penyedia Pinjaman Online

Seorang debitur mengaku sempat terjerat utang kepada 15 penyedia pinjaman online karena tidak mampu membayar cicilan dengan bunga selangit. 

Cerita Konsumen yang Terjerat Utang 15 Penyedia Pinjaman Online
Ilustrasi fintech lending. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Seorang debitur perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending, atau penyedia fasilitas pinjaman online, Asep menceritakan pengalamannya yang harus gali lubang tutup lubang guna membayar utang dengan bunga selangit. Asep mengaku sempat terjerat utang kepada 15 penyedia pinjaman online.

Asep mengungkapkan pengalamannya itu dalam diskusi bertajuk “Peran Negara Melindungi Pengguna Aplikasi Pinjaman Online” di Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (4/1/2019).

Dia menjelaskan semula berminat meminjam dana dari salah satu fintech P2P lending, pada 2016 lalu karena membutuhkan dana beberapa juta rupiah saja.

"Saya kenal Doctor Rupiah dulu sekitar tahun 2016-2017. Awalnya saya pinjam untuk memenuhi satu kebutuhan, saya dapat Rp4 juta. Karena telat bayar, akhirnya pinjaman dikenakan bunga sampai total Rp6 juta, [bunga sebesar] 40 persen, berarti harus bayar Rp1,6 juta per bulan,” kata Asep.

Dia mengatakan sempat tidak mampu menutupi pinjaman beserta bunga tinggi itu dan hanya bisa mendapatkan perpanjangan masa pembayaran selama satu tahun. Gaji karyawan swasta itu tidak cukup memenuhi kewajiban pembayaran cicilan karena ia juga terbebani angsuran kredit rumah dan motor. Apalagi, ia juga harus membiayai sekolah anak-anaknya.

Agar bisa membayar cicilan utang Rp1,6 juta per bulan itu, Asep meminjam kepada fintech P2P lending lainnya. Pola itu terus dijalankan Asep dalam membayar cicilan ke kreditur lain sampai ia terjerat utang kepada 15 fintech P2P lending.

"Untuk nutupin itu [cicilan] saya pinjam ke aplikasi lain. Jadi sampai sekarang ini, saya sempat sampai meminjam ke 15 aplikasi online. Ada yang Rp4 juta, Rp4 juta, Rp4 juta saya pinjam, untuk menutup bunga, akhirnya saya kolaps," kata Asep.

Penagihan dengan model beragam pernah dialami Asep, mulai dari dibuatkan grup chat berisi teman-teman dekat, diteror debt collector sampai disebar data pribadinya.

“Saya pernah diperlakukan secara tidak etis, sampai perilaku itu membuat saya tertekan dan stres. Penagihan dilakukan ke semua kontak [telepon] saya," kata Asep.

Setelah berupaya melunasi sebagian utangnya, Asep mengatakan dirinya kini masih berutang ke sembilan perusahaan penyedia pinjaman online. Meski demikian, dia tetap keteteran membayar cicilan, apalagi ia masih harus membayar angsuran kredit rumah dan motor.

"Saya tertekan, sampai harus menunda pembayaran cicilan rumah empat bulan, SPP [biaya sekolah] anak menunda cicilan sampai tiga bulan," ujar dia.

Asep pun memberi saran agar masyarakat berhati-hati dan tidak mudah tergiur dengan tawaran utang dari aplikasi pinjaman online. Meski proses mendapatkan pinjaman mudah, kata Asep, bunga utang kerap terlampau tinggi. ”Pendapatan dan gaji nanti hanya untuk membayar bunga dan utang," kata dia.

Asep pun menyayangkan banyak perusahaan penyedia pinjaman online tidak memberikan solusi yang tepat ketika ada debitur yang sedang kolaps secara keuangan.

“Saya yakin peminjam ingin bayar cuma memang kondisinya kolaps, enggak bisa ngapa-ngapain. Saya jual tanah untuk bayar, alhamdulilah bisa sampai 9 lagi," kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS FINTECH atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom