Menuju konten utama

Celah Hukum Bagi Korban First Travel Dapatkan Kembali Uangnya

Kuasa hukum jemaah korban First Travel, Mustolih Siradj berpendapat, jemaah masih bisa memperoleh aset dalam perkara First Travel.

Korban First Travel mendatangi lanjutan persidangan perdata di PN Depok, Selasa (23/4/2019). tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id -

Putusan pidana terhadap para bos First Travel, yakni Andika Surrachman, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraida Hasibuan menyatakan aset First Travel dieksekusi kejaksaan. Namun, kejaksaan belum mengeksekusi aset karena putusan menyatakan aset dirampas negara.
Kuasa hukum jemaah korban First Travel, Mustolih Siradj berpendapat, jemaah masih bisa memperoleh aset dalam perkara First Travel.
"Masih ada celah hukum, maka demi kepentingan ribuan jemaah sudah sepatutnya Kejaksaan Negeri Depok tidak perlu buru-buru melelang aset. Terlebih Jaksa Agung menganggap putusan kasasi soal First Travel problematis sehingga berharap aset dikembalikan jemaah," kata Mustolih kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2019).
Mustolih menerangkan, putusan kasasi bisa diubah dengan sejumlah cara. Pertama, bos First Travel mengajukan peninjauan kembali atas putusan jaksa penuntut umum. Meski kepentingan peninjauan kembali berpotensi berbeda, akan tetapi hal itu bisa mengubah bunyi putusan terhadap aset yang menyatakan aset dirampas negara.
Kedua, jemaah bisa melanjutkan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga melalui mekanisme gugatan pembatalan homologasi (perdamain) oleh jemaah sebagai kreditur konkuren.

Jika gugatan dikabulkan, First Travel masuk fase status pailit dan asetnya akan diurus oleh kurator untuk dikumpulkan, diverifikasi, dan nantinya dijual untuk diberikan kepada para kreditur termasuk jemaah. "Kurator dapat berkoordinasi dengan pihak kejaksaan meminta aset-aset First Travel," Kata Mustolih.

Jalan kedua pernah diajukan jemaah lewat gugatan PKPU. Pihak First Travel, dalam persidangan, mengajukan proposal perdamaian dengan skema pengembalian uang dan pemberangkatan dalam jangka waktu tertentu. Namun, hal itu sulit dilakukan jika aset First Travel disita.
"Homologasi ketika itu dilakukan karena kreditur menganggap First Travel masih punya harapan melanjutkan usaha (going concern) dengan adanya investor baru, namun jika aset disita sebagaimana putusan kasasi kelangsungan usaha akan sulit terjadi," kata Mustolih.
Solusi yang ditawarkan Mustolih disambut kuasa hukum Andika Surrachman, Boris Tampubolon. Boris mengatakan, Andika akan mengajukan peninjauan kembali putusan kasasi tentang First Travel.
"Klien kami (Andika Surachman CS) dalam waktu dekat akan mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan Mahkamah Agung RI menjatuhkan Putusan Kasasi dengan Nomor: 3096 K/Pid.Sus/2018 dan Nomor: 3097 K/Pid.Sus/2018," kata Boris dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Selasa (19/11/2019).

Hal ini sejalan dengan harapan dari Jaksa Agung terkait upaya hukum yang dapat dilakukan untuk dapat mengembalikan aset kepada para jamaah.

Boris mengatakan, tim kuasa hukum telah menemukan bukti baru (novum) dalam perkara First Travel. Ia tidak merinci materinya, tetapi memastikan PK akan dimasukkan paling cepat dua pekan.
"Secara detail akan kami sampaikan kemudian saat pengajuan peninjauan kembali yang akan kami sampaikan dalam 2 (dua) minggu ke depan," Kata Boris.
Boris menegaskan, tim kuasa hukum sepakat dengan pandangan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyatakan putusan First Teavel bermasalah. Ia beralasan, aset barang bukti pada kasus ini dikembalikan kepada korban (jamaah) desuai dengan Pasal 67 UU TPPU jo Pasal 46 KUHAP. Oleh sebab itu, mereka mendukung semangat jaksa agung menunda eksekusi aset.
"Mendukung sikap Kejaksaan Agung yang akan menunda proses eksekusi aset First Travel. Terkait hal ini secara formal, penasihat hukum akan mengirimkan surat permohonan penundaan eksekusi kepada Kepala Kejaksaan Negeri Depok," kata Boris.

Baca juga artikel terkait KASUS FIRST TRAVEL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Irwan Syambudi