Menuju konten utama

Cerah Terang Industri Bank Digital di Indonesia

Salah satu yang akan membuat layanan bank digital makin moncer adalah kemudahan yang ditawarkan.

Cerah Terang Industri Bank Digital di Indonesia
Ilustrasi nasabah bank digital. foto/Istockphoto

tirto.id - Dalam sebuah obrolan warung kopi beberapa tahun silam, seorang kawan, penulis sekaligus analis banyak hal, berujar santai sembari menyesap kopi hitamnya.

“Mungkin dalam sepuluh tahun, enggak ding, lima tahunlah, bank konvensional akan mulai ditinggalkan,” katanya.

Kami, kawan-kawan yang sering membaca tulisannya dan menyimak betul berbagai analisis politiknya, setengah tidak percaya. Bagaimana mungkin industri perbankan konvensional, yang puluhan ribu ATM-nya ada di mana-mana, yang ribuan kantornya berdiri megah, akan ditinggalkan orang Indonesia.

Dia lalu menyebut dua kalimat yang saat itu tak banyak kami dengar: digital banking dan cashless society.

Analisis kawan ini menemui pembenarannya sekarang. Berbagai dompet digital muncul, mempermudah aneka ria transaksi keuangan. Membeli es kopi, tinggal pindai barcode. Belanja di marketplace, tinggal bayar pakai dompet digital. Transfer? Bisa gratis dan pakai username dengan fitur $Cashtag.

Kawan saya jelas bukan satu-satunya orang yang menduga datangnya era digital banking dan cashless society itu. Sudah ada banyak analisis betapa industri perbankan konvensional mulai goyah, dan pelan-pelan mengubah cara bisnisnya sekaligus menanamkan investasi ke produk digital mereka.

Dalam laporan “Digital Banking in Indonesia: Building Loyalty and Generating Growth” yang diterbitkan McKinsey&Company pada Februari 2019 lalu, disebutkan bahwa, “teknologi digital akan terus mengubah lanskap perbankan di Indonesia.”

Menurut survei McKinsey, firma konsultan manajemen dan keuangan yang didirikan di Amerika Serikat pada 1926, perbankan digital bertumbuh makin kencang di Indonesia karena berbagai faktor, salah satunya penetrasi digital yang tajam. Faktor lain yang juga mempercepat pertumbuhan perbankan digital di Indonesia, antara lain, makin masifnya internet dan ponsel pintar, juga pertumbuhan di e-commerce. Faktor-faktor ini yang lantas melahirkan kebutuhan akan perbankan digital.

McKinsey mencatat ada tiga tren yang akan terus mempermak sektor perbankan di Indonesia. Pertama: makin beragamnya hubungan nasabah dan bank. Produk dari bank ada berbagai macam, dan jika hal ini terus menerus ditingkatkan, maka akan lahir loyalitas konsumen. Sebaliknya, jika tidak mengambil aksi langsung, maka loyalitas akan menurun.

Tren kedua adalah keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap perbankan digital. Survei McKinsey mencatat, 55 persen konsumen bank non digital kepikiran menggunakan produk digital bank dalam waktu enam bulan, dan sekitar 50 persen dari semua responden mau mempertimbangkan pindah ke bank yang bahkan tidak punya kantor fisik. Namun tren kedua ini masih punya catatan: ATM dan kantor cabang masih akan tetap relevan di Indonesia.

Tren ketiga: nasabah digital lebih “berharga”. Dalam catatan McKinsey, nasabah digital ini dua kali lebih loyal ketimbang nasabah non digital, dan membeli produk bank dua kali lebih banyak ketimbang nasabah non digital. Jumlahnya pun terus bertambah, 2,5 kali lebih banyak ketimbang 2014 silam dan sekarang mencapai 32 persen dari total nasabah.

Dari semua tren dan masa depan cerah bank digital di Indonesia, ada beberapa catatan dari McKinsey. Salah satu yang terpenting: bagaimana bank seharusnya memperlakukan nasabah digital mereka.

“Nasabah digital ini membawa value bagi bank, tapi mereka juga terbiasa dengan tingkat respons yang tinggi, kustomisasi, dan layanan dari bank mereka. Untuk menarik dan memuaskan nasabah digital ini, bank harus mengadopsi pola pikir nasabah-sentris dan mendesain ulang pengalaman para nasabah,” tulis laporan ini.

Infografik Advertoriral Jenius yang memang jenius

Infografik Advertoriral Jenius yang memang jenius. tirto.id/Mojo

Layanan dan Manfaat: Dua Hal Terpenting

Frasa “ditinggalkan”, ujar kawan saya dulu, tentu tidak dalam arti harfiah. Yang menurutnya akan amat berubah adalah bagaimana manusia melakukan transaksi keuangan. Dia menjabarkan suatu saat nanti, kita hanya perlu menyodorkan ponsel pintar saat membayar sesuatu.

Saat itu berbagai merek dompet digital belum ada, tentu kami kesusahan membayangkan hal itu. Tentu kami sudah kenal aplikasi mobile banking, tapi membayar via ponsel pintar? Tentu jauh dari bayangan kami, bocah-bocah yang dibesarkan dengan sistem tunai.

Salah satu yang akan membuat layanan bank digital ini makin moncer adalah kemudahan yang ditawarkan. Mulai dari transfer, pembayaran, semuanya jadi lebih mudah dengan layanan perbankan digital. Ini tentu agak berbeda dengan beberapa tahun silam, ketika layanan perbankan digital belum semaju dan sepraktis sekarang.

Saya mengalami sendiri ketika pada 2011 silam ingin membeli beberapa buku dari Amazon. Karena tak punya kartu kredit, saya harus setengah memohon kepada seorang teman agar bisa meminjam kartu kreditnya. Setelah buku dibeli, baru saya harus mentransfer sejumlah uang (dengan kurs yang lebih tinggi) ke rekeningnya. Merepotkan betul.

Kini? Bahkan ada beberapa produk perbankan digital bisa berfungsi sebagai kartu kredit. Kita bisa memakainya untuk belanja, memesan penginapan atau tiket pesawat, bahkan kartu fisiknya bisa dijadikan kartu transportasi, tinggal tap saja dan biayanya langsung dipotong dari saldo kartu.

Kemudahan macam itu yang membuat banyak anak muda memilih jadi nasabah bank digital. Karena demand yang makin tinggi, bank pun terus menerus mengembangkan produk digital mereka, dan berusaha, mengutip laporan McKinsey, “menjadikan transaksi perbankan sebagai bagian keseharian dalam hidup.”

Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) adalah salah satu yang paling berhasil dalam hal ini. Mungkin nama bank ini tidak akrab di kalangan banyak orang, apalagi anak muda. Namun coba singgung perkara produk digital mereka, Jenius. Sudah pasti banyak yang mengangguk pahMulaiam.

Tak tanggung-tanggung, BTPN rela mengucurkan dana lebih dari Rp500 miliar untuk mengembangkan Jenius. Setelah mengembangkan aplikasi ini selama kurang lebih 18 bulan, Jenius resmi diluncurkan pada Agustus 2016 silam. Sejak diluncurkan, diakui atau tidak, Jenius mengubah banyak kebiasaan transaksi perbankan, sekaligus, mempermudah pengguna dan karenanya akan mengubah banyak kebiasaan di bank konvensional yang menyusahkan.

Nasabah mereka bisa menarik uang dari ATM di banyak negara, dengan kurs yang disebut-sebut terbaik ketimbang menukarkan uang di money changer. Ini jelas mengubah kebiasaan para wisatawan muda. Mereka tak perlu lagi repot menukar uang, cukup menarik di ATM negara yang dikunjungi.

Jenius yang terafiliasi dengan jaringan Visa bisa berlaku sebagai kartu debit virtual untuk memesan hotel, tiket pesawat, ataupun membeli barang di supermarket. Kartu Debit Jenius juga bisa dipakai untuk pembayaran MRT dan jaringan transportasi lain di luar negeri.

Di Indonesia, Jenius adalah salah satu contoh terbaik bagaimana sebuah bank konvensional mengembangkan produk digital mereka, sekaligus melahirkan brand baru yang punya pengguna loyal tersendiri. Mereka berhasil memberikan layanan dan manfaat, dua hal penting bagi nasabah digital. Maka tak heran kalau pada 2019 ini pengguna Jenius terus bertambah,sudah mencapai 1,6 juta nasabah, meningkat 130 persen dari tahun 2018. Dan, seiring jumlah nasabah digital yang terus tumbuh, diperkirakan nasabah Jenius akan ikut naik pesat.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis