Menuju konten utama

Cegah PHK, Pengusaha Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan UMP 2023

Hariyadi meminta agar formula penetapan UMP 2023 kembali menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Cegah PHK, Pengusaha Minta Pemerintah Batalkan Kenaikan UMP 2023
Ilustrasi Uang Rupiah Kertas. foto/istockphoto

tirto.id - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk membatalkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Hal itu bertujuan untuk meminimalisir terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di tahun depan.

Ketua Umum Apindo, Hariyadi mengatakan, dasar penetapan UMP pada Permenaker Nomor 18/2022 tidak memberikan kepastian hukum jelas. Karenanya dia berharap, agar formula penetapan UMP 2023 kembali menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

"Nah yang paling penting adalah untuk mengurangi risiko PHK adalah membatalkan Permenaker Nomor 18/2022 ini sudah pasti," kata Hariyadi dalam seminar Indef, Senin (5/12/2022).

Hariyadi menjelaskan bahwa dunia usaha dihadapkan berbagai tantangan ekonomi, yakni inflasi global yang melonjak tinggi, pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga, potensi krisis utang global, dan potensi stagflasi.

Dunia usaha juga dihadapkan tantangan perlambatan ekonomi Cina dan lockdown berkepanjangan di negara tersebut. Di mana pertumbuhan PDB China pada kuartal II-2022 melambat menjadi 0,4 persen year-on-year. Itu adalah pertumbuhan terendah sejak kontraksi ekonomi Cina pada kuartal I-2020 di masa pandemi COVID-19 gelombang pertama.

Melambatnya permintaan eksternal Cina juga menjadi tantangan dunia usaha di Indonesia. Memasuki 2023, permintaan eksternal Cina yang melambat terhadap barang dan jasa global akan menjadi kendala utama bagi perekonomian Negeri Tirai Bambu, terutama jika masalah domestik masih belum terselesaikan, yakni COVID-19, properti, harga pangan dan energi yang lebih tinggi.

Kondisi tersebut, menurutnya berpengaruh terhadap ekspor Indonesia ke Cina, terutama untuk produk-produk komoditas. Potensi penurunan ekspor Indonesia ke Cina menimbulkan potensi penurunan surplus perdagangan Indonesia, dan berimbas terhadap besaran pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal IV-2022 maupun di 2023.

Lebih lanjut, Hariyadi mengatakan bahwa selama pandemi COVID-19 pada 2020-2021, pengusaha sudah melakukan efisiensi secara besar-besaran. Alhasil dunia usaha bingung harus melakukan apalagi.

"Apa efisiensi dan strategi untuk mengatasi masalah ini, apakah PHK satu-satunya solusi? Terus terang kalau ditanyain ke kita, kita juga udah bingung menjawabnya karena selama pandemi 2020 - 2021 itu tuh perusahaan sudah sangat luar biasa melakukan efisiensi," jelasnya.

Oleh karena itu, dia menyampaikan sejumlah upaya yang dapat diambil pemerintah untuk memitigasi risiko PHK. Menurutnya, dibutuhkan fleksibilitas dari aturan yang ada, termasuk mengurangi jam kerja demi mencegah PHK.

"Lalu juga semua regulasi terkait BPJS-nya (Ketenagakerjaan) dilonggarkan dulu sampai situasinya menjadi lebih baik untuk sektor-sektor yang tadi saya sebutkan," sebut Hariyadi.

Pihaknya mendorong adanya percepatan finalisasi perjanjian perdagangan, seperti dengan Eropa. Sebab, pihaknya melihat saat ini punya potensi yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk meningkatkan perdagangan ke Eropa.

Kata Hariyadi, konsumen di Eropa sudah tidak ingin menggunakan produk yang dihasilkan oleh negara-negara yang dianggap melanggar HAM, seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Bangladesh yang dianggap kurang patuh terhadap masalah HAM.

"Nah, Indonesia dianggapnya termasuk yang baik. Jadi mereka itu mau kita tapi kita sayangnya perjanjian perdagangan dengan mereka belum tuntas, jadi kita bea masuknya ke Eropa masih tinggi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN UMP 2023 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang