Menuju konten utama

Catatan Sejarah: Akmil Belanda Pecat Taruna yang Dianggap Komunis

Sejarah mencatat, Raden Soeardjo Tirtosoepono dipecat dari kemiliteran Belanda karena diduga simpatisan komunis dari buku-buku yang dibacanya.

Catatan Sejarah: Akmil Belanda Pecat Taruna yang Dianggap Komunis
Ilustrasi KNIL. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Seorang taruna Akademi Militer (Akmil) bernama Enzo Allie terancam diberhentikan jika dugaan bahwa ia simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terbukti. Sejarah 92 tahun silam mencatat, Koninklijke Militaire Academie (KMA) atau Akademi Militer Kerajaan Belanda pernah memecat kadet yang dianggap komunis.

Koran Het Volk terbitan 23 Juni 1927 memberitakan, taruna pribumi itu bernama Raden Soeardjo Tirtosoepono yang disebut adalah seorang anak bupati di Jawa. Tirtosoepono dituding sebagai simpatisan komunis hanya berdasarkan buku-buku atau artikel-artikel yang dibacanya.

Surat kabar lainnya, Bataviaasch Nieuwsblad (24 Juni 1927), juga mewartakan hal ini. Hanya saja, ditulis Tirtosoepono sebagai putra seorang pegawai pegadaian di Kroya, Jawa Tengah. Ayah Tirtosoepono pernah menerima penghargaan Bintang Perak Kesetiaan atas pengabdiannya selama 40 tahun.

Harry Poeze dan kawan-kawan dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008) mengungkapkan, pemecatan Tirtosoepono adalah suatu bentuk pengawasan ketat dari pimpinan KMA, dan ia menjadi korbannya.

Bukan Tirtosoepono saja yang menjadi korban kebijakan itu. Poeze mencatat ada taruna lain bernama Achmed Salim yang mengalami nasib serupa. Salim dituduh memiliki “kecenderungan revolusioner” sehingga gagal melanjutkan pendidikan ketentaraan Belanda.

Tudingan yang dialamatkan kepada Salim disebabkan karena ia kerap berkumpul dengan para pemuda dari Sumatera yang tergabung dalam perkumpulan Soematera Sepakat. Setelah diberhentikan, tak ada lagi kabar mengenai Achmed Salim.

Aktivis Perhimpunan Indonesia

Tirtosoepono disikat setelah terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di Sumatera dan Jawa pada 1926. Dari bacaan-bacaan yang ditemukan, aparat menyimpulkan bahwa Tirtosoepono punya kecenderungan sebagai simpatisan komunis.

Poeze juga menuliskan, Tirtosoepeno menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI) sejak tiba di Belanda. PI atau yang sebelumnya bernama Indische Vereeniging adalah organisasi pelajar dan mahasiswa dari Hindia (Indonesia) di Belanda.

Mohammad Hatta, Soetan Sjahir, Soetomo Soekiman Wirjosandjojo, Soenario Sastrowardojo, dan beberapa pelajar atau mahasiswa asal Indonesia lainnya pernah menjadi anggota bahkan pengurus perhimpunan yang dibentuk tahun 1908 ini.

Indische Vereeniging, yang berganti nama menjadi PI pada 1925, juga pernah memperoleh pengaruh kuat dari Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, dan Ernest Douwes Dekker saat Tiga Serangkai Indische Partij (IP) ini diasingkan ke Belanda sejak 1913.

Kepada Tirtosoepeno, salah seorang pengurus PI sempat menyarankan agar ia keluar dari organisasi karena statusnya sebagai taruna KMA demi kebaikan dan masa depannya. Namun, Tirtosoepeno tidak mau hingga akhirnya ia benar-benar ditendang dari kemiliteran Belanda.

Sebelum diputuskan dipecat, tulis Poeze, Tirtosoepeno ditahan selama 24 hari dengan penjagaan ketat. Ia juga dipanggil menghadap Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda. Namun, Tirtosoepeno tetap pada pendiriannya sehingga ia harus melupakan mimpi menjadi tentara.

Senior Jenderal Soedirman

Setelah dipecat dari pendidikan militer, Tirtosoepeno jelas tidak bisa lagi menjadi letnan di Kesatuan Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Ia kemudian bergabung dengan gerakan kepanduan (semacam Pramuka saat ini).

Surat kabar De Indische Courant edisi 20 Desember 1929 memberitakan bahwa Tirtosoepono aktif di gerakan kepanduan bernama Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO). Ia juga pernah menjadi Ketua Pengurus Besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Sebagai pandu senior, Tirtosoepono mendidik cukup banyak anggota yang lebih muda, salah satunya adalah Soedirman yang kelak -setelah Indonesia merdeka- menjabat Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Tirtosoepono juga turut serta dalam arus pergerakan nasional pada perjalanan abad ke-20 itu. Dari koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie terbitan tanggal 13 Juli 1931 diketahui bahwa ia pernah menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Mr. Sartono.

Menurut catatan Poeze dalam bukunya, Raden Soeardjo Tirtosoepono bahkan sempat mengungkapkan rasa simpatinya terhadap perjuangan Indonesia merdeka. Meskipun demikian, nasib Tirtosoepono selanjutnya tidak diketahui lagi, apakah ia sempat menikmati alam kemerdekaan atau sudah tiada.

Baca juga artikel terkait TARUNA AKMIL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Iswara N Raditya