Menuju konten utama
01 Oktober 1982

CD Lahir, Dirayakan, dan Perlahan Ditinggalkan

Sinar tenggelam.
Gilasan zaman dalam
putaran cakram.

CD Lahir, Dirayakan, dan Perlahan Ditinggalkan
Ilustrasi Mozaik Sony Compact Disc. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 1974, Kees Schouhamer Immink, teknisi Optic Group of Philips Research, divisi riset milik Philips, mengepalai tim yang bertugas menciptakan Laservision, cakram berdiameter 30 sentimeter yang sanggup memuat file video digital. Melihat perkembangan yang tidak sesuai dengan harapan, Immink berpaling. Timnya lantas meneliti kemungkinan penciptaan cakram yang lebih kecil, yang hanya sanggup menampung file audio digital.

“Ada 101 masalah yang sukar dipecahkan,” tutur Immink tentang mengapa timnya berpaling, sebagaimana dikisahkan Dorian Lynskey dari The Guardian.

Berjarak 9.000 kilometer dari Belanda, Sony, perusahaan legendaris Jepang, turut mengembangkan cakram audio serupa. Sebelum dekade 1980, Sony dan Philips lantas bekerjasama. “Biasanya, Sony adalah musuh kami, tapi untuk kasus ini kami benar-benar menjadi teman baik,” tutur Immink.

Pada 1980, selepas berbulan-bulan bekerjasama, dua perusahaan tersebut merilis “Red Book”, suatu set standarisasi teknologi cakram audio. Secara sederhana, pada tahun itu, CD alias compact disc lahir. Ia merupakan cakram plastik yang memuat data digital. Secara fisik, CD memiliki diameter 120 mm (4,75 inci) dengan ketebalan berada di angka 1,2 mm (0,05 inci). CD dibuat dengan menggunakan plastik polikarbonat yang dilapisi lapisan metal reflektif dan akrilik. Pada versi awal, CD memuat data audio dengan resolusi sebesar 16 bit/44.1kHz. Dengan resolusi itu, CD sanggup menampung file audio berdurasi 2,5 jam. Data digital yang tersimpan diekstraksi menggunakan sinar laser yang terdapat dalam pemutar CD.

Di lain pihak, Sony merilis CDP-101, pemutar/pembaca CD komersial pertama di dunia pada 1 Oktober 1982, tepat hari ini 36 tahun lampau. Sony CDP-101 dijual sekitar sekitar 730 dolar. Kala pemutar tersebut muncul, baru ada 113 album berformat CD yang beredar di pasaran. Per album, sebagaimana dikutip dari Wired, dijual seharga 33 dolar hingga 45 dolar dengan kurs saat ini.

Untuk mempopulerkan CD sebagai medium penyimpan file audio, khususnya musik digital, Sony beserta Philips mendirikan perusahaan label bernama CBS dan Polygram. Di bulan kelahiran CDP-101, CBS merilis album ulang Billy Joel bertajuk 52nd Street. Beberapa album musik dirilis menyusul setelahnya.

Meski secara kuantitas belum banyak album dalam format CD, ternyata format ini perlahan merebut hati pendengar musik. Hanya dalam tempo setahun sejak dirilis, 5,5 juta keping CD dan 350 ribu pemutar CD terjual di seluruh dunia. Ini adalah awal dari kesuksesan CD. Sebenarnya, kesuksesan CD tidak pernah diperhitungkan. Label musik menganggap format baru ini akan menemui jalan buntu.

Jerry Moss, pemimpin A&M Records, menyatakan bahwa medium baru tersebut “memusingkan dan membingungkan pelanggan.” Investasi yang besar untuk mengganti format lama ke CD jadi salah satu alasan mengapa Moss memprediksi CD tak berumur lama. Tentu saja akhirnya Moss terbukti salah.

Dari data Statista, puncak kesuksesan CD, khususnya sebagai pilihan format album musik, terjadi pada tahun 2000. Kala itu, 943 juta keping album musik berformat CD terjual di pasar Amerika Serikat. Namun setelah itu, penjualan album musik berformat CD terus-terusan melorot. Pada 2016, hanya 99 juta kopi album musik berformat CD terjual di Amerika Serikat.

infografik mozaik compact disc

Diberangus Napster, lalu Streaming

Delapan tahun setelah CD lahir, Sony dan Philips lantas meluncurkan CD-R. Tambahan huruf “R” berarti recordable. Dengan kata lain, jika seseorang mempunyai Personal Computer yang sudah dilengkapi CD-ROM dan aplikasi "pembakar" CD, dia bisa dengan mudah menduplikasi sebuah album musik. Ryan Waniata, dalam tulisannya di Digital Trends, menyebut bahwa penciptaan album musik berformat CD “jadi sesuatu yang mainstream di tengah masyarakat.” Perlahan, CD-R membunuh kakak kandungnya sendiri, CD.

Kelahiran CD-R membuat orang mudah membuat dan membagikan file musik digital. Imbasnya, penjualan CD perlahan menurun. Namun bukan hanya itu tantangan utama CD, melainkan juga internet. Pada 1 Juni 1999, Shawn Fanning dan Sean Parker menciptakan Napster, layanan berbagi file berkonsep peer-to-peer. Memanfaatkan Napster, masyarakat bisa membagi dan mengunduh file, terutama musik. Di masa-masa awal kemunculan layanan itu, ada 80 juta pengguna teregistrasi. Mereka saling berbagi file musik digital.

Napster jadi tempat situs berbagi file musik paling populer, dan tentu saja ilegal. Ini membuat industri musik meradang karena penjualan album jadi merosot. Dari data Pew Internet, di awal kemunculan Napster, penjualan musik turun 8,5 persen. Metallica pernah menuntut Napster karena lagu "I Disappear" sudah beredar di sana, bahkan sebelum resmi dirilis. Recording Industry Association of America (RIAA) yang mewakili industri rekaman di AS, turut menuntut dan berujung kekalahan Napster. Atas tindakan ilegal yang dilakukan Napster, layanan tersebut tak berumur lama. Di akhir 2001 Napster diputus harus tutup atas perintah pengadilan.

Matinya Napster tak lantas berakhir bahagia bagi CD. Tantangan CD tak lain tak bukan adalah zaman. Karena usai Napster mati, lahirnya era streaming musik. Muncul aplikasi seperti Spotify, Deezer, hingga Apple Music. Berbeda dengan mengunduh file yang makan banyak ruang penyimpanan digital, streaming tidak begitu. Seorang pengguna bisa mendengarkan puluhan juta lagu tanpa perlu mengunduh. Harganya pun murah meriah. Spotify, misalnya, bisa diakses dengan gratis. Keanggotaan premium cukup membayar sekitar Rp50 ribu per bulan.

Yang menarik, aplikasi seperti Spotify tidak hanya bermodalkan jumlah lagu, melainkan algoritma. Dengan algoritma yang dibuat khusus tiap individu, musik jadi personal. Aplikasi bisa merekomendasikan lagu-lagu yang sesuai dengan selera seorang pengguna. Spotify punya fitur khusus bernama Discover Weekly. Ini membuat para pengguna Spotify seakan-akan direkomendasikan musik-musik baru tanpa batas. Suatu hal yang tak mungkin dilakukan dunia musik di era CD.

Saat ini memang penjualan CD terus menurun dan tampak kesulitan untuk bangkit lagi. Namun seiring euforia album fisik yang kembali muncul beberapa tahun terakhir, CD seperti dapat napas tambahan. Dengan napas baru ini, CD sepertinya belum akan mati dalam waktu dekat.

Baca juga artikel terkait CD atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Ahmad Zaenudin