Menuju konten utama

Cerita dari Kota Palu, Delapan Hari Pasca Gempa & Tsunami

"Sekarang intinya adalah pengamanan harusnya diperketat, menurut saya logistik sudah banyak dari relawan, ter-supply dari mereka."

Cerita dari Kota Palu, Delapan Hari Pasca Gempa & Tsunami
Personel TNI dan Polri berjaga di depan sebuah pusat perbelaanjan di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/18.

tirto.id - Delapan hari pasca gempa dan tsunami hebat menerjang Palu dan sekitarnya pada Jumat (28/9/2018) pekan lalu, kota ini masih dibalut berbagai masalah penting: kekurangan logistik di beberapa lokasi, reruntuhan yang masih terbengkalai, ketiadaan listrik untuk pencahayaan di rumah warga, hingga bau busuk manusia yang begitu menyengat di sepanjang jalan--tanda mayat belum ditemukan atau dievakuasi.

Pada Sabtu (6/10/2018) malam, Polres Palu melakukan pemantauan kota secara konvoi dengan mobil dan motor. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut berkeliling kota guna merasakan dan melihat sendiri betapa mengerikannya kota Palu ketika semua permasalahan di atas bertemu dengan malam hari.

Perjalanan dimulai melewati Jalan KH. Ahmad Dahlan yang sepanjang jalan hanya terdapat satu kios dagangan yang buka. Kios itu milik Dedi Jauri, 41 tahun, yang berjualan gorengan dan kopi. Meski notabene masih berada di tengah kota, masih ada sedikit rasa takut bagi Dedi mengingat isu penjarahan yang urung rampung.

"Ya, takut sih, tapi mau bagaimana lagi. Sekarang intinya adalah pengamanan harusnya diperketat, menurut saya logistik sudah banyak dari relawan, ter-supply dari mereka. Tetapi dari segi keamanan banyak yang harus ditingkatkan," katanya kepada saya, Sabtu malam.

Perjalanan kemudian dilanjutkan melewati Jalan Dr. Wahidin, Jalan Pattimura, hingga Jalan Kimaja yang tak ada banyak aktifitas di malam hari. Lampu-lampu rumah mati, jalanan begitu lenggang. Saya melewati jalan-jalan itu sekitar pukul 21.00 WIB.

Suasana makin terasa berbeda ketika berada Jalan KH. Wahid Hasyim dan Jalan Cokroaminoto. Sepanjang dua jalan ini dilewati masih banyak rumah yang telah menjadi puing reruntuhan, bekas bakaran di pinggir jalan, jalanan yang gelap, dan hanya dua-tiga rumah terlihat terang.

Kota Palu bagaikan kota mati yang ditinggal penduduknya.

Semua Karena Urusan Isi Perut

Selain kios gorengan dan kopi Dedi di Jalan KH. Ahmad Dahlan, jika melewati Jalan Djaelangkara ada satu warung sembako yang sudah mencoba kembali berjalan dan itu satu-satunya warung.

Menyusuri Jalan Kemiri, di beberapa daerah bau busuk mulai menyengat kembali. Keadaan gelap gulita. Namun di pertengahan jalan, tepat di sebelah kiri, ada dua kios jual buah-buahan yang buka, seolah-olah kios tersebutlah yang menjadi sumber pencahayaan di jalan itu. Mengingat rumah dan kios lainnya mati seperti tak berpenghuni.

Ada Hajah Noni (54 tahun) dan Zaitun (57 tahun) adalah pemilik dua kios buah-buahan itu. Mereka mengaku membuka kios sejak hari pertama setelah gempa karena keterdesakkan kebutuhan ekonomi.

"Ya, soalnya saya cuma punya ini. Ini hiburannya dan kebutuhannya. Kalau enggak, saya enggak punya duit, enggak punya apa-apa lagi, harta saya banyak yang hilang," kata Zaitun.

Di Jalan WR. Supratman dan Jalan Yos Sudarso, di masing-masing jalan, terdapat kios Alfamidi yang bekas dijarah warga Palu beberapa hari setelah gempa kemarin. Gelap, pintu dan jendelanya pecah, dan seluruh isinya berantakan.

Sepanjang dua jalan itu bau busuk yang menyengat hidung tak terhindarkan. Jika biasanya di daerah lain kita mencium bau busuk bekas makhluk hidup seperti binatang, namun di kota Palu bau itu berasal dari manusia-manusia yang belum terevakuasi. Perasaan menyeramkan bertambah dua kali lipat.

"Ya, itu tandanya masih ada mayat manusia-manusia yang belum terevakuasi," kata salah seorang wartawan Indosiar, yang sudah enam hari di Palu.

Pantai Talise menjadi tujuan terakhir perjalanan malam itu. Sepanjang jalan puing-puing reruntuhan gedung masih berserakan, puluhan mobil ditinggal begitu saja dengan keadaan rusak dan hancur, dan, lagi-lagi, bau busuk yang lebih menyengat dan menempel di hidung. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya warga setempat yang masih bertahan untuk bernapas saja aromanya tidak sedap.

"Lapar, pak, lapar."

"Butuh logistik!"

Teriakan dan ujaran beberapa warga di pinggir jalan membuat keadaan semakin menyeramkan. Malam itu adalah akhir dari hari ke delapan pasca gempa, dan keadaan masih jauh api dari panggang untuk kembali normal.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Yulaika Ramadhani