Menuju konten utama

Catatan PSHK soal Kinerja Legislasi 2021 yang Hanya Sahkan 5 RUU

Selain capaian kinerja minim, persoalan lain muncul saat 3 dari 5 RUU yang baru disahkan DPR kembali terdaftar di Prolegnas 2022.

Catatan PSHK soal Kinerja Legislasi 2021 yang Hanya Sahkan 5 RUU
Sidang Paripurna DPR RI 2014-2019, Senin 30/9/2019. tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai capaian kinerja legislasi di tahun 2021 masih jauh dari harapan. DPR bersama pemerintah hanya mengesahkan 5 dari 37 RUU yang ada dalam Prolegnas 2021. Persoalan capaian kinerja legislasi tahun ini mengulang kejadian di tahun-tahun sebelumnya, jumlah RUU yang disahkan sangat minim dibanding target yang dicanangkan.

Pada 2015 DPR hanya mengesahkan 3 dari 40 RUU dalam Prolegnas; 2016 mengesahkan 10 dari 50 RUU; 2017 ada 6 dari 62 RUU; 2018, 5 dari 50 RUU; 2019, 14 dari 55 RUU; dan 2020, 3 dari 37 RUU.

Selain capaian kinerja yang minim, persoalan lain muncul ketika 3 dari 5 RUU yang baru saja disahkan DPR bersama pemerintah kembali terdaftar di Prolegnas 2022 yang disahkan pada 22 Desember 2021. Ketiga RUU tersebut adalah RUU tentang Perubahan UU Jalan, RUU tentang Perubahan UU Kejaksaan RI, dan RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

“Munculnya ketiga RUU tersebut dalam Prolegnas 2022 tersebut menimbulkan kebingungan. Sulit membuat kesan bahwa penyusunan Prolegnas tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang," kata Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi, Selasa (28/12/2021).

Dalam konteks partisipasi publik, keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat menegaskan vitalnya peran partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. MK menghendaki partisipasi publik harus dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta partisipasi dan keterlibatan masyarakat secara sungguh-sungguh.

Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Partisipasi publik, lanjut Fajri, diperuntukan terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian dan mengawal pembahasan sebuah RUU tertentu.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa partisipasi publik yang lebih bermakna setidaknya harus dilakukan paling tidak, dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang, pembahasan bersama antara DPR dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

"Putusan ini menegaskan partisipasi publik yang selama ini kerap tidak menjadi prioritas oleh pembentuk undang-undang justru memiliki peran yang vital. Selama ini DPR bersama pemerintah acapkali memberikan penafsiran yang amat terbatas terhadap partisipasi publik, yakni hanya sebatas: rapat dengar pendapat umum (RDPU); kunjungan kerja; sosialisasi; dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi," jelas Fajri.

Menyikapi putusan MK tersebut, partisipasi publik haruslah mendapat porsi yang layak dalam pembentukan undang-undang. Ruang bagi publik untuk memberikan masukan perlu dilakukan dengan lebih bermakna yang tidak hanya terbatas pada kehendak DPR seperti dalam hal RDPU, ketika diskresi hanya pada DPR dapat memilih dan memilah siapa saja yang boleh memberikan masukan.

Dalam hal ini, ruang-ruang partisipasi masyarakat perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Baca juga artikel terkait LEGISLASI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz