Menuju konten utama
Di Balik Situs Berita Hoax

Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword

Saban hari informasi dan situs berita palsu (hoax) bermunculan. Sebarannya semakin masif melalui media sosial. Jadi tambang uang puluhan hingga ratusan juta.

Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword
Ilustrasi berita hoax. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - “Orang di bawah sangat militan. Membagi berita ke mana-mana sehingga menyebar cepat ke mana-mana.”

M. Yamin El Rust, direktur eksekutif Yayasan Nawala Nusantara, menganalogikan bagaimana berita bohong membuat pemilik portal kaya raya, sementara si penyebar, orang-orang biasa yang termakan berita tersebut, merasa bangga dan sedikit tenar sebagai tukang viral perdana, disukai dan disebarkan ratusan hingga ribuan orang.

Itu mendatangkan kunjungan bagi portal berita hoax tersebut. Dan logika yang masih berlaku di era internet: Semakin tinggi kunjungan maka peluang meraup pundi rupiah semakin besar.

Abdul Hamdi Mustapa, sosok di balik postmetro.co, memiliki cerita yang perlu kita simak. Cara agar konten yang dia kerjakan itu lekas viral, dia memakai akun khusus, plus mengikuti akun orang lain dengan banyak jumlah pengikut.

“Sekarang ada 5-10 akun untuk share berita,” kata Hamdi kepada reporter Tirto pada 15 Desember 2016. “Biasanya akun yang kita follow me-retweet berita postmetro sehingga menyebar ke mana-mana.”

Cara lain adalah memoles konten. Orang-orang di balik postmetro, misalnya, “memanfaatkan momen” yang jadi sumber kegaduhan orang ramai. Selama ini, kata Hamdi, berita yang sering jadi viral soal tenaga kerja ilegal dari Tiongkok dan kasus penistaan agama yang menjerat Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Hamdi tidak sendirian. Ia mengajak empat rekannya untuk mengelola portal postmetro. Mereka berbagi tugas: tiga rekan sebagai penulis dan dua rekan lain mengelola media sosial.

Dalam sehari, klaim Hamdi, mereka bisa membuat 70-80 konten per hari. Konten-konten ini menyalin berita media arus utama. Unsur polesannya ada pada judul, dibuat “dengan bahasa lebih menarik” dan “lebih mudah dipahami” agar mendatangkan banyak pengakses.

“Kita comot dari berita lain,” kata Hamdi. “Jarang kita pelintir, tapi ambigu. Yang paling banyak itu nada-nada provokatif, tendensius, dan lucu-lucu.”

Judul provokatif yang dia maksud, misalnya, “Eva Sundari Politisi 'Penjilat', Dulu Tolak Pasal Penghinaan Presiden, Kini?” (7 Agustus 2015), “Pendukung Ahok Lecehkan Wudhu Umat Islam” (16 Juli 2015), atau “Aneh! Polda Metro Sebut Buni Yani Biang Konflik di Masyarakat” (15 Desember 2016).

Kini, berdasarkan situs pemeringkat alexa.com, postmetro menduduki peringkat 500 besar di Indonesia. Pembacanya pun bisa bertahan selama 5 menit.

Berita Palsu dan Pencitraan

Hamdi merasakan kepuasan dalam mengelola postmetro.co. Kepuasan itu, klaimnya, “mempersatukan umat Islam” terutama ketika penggalangan massa anti-Ahok kian menemukan momentumnya menjelang Pilkada Jakarta 2017.

Tetapi kepuasan itu muncul belakangan. Anak muda dari Minang ini semula membuat situs media sekadar memuat berita-berita terkait pedesaan, sesuatu yang ramah baginya sebagai anak seorang petani. Merasa tak menguntungkan, dia mengikuti apa yang sudah dibikin portal-portal lain yang mengejar pengunjung, salah satunya Portal Piyungan. Dengan strategi itu, ia berhasil memperoleh pendapatan bulanan.

“Jadi kalau sebulan itu kita mendapat rata-rata Rp25 juta sampai 30 juta,” kata Hamdi. Sebagian besar penghasilan itu dari Google AdSense. Sisanya yang lebih kecil dari iklan, yang dimulai sejak dua bulan terakhir.

Lain Postmetro, lain pula Seword.com—media yang memuat opini para penulis lepas dengan kecenderungan suara memoles citra Ahok dan Jokowi.

Alifurrahman S. Asyari, pendiri Seword.com, enggan menyebutkan penghasilan dari portal yang dia kelola itu. Tetapi, katanya, dalam sebulan bisa untuk membiayai server, admin, dan pengembang.

Mari berhitung. Lewat Siteworthtraffic.com, jumlah halaman postmetro.co yang dilihat pengakses (pageview) setiap bulan sebanyak 487.710. Sementara penghasilannya 488 dolar AS (sekira Rp6,4 juta). Adapun Seword.com, jumlah pageview mencapai 854.040 per bulan, dengan penghasilan 854 dolar AS per bulan (Rp11,2 juta).

Alasan membikin situs-situs itu bisa murni mengejar laba. Tetapi kadang ia juga bercampur dengan motivasi politik pembuatnya.

Septiaji Eko Nugroho dari Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia berkata bahwa berita palsu atau hoax bisa dalam kacamata negatif dan melebih-lebihkan. “Intinya mereka bohong,” katanya.

Alifurrahman menampik disebut menyebarkan kebohongan. Ia mengatakan Seword dibuat “untuk melawan media abal-abal.” Selain, katanya, “untuk mengakomodasi kepentingan semua netizen.”

Neziten yang mana? Apakah Seword pernah memuat artikel yang menyerang Ahok atau mengkritik pemerintah Jokowi? Sangat jarang, jika bukan tidak pernah.

Birgaldo Sinaga, salah satu penulis Seword yang dua tulisannya memuji Ahok, mengatakan dia menulis di situs itu karena opini-opininya kerap tidak terakomodasi di Kompasiana, sebuah situs jurnalisme warga yang mulai menerapkan sistem verifikasi ketat setelah sering bikin kegaduhan di media sosial di masa pemilihan presiden 2014. Alasan lain, fokus Kompasiana tak cuma soal politik, sehingga segmentasi pembacanya sangat luas.

“Banyak tulisan saya bersenggolan dengan politik,” kata Birgaldo. “Seword dianggap suara untuk politik, saya kirimkan saja ke situ.”

Dalam laman resmi Seword, pengelola menjelaskan bahwa opini yang dimuat akan menerima kompensasi Rp3 per hit/view dan dibayar setiap bulan kepada penulis. Misalnya, bila menulis satu artikel dengan total 11.212 hit/view, maka penulis berhak mendapat Rp33.636. Ini angka kecil bagi pekerja kantoran atau operator politik.

Karena itu bukan nilai uang yang dikerjar bagi si penulis, meski hal macam itu mungkin saja. Melainkan ia bisa menyebarkan pandangan politiknya dan tujuan pencitraan terhadap tokoh politik tertentu bisa tersebar dan dibaca sebanyak-banyaknya orang.

Menurut Alifurrahman, dalam sehari Seword bisa memuat 20-30 artikel dari 90 penulis luar sejauh ini. Tanggung jawab dan risiko tulisan tersebut, katanya, diserahkan sepenuhnya kepada penulis. Artinya, tidak ada sistem editorial yang ketat, tidak seperti pekerjaan jurnalisme umumnya.

Infografik HL Perkiraan Pendapatan Berita Hoax

Belajar dari Kasus Obor Rakyat

“Capres Boneka”, demikian laporan utama tabloid Obor Rakyat. Ia sempat bikin geger dalam Pilpres 2014. Isinya fitnah alias kampanye hitam terhadap calon presiden Joko Widodo. Menyikapi kasus itu, Dewan Pers menegaskan bahwa Obor rakyat berada di luar ranah jurnalisme dan bukan produk jurnalisme.

Ada enam pertimbangan dari Dewan Pers, termasuk Obor Rakyat, tidak memenuhi ketentuan mengenai bentuk badan usaha pers, alamat yang tercantum di kotak redaksi palsu atau fiktif, didasarkan pada asumsi dan opini semata, tak ada satu pun prinsip-prinsip jurnalistik, tidak melakukan kewajiban verifikasi, dan menghakimi serta tidak cover both sides.

Bagaimana dengan berita hoax lewat internet?

Ketua Dewan Pers Yosep “Stanley” Adi Prasetyo memberikan kriteria yang hampir mirip dengan pertimbangan lembaganya terhadap kasus Obor Rakyat.

Pertama, berita yang dibuat untuk kepentingan tertentu lalu disebarluaskan dengan tujuan dan maksud tertentu. Kedua, ada berita yang mungkin dibuat oleh media tidak profesional dengan kombinasi wartawan yang inkompeten termasuk tidak paham melakukan verifikasi, sehingga apa yang dianggap “berita” ini muncul tanpa verifikasi, dan media tersebut tidak berbadan hukum.

Ketiga, media ini tidak proper, beritanya salah, mengambil dari sumber yang tidak kredibel, yang celakanya berita itu diambil orang lain lalu disebarkan untuk kepentingan tertentu.

“Jadi ada tiga model hoax,” ujar Stanley.

“Masyarakatlah yang dirugikan. Yang mengetahui, harus laporkan ke polisi. Polisi akan koordinasi dengan Dewan Pers dan kita akan laporkan karena ini murni tindak pidana.”

Berita hoax tak hanya diproduksi media abal-abal, terkadang juga dimanfaatkan media arus utama untuk mengejar kunjungan. Contohnya, kasus “Iron Man” dari Bali. Sebagian besar media menceritakan bahwa orang Bali bisa membuat tangan robotik dengan mencangkok ke saraf motoriknya. Namun, tak ada bukti ilmiah yang mendukung asumsi atau pernyataan itu. Sementara wartawan-wartawan dengan cepat menaikkan berita itu tanpa melakukan verifikasi ke sumber relevan.

Dewan Pers sendiri merencanakaan akan bikin “penataan dan verifikasi perusahaan media”. Bentuknya, seluruh media yang tidak terverifikasi akan diblokir, dan bakal dimulai pada 9 Februari 2017 pada saat hari pers nasional.

“Media yang telah memiliki barkode adalah bukti bahwa ia terverifikasi,” kata Stanley.

Redaksi Seword.com melayangkan surat keberatan atas laporan ini. Keberatan dari Seword bisa dibaca DI SINI.

Baca juga artikel terkait BERITA PALSU atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam & Zen RS