Menuju konten utama

Cegah Penculikan, Ini Bekal Anak Menjaga Diri Berdasarkan Usia

Larangan untuk tidak berbicara dengan orang asing bukan tidak mumpuni, namun terkesan usang dalam upaya pencegahan penculikan anak.

Ilustrasi penculikan anak. Getty Images/iSrockphoto

tirto.id - Kasus penculikan Malika (6 tahun), dan juga kisah penjualan organ anak di Makassar yang dilakukan dua anak di bawah umur, membuktikan begitu rentannya anak-anak mengalami penculikan. Pelaku penculikan yang tidak hanya dilakukan oleh orang asing, bahkan dapat juga dilakukan oleh teman bermain, membuat pencegahan penculikan terhadap anak perlu ditelaah ulang.

Petuah orang tua pada anak untuk tidak sembarangan berbicara dengan orang asing bukan tidak mumpuni, namun bisa dibilang cukup usang.

Karena salah satu tantangan orang tua untuk mengantisipasi maraknya penculikan anak adalah dengan mengajarkan anak-anak untuk waspada, namun tanpa mengakibatkan kecemasan. Alih-alih menakut-nakuti, orang tua semestinya berusaha memberikan pemahaman kepada anak mengenai beberapa aturan dan jelaskan alasannya.

Aturan ‘don’t talk to strangers’ jika diterapkan mentah-mentah dianggap bisa menumpulkan kemampuan anak menyampaikan masalah dan mencari solusi.

Psikolog anak dan keluarga yang merupakan pendiri biro konsultasi psikologi Essa Consulting, Dr. Rose Mini Agoes Salim, M.Psi. Psi., mengungkap bahwa anak-anak memang memiliki kerentanan untuk menjadi korban penculikan.

“Anak-anak tidak mempunyai pengalaman hidup, belum bisa membedakan mana orang yang baik dan tidak baik. Mereka banyak nggak tahunya, gampang dibodohi (diperdaya), bisa dengan mudah dialihkan perhatiannya, sehingga mereka kerap tidak tahu bahayanya," ungkapnya.

"Misalnya, ketika melihat api, bukannya menjauh, anak malah mendekat. Jadi itu sama saja dengan ketika anak tidak tahu atau tidak bisa membedakan mana orang baik atau jahat, atau alasan kenapa dia tidak boleh dengan orang ini,” papar psikolog yang akrab disapa Bunda Romy itu.

Sementara, lanjut Bunda Romy, orang yang membahayakan dirinya itu, oleh anak bisa dikonotasikan sebagai orang baik, karena memberinya minuman, makanan, uang, dan sebagainya.

“Apalagi, biasanya, yang diberikan orang-orang ini adalah sesuatu yang tidak ia dapatkan dari orang tuanya. Itulah yang menyebabkan anak menjadi lebih rentan dan lebih mudah (diperdaya),” kata Bunda Romy.

Kemampuan anak yang belum cukup baik dalam membuat penilaian atau membedakan sisi baik dan buruk tersebut tentu dipengaruhi juga oleh perkembangan kognitifnya yang masih terbatas.

Anak juga memerlukan perlindungan orang-orang dewasa di sekitarnya. Benteng perlindungan bagi anak memang menjadi berlapis-lapis, dari lingkungan terkecil hingga terbesar, yakni mulai dari orang tuanya sebagai garda terdepan, lalu keluarga, tetangga, hingga negara.

“Untuk perlindungan anak dari bahaya penculikan, semua itu harus dibereskan,” kata Bunda Romy.

Infografik AJari Anak menjaga diri

Infografik AJari Anak menjaga diri. tirto.id/Quita

Menjaga Anak Berdasarkan Usia

Mengutip dari laman www.kemenpppa.go.id, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengharapkan para orang tua dapat melakukan pengawasan terhadap anak-anak terutama di area publik untuk mencegah terjadinya penculikan.

Ia juga mendorong orang tua untuk dapat mengajarkan anak agar tidak mudah terbujuk dengan iming-iming pemberian orang lain, serta mampu menolak ajakan orang yang tidak dikenal.

Namun, sejak usia berapakah hal ini bisa dilakukan terhadap anak?

“Memang sulit mengajarkan sesuatu kepada bayi di bawah usia 1 tahun, untuk mengatakan kepadanya, ‘Kalau sama orang ini jangan mau, ya, Nak,’ karena perkembangan kognitifnya masih terbatas. Tapi nanti saat anak sudah agak besar sedikit, usia 2 atau 2 setengah tahun, bisa mulai diajarkan,” kata Bunda Romy.

Artinya, orang tua perlu menyadari bahwa seiring pertumbuhannya, kognitif anak terus berkembang. Secara bertahap sesuai usia dan kemampuannya, anak-anak perlu dibekali keterampilan agar ia berdaya sehingga terhindar dari penculikan yang mengintainya.

Sejak dini, ajarkan kepada anak-anak untuk memiliki kebiasaan minta izin kepada orang tua tiap mau melakukan sesuatu, tidak hanya kalau akan diajak pergi oleh orang lain. Misalnya, mau minum atau makan apa pun, dia harus bertanya kepada orang tuanya, boleh atau tidak, karena anak tidak tahu bahaya atau tidak makanan atau minuman yang diinginkannya itu.

Jangan berasumsi rumah adalah area yang pasti aman untuk anak-anak kita. ”Karena, saat di rumah pun kita kadang-kadang nggak tahu anak ada di mana. Tiba-tiba dia jatuh atau apa, kita nggak tahu,” kata Bunda Romy.

“Kalau orang tua atau penjaga anak tidak di luar, anak jangan dibiarkan di luar, apalagi anak yang masih berusia 2 tahun, karena belum bisa menentukan apakah dia wajib lari, diam, atau harus ngapain saat ada ancaman,” kata Bunda Romy.

Meminta izin ini bukan semata-mata mengawasi anak atau membatasinya bermain, tetapi membantu anak memahami dan belajar memilah mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Dengan terbiasa meminta izin ini, ketika didekati orang dan akan diajak pergi, saat di area rumah, sekolah, atau di tempat umum, dia sudah tahu kondisinya bahwa dia tidak boleh serta-merta mengikutinya, tapi ingat bahwa ia harus bicara dan minta izin dulu kepada orang tuanya.

Anak yang makin besar dan bersekolah, juga perlu meminta izin harus tetap dilakukan kepada guru sebagai orang tua anak di sekolah. Sehingga, ketika ada orang mengajaknya pergi, kendati mengaku sebagai utusan orang tua, anak melaporkan hal ini kepada guru terlebih dulu.

Ilustrasi Penculikan Anak

Ilustrasi penculikan anak. Getty Images/iStockphoto

Mengenalkan nama anak kerap dilakukan orang tua sejak ia bayi. Yang tidak boleh dilupakan, ketika anak sudah semakin besar dan mulai bisa bicara, kira-kira usia 2 tahun, ajari anak untuk mengingat nama ibu dan ayahnya.

Semakin besar, sekira usia 3 tahun, mulai ajarkan anak untuk mengingat alamat rumah dan nomor telepon orang tua. Jika alamat terlalu panjang, orang tua bisa menyederhanakannya sehingga lebih mudah diingat oleh anak.

Bunda Romy mengatakan bahwa anak-anak yang cenderung mudah dibujuk untuk ikut (diculik) atau diperdaya adalah anak-anak yang gampang didekati, mudah berhubungan dengan orang lain, dan tidak takut ketemu orang lain. Sebaliknya, anak yang tidak mau disentuh atau dipeluk orang lain, akan lebih sulit didekati.

Di satu sisi, orang tua tentu ingin anak mempunyai keterampilan sosial yang baik, tapi di sisi lain ada bahaya yang mengintai. Untuk itu, anak-anak perlu dibekali dengan kemampuan berbicara secara asertif, yang bisa diajarkan kepada anak-anak usia sekolah dasar, bahkan mungkin lebih muda.

Dalam kasus penculikan, anak-anak yang sudah lebih besar biasanya tidak langsung dibawa kabur. Penculik melakukan pendekatan-pendekatan kepada anak terlebih dahulu, diajak main, ngobrol dan biasanya ia sudah mengamati kebiasaan dan kesukaan anak, sehingga anak pun merasa sudah mengenalnya.

Keterampilan berbicara asertif akan bermanfaat untuk menjaga dirinya. Dia akan bisa bertanya dan berargumen saat dibujuk untuk ikut atau diiming-imingi sesuatu.

Asah Kemampuan Berpikir Kritis dan Analitis

Selain berbicara asertif, Bunda Romy menyebut anak perlu memiliki kemampuan berpikir kritis dan analitis. Bagaimana mengasahnya?

“Dalam segala hal, anak diajak berdiskusi, jangan dipaksa menelan semua yang diucapkan orang tua. Anak harus diberi kesempatan (berpendapat). Jangan selalu kita yang dominan dan mengarahkan anak terus. Terapkan gaya pengasuhan yang demokratis, dan ajarkan anak berpikir kritis,” saran Bunda Romy.

Mengasah kemampuan berpikir kritis dan analitis itu dapat dilakukan dengan cara menyenangkan. Bisa lewat dongeng atau permainan. Pancing anak untuk mengungkapkan pendapatnya, dengarkan, dan hargai. Dari sini orang tua bisa memasukkan pesan-pesan.

Bahkan, ketika membuat larangan, beri penjelasannya. “Minta dia berpikir dan menganalisis lewat pertanyaan-pertanyaan yang menggugah dia untuk berpikir terus,” kata Bunda Romy.

Anak yang mandiri akan percaya bisa melakukan banyak hal tanpa bantuan orang lain, termasuk orang-orang terdekat atau sudah dikenalnya. Sebagaimana beberapa kasus penculikan, pelakunya adalah orang dewasa yang dikenal anak.

Karena itu, Bunda Romy menegaskan bahwa anak harus mandiri, tidak boleh tidak mandiri dan selalu tergantung pada orang lain. Ajarkan balita membersihkan dirinya sendiri setelah buang air kecil dan besar, misalnya.

“Anak harus mandiri, sehingga tidak selalu minta tolong orang. Karena, kalau apa-apa tergantung orang lain, dia akan mudah diperdaya,” ungkap Bunda Romy.

Penggunaan internet pada anak walau menguntungkan untuk beberapa aktivitas, tetap harus terus diawasi. Ketahui apa saja aktivitas internet si kecil dan siapa saja temannya di chat room, ingatkan mereka untuk tidak memberikan informasi pribadi.

Orang tua pun harus berhati-hati, tidak sembarangan mengunggah atau oversharing informasi keluarga dan foto anak di media sosial.

Bagi anak praremaja dan remaja, media sosial menjadi titik kerentanan mereka. Penculikan bisa berawal dari sini, dan sebagian keinginan untuk ‘pergi’ itu juga bisa dari diri anak.

“Anak lebih besar, pergaulan lebih besar, kemungkinan ia merasa orang tua tidak menyukainya, dan aturan di rumah yang lebih ketat dibandingkan temannya. Dia pergi karena memang ingin pergi. Dari pergaulan tertentu, penculik biasanya sudah memahami anak ini bisa dibawa kabur. Dan kejadiannya banyak dari media sosial atau main games,” papar Bunda Romy.

Musibah memang tidak bisa kita kontrol, namun pencegahan dapat dilakukan dan sepenuhnya tanggung jawab orang tua. Sebagai orang dewasa yang lebih memiliki pengalaman, memberikan edukasi sedikit demi sedikit tentang kesadaran isu ini perlu dilakukan. Tentunya, tanpa perlu embel-embel ketakutan berlebihan yang dapat membebani anak dan juga Anda sendiri.

Baca juga artikel terkait TIPS PARENTING atau tulisan lainnya dari Gracia Danarti

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Gracia Danarti
Penulis: Gracia Danarti
Editor: Lilin Rosa Santi