Menuju konten utama

Cerita Kehancuran Industri Mobil Amerika dan Inggris

Jurnalis otomotif James May pernah berujar: “To win at cars, first you must lose at war.”

Cerita Kehancuran Industri Mobil Amerika dan Inggris
Cadillac series 75, salah satu jenis kendaraan yang pernah dipakai sebagai mobil kepresidenan di zaman Soekarno. Foto/Wikipedia

tirto.id - Ada pepatah yang berbunyi “hidup seperti roda yang berputar”. Kurang lebih pepatah tersebut bermakna bahwa nasib dalam hidup selalu berubah, terkadang di atas, terkadang di bawah. Hal ini terjadi di dunia otomotif, khususnya industri mobil dunia. Negara pemenang Perang Dunia II, Inggris dan Amerika, pernah merajai industri mobil dunia. Namun, saat ini, situasi telah berubah. Mereka tengah berada di titik nadir.

Dari lima merek mobil yang berhasil mendominasi penjualan mobil dunia di tahun 2016, hanya ada satu merek dari pemenang Perang Dunia II, yaitu Ford bikinan Amerika. Inggris bahkan lebih tragis, merek mobil asal negara ini tidak masuk dalam daftar 25 besar merek mobil terlaris 2016.

Kondisi ini berbeda dengan produsen-produsen otomotif yang berasal dari pihak yang kalah dalam Perang Dunia II. Merek mobil asal Jepang dan Jerman mengisi 3 dari 5 merek mobil yang berhasil mendominasi penjualan mobil dunia pada 2016. Toyota, pabrikan mobil asal Negeri Sakura, berhasil meraih posisi puncak. Posisi kedua ditempati pabrikan asal Jerman, Volkswagen, meski setahun sebelumnya mereka mengalami skandal emisi gas buang. Satu tempat lainnya diisi pabrikan asal Jepang lainnya, yaitu Nissan.

Dominasi Sekutu Pasca Perang Dunia

Pasca Perang Dunia II, perusahaan mobil asal Amerika mendominasi dunia. Merek-merek seperti Chevrolet, Ford, Cadillac, Chrysler, Dodge, dan Lincoln tersebar di berbagai penjuru dunia.

Di Indonesia, misalnya, mobil-mobil Amerika pernah populer dan banyak beredar. Keberadaannya bisa dilihat dari beberapa video tentang Indonesia di era 1950-1970 di YouTube. Mobil Amerika juga menjadi mobil favorit Presiden Sukarno. Dari tujuh mobil kepresidenan di era Sukarno, empat di antaranya merupakan keluaran Amerika, seperti: Buick-8, Cadillac 75, Lincoln Cosmopolitan, dan Chrysler Imperial.

Mobil-mobil Amerika di masa itu terkenal dengan dengan besarnya kapasitas mesin, dimensi yang masif, dan berbobot berat. Mobil Cadillac 75 keluaran tahun 1964 yang menjadi mobil kepresidenan Sukarno, misalnya, memiliki mesin berkonfigurasi V8 7.000 cc, dimensi panjang 6 meter dan lebar dua meter, serta bobot mencapai 2,2 ton. Spesifikasi seperti itu membuat konsumsi bahan bakar Cadillac 75 menjadi begitu boros. Autobild Indonesia mencatat konsumsi bahan bakar mobil kepresidenan terakhir Sukarno ini hanya mencapai angka 3-4 kilometer/liter saja.

Perusahaan-perusahaan mobil asal Inggris juga mengikuti jejak perusahaan-perusahaan mobil Amerika. Pada 1950, Inggris menjadi negara pengekspor mobil terbesar dan produsen mobil terbesar kedua di dunia. Beberapa merek mobil yang mendunia dari Inggris di antaranya adalah Land Rover dan Morris, termasuk laris juga di Indonesia. Sampai saat ini jejak Land Rover masih bisa kita temui di jalanan, sedangkan jejak Morris Minor sempat monumental saat dijadikan opelet di sinetron Si Doel Anak Sekolahan.

Berbeda dengan mobil-mobil Amerika, mobil-mobil asal Inggris relatif lebih compact dan bermesin lebih kecil. Meroketnya harga bahan bakar akibat upaya pemerintah merebut Terusan Suez dari Mesir membuat para desainer mobil-mobil Inggris mendesain mobil yang kecil dan menggunakan lebih sedikit bahan bakar. Satu mobil yang bersinar dari kondisi ini adalah Mini Cooper. Mobil dengan dimensi yang sesuai dengan namanya dan bermesin kecil menjadi sensasi di seluruh dunia, terutama setelah mobil ini berhasil memenangkan Reli Monte Carlo pada 1964. Di Indonesia, mobil ini lebih dikenal sebagai "Mobil Mr. Bean".

Kebangkitan Poros Otomotif Jerman-Jepang

Keputusan Amerika untuk memberikan suplai kepada militer Israel dalam perang Arab-Israel pada 1973 menjadi titik balik industri mobil mereka. Sebagai balas dendam atas tindakan tersebut, negara-negara Arab yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) menjatuhkan embargo penjualan minyak bumi yang berimbas kepada terbatas dan meroketnya harga bahan bakar di Amerika. Para pengguna mobil Amerika kesulitan untuk mengisi bahan bakar mobil mereka yang terkenal sangat boros. Mereka menginginkan mobil yang lebih efisien bahan bakar.

Situasi inilah yang melahirkan celah bagi mobil-mobil Jepang dan Jerman yang terkenal efisien. Mobil-mobil Jepang dan Jerman pun mulai diminati warga Amerika. Pada 1972, merek mobil impor hanya memiliki pangsa pasar 13 persen di pasar Amerika. Tiga tahun kemudian, pangsa pasar tersebut meningkat hingga 15,8 persen dan terus meningkat sejak itu.

The Big Three yang terdiri dari Ford, General Motors, dan Chrysler berusaha menjawab tantangan dari pabrikan mobil Jepang dan Jerman tersebut. Ford mulai memproduksi Pinto dengam mesin yang kecil, namun produk ini gagal karena masalah tangki bensin yang membuatnya rawan meledak jika ditabrak dari belakang. General Motors (GM) melalui Chevrolet Vega juga mengalami kegagalan karena mobil ini mudah berkarat dan mesin berbahan alumuniumnya bermasalah. Demikian dengan Chrysler yang gagal dengan Plymouth Volaré and Dodge Aspen karena pengembangan kedua mobil ini terlalu terburu-buru sehingga menjadi mobil yang paling sering di-recall: 8 kali dalam kurun waktu satu tahun!

Inggris, meski industri mobil mereka jatuh di era yang sama dengan Amerika, memiliki cerita yang agak berbeda.

Pada 1973, Pemerintah Inggris memutuskan untuk bergabung ke European Economic Community (EEC). Keputusan ini memungkinkan Inggris untuk menjual mobil mereka ke seluruh penjuru negara yang tergabung ke dalam EEC secara bebas dan juga berlaku sebaliknya. Terlihat menguntungkan bagi Inggris yang merupakan negara pengekspor mobil, namun hal ini justru menghancurkan industri mobil mereka.

Kualitas mobil mereka kalah bersaing dengan mobil-mobil dari Jerman seperti BMW dan Mercedes. Di era 70-an, mobil-mobil Inggris dibuat dengan sangat buruk sehingga pembeli dan dealer mobil harus membangun ulang mobil yang mereka beli.

Hal ini utamanya terjadi akibat ulah para petinggi perusahaan mobil Inggris yang inkompeten dalam memimpin perusahaan. Mereka yang membawa industri ini menuju kehancuran dengan membuat keputusan yang tidak masuk akal. Salah satunya adalah keputusan membangun pabrik di daerah yang tidak punya tradisi teknik dan terbatasnya tenaga kerja terampil. Maksud ide tersebut sebetulnya baik, yaitu untuk meningkatkan lapangan pekerjaan di daerah yang kekurangan, namun justru berakibat mobil-mobil dirakit oleh para amatir.

Kondisi ini dipersulit oleh relasi yang buruk antara perusahaan otomotif dan serikat pekerja. Di masa 60-an dan 70-an, pabrik-pabrik mobil setiap harinya menjadi medan pertempuran. Para buruh dan pihak manajemen sibuk bertarung. Di sisi lain, para pesaing mereka di Jerman justru semakin kuat dalam produksi karena terjaganya hubungan antara kelas buruh dengan pihak manajemen dan serikat pekerja. Buruh pabrik mobil di Inggris lebih sering menghabiskan waktu berdemo dibandingkan memproduksi mobil.

Infografik Sisa kejayaan Mobil AS

Kemunduran yang Tak Tertahankan

Kekacauan di era 70-an tersebut menuntun Amerika dan Inggris menuju kemunduran di industri mobil.

Dari ratusan merek mobil yang pernah ada di Amerika, tak banyak yang kini masih beroperasi. Tiga Besar masih bertahan, namun dengan kondisi yang pincang. General Motors dan Chrysler pada 2009 mengajukan kebangkrutan. General Motors akhirnya selamat setelah mendapat suntikan dana dari Eropa dan Pemerintah Amerika. Chrysler kini menjelma menjadi Fiat Chrysler Automobiles, setelah 20% sahamnya dibeli oleh Fiat, perusahaan otomotif besar asal Italia.

Hanya Ford saja dari The Big Three yang tidak mengajukan kebangkrutan. Namun mereka juga mendapatkan suntikan dana 5,9 triliun dollar dari pemerintah dalam bentuk pinjaman rendah biaya untuk meningkatkan kualitas pabrik dan menghasilkan teknologi mobil yang lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar.

Inggris lebih tragis. Merek-merek mobil yang sebelumnya menjadi ciri khas Inggris kini telah dimiliki oleh negara lain. Lotus telah tiga kali berganti pemilik dan kini menjadi anak perusahaan dari Proton, perusahaan mobil asal Malaysia. Land Rover dan Jaguar kini dimiliki oleh Tata Group, perusahaan besar asal India. Setelah sempat menjadi bagian dari Opel Group, kini Vauxhall dimiliki oleh General Motors. Bentley, perusahaan mobil yang terkenal dengan mobil-mobil mewah mereka kini merupakan bagian dari Volkswagen Group, Jerman. Rolls Royce, perusahaan mobil mewah asal Inggris lainnya, kini berada di bawah BMW, pun halnya dengan Mini.

Dalam salah satu episode acara James May’s Car of The People, jurnalis otomotif James May pernah berujar: “To win at cars, first you must lose at war.”

Ya, jawara di Perang Dunia II justru menjadi yang merana di industri mobil.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Arya Vidya Utama

tirto.id - Otomotif
Reporter: Arya Vidya Utama
Penulis: Arya Vidya Utama
Editor: Zen RS