Menuju konten utama

Catatan Kontras untuk Calon Panglima TNI Andika Perkasa

Kontras mencatat sejumlah persoalan selama kepemimpinan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto periode 2017-2021.

Catatan Kontras untuk Calon Panglima TNI Andika Perkasa
Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang juga Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menyampaikan sambutannya sebelum menerima hasil uji klinis tahap tiga obat baru untuk penanganan pasien COVID-19 di Jakarta, Sabtu (15/8/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.

tirto.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat sejumlah persoalan yang mesti dibenahi Panglima TNI baru. Presiden Joko Widodo telah mengusulkan calon tunggal Panglima TNI yakni KASD Jenderal Andika Perkasa ke DPR.

Catatan Kontras terjadi terjadi selama komando kepemimpinan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto periode 2017-2021.

Pertama, Kontras menyoroti soal upaya kembalinya TNI ke ranah sipil. Selama era kepemimpinan Hadi, TNI berusaha kembali ke ranah sipil dengan dalil stabilitas keamanan, operasi militer selain perang dan kedaruratan kesehatan.

Salah satu hal yang mesti dibenahi calon Panglima TNI Andika Perkasa yakni penumpukan jabatan perwira tinggi tanpa pekerjaan. KontraS kharatir Perpres No 37/2019 tentang jabatan fungsional TNI menjadi legitimasi periwira tinggi non-job menempati jabatan fungsional di luar institusi TNI.

"Panglima TNI selanjutnya harus memikirkan secara serius penataan sistem promosi yang berbasi pada kebutuhan dan kompetensi," ujar Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis (4/11/2021).

Kontras meminta calon panglima baru memiliki strategi jangka panjang seperti zero growth dalam perekrutan, pengetatan seleksi sekolah atau pendidikan untuk kelanjutan perwira tinggi di Sesko TNI sehingga lebih proporsional dengan jabatan yang ada, serta merit system dalam promosi karir dan jabatan.

Sebab menurut Kontras, tanpa semua itu TNI akan kesulitan membangun organisasi yang efektif, efisien dan profesional.

Dalam catatan Kontras, terdapat 10 perwira TNI aktif yang mengisi jabatan sipil sejak 2018. Mereka yakni Mayjen TNI Eddy Kristianto dari AD menjabat sebagai Komisaris PT Wijaya Karya; Kolonel (Pas) Roy Rassy Fay M. Bait dari AU menjabat Kepala Bagian Umum dan Hukum Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia ESDM; Jenderal TNI Andika Perkasa dari AD menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pindad; Marsekal Madya Andi Pahril Pawi dari AU menjabat sebagai Komisaris PT Bukit Asam; Laksamana Madya TNI Achmad Djamaluddin dari AL menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pelindo; Marsekal Madya Donny Ermawan Taufanto dari AU menjabat sebagai Komisaris Utama PT Dahana; Brigjen Ario Prawiseso dari AD menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Pengamanan Destinasi Wisata dan Isu-Isu Strategis; Marsekal TNI Fadjar Prasetyo dari AU menjabat sebagai Komisaris Utama PT Dirgantara Ijdonesia; Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin dari AL menjabat sebagai Direktur Jenderal pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan; dan terakhir Letnan Jenderal TNI Herindra dari AD menjabat sebagai Komisaris Utama PT Len Industri.

"Penempatan perwira aktif TNI di berbagai jabatan sipil tersebut menunjukkan kegagalan negara dalam membenahi sektor keamanan karena bertentangan dengan semangat dan prinsip profesionalisme," ujar Fatia.

Kontras juga menyoroti ketelibatan berlebihan TNI dalam penanganan pandemi COVID-19. Semestinya pemerintah melibatkan otoritas kesehatan sebagai langkah-langkah mitigasi pandemi. TNI sebaiknya tetap difokuskan untuk pertahanan negara.

"Keterlibatan militer selama ini juga terbukti tidak berhasil dalam menurunkan angka penyebaran COVID-19 secara signifikan," ujar Fatia.

Begitu juga dengan keterlibatan TNI dalam penangan masa aksi May Day 21-22 Mei 2019 dan aksi mahasiswa 23-24 September 2019. Yang menurut Kontras, di luar tugas TNI.

Keberadan TNI di ranah sipil berpotensi mengancam kebebasan individu dan mengancam kebebasan publik secara luas. Sebab pendekatan yang dilakukan TNI tentu berbeda. Fatia mengatakan Panglima TNI harus bisa membua tbatasan secara tegas dan ketat mengenai keterlibatan TNI pada ranah-ranah sipil.

"Tentu kita tidak mau kembali ke rezim order baru yang berwatak militeristik dan melanggengkan budaya dwifungsi," ujar Fatia.

Begitu juga dengan diaktifkannya komponen cadangan sebagai penerapan UU PSDN. Kontras menilai pembentukan komcad sebagai hal terburu-buru dan tidak ada urgensinya dengan keadaan saat ini. Komcad juga memiliki persoalan dalam konteks hak asasi manusia.

Kontras menyarankan agar TNI fokus terhadap memodernisasi alutsista dan meningkatkan kesejahteraan prajurit guna membentuk tentara yang profesional.

Tidak hanya itu, Kontras juga mencatat bahwa selama kepemimpinan Hadi terjadi hubungan yang kurang harmonis antara anggota TNI dan anggota Polri. Kontras mencatat 19 konflik TNI-Polri. Meliputi penganiayaan, penembakan, bentrokan, perusakan fasilitas dan intimidasi.

"Kami juga mencatat rangkaian konflik yang ada telah berimplikasi 26 korban baik luka maupun meninggal dunia, dengan rinican 6 dari TNI dan 20 dari Polri. Institusi TNI dan Polri yang notabene merupakan lembaga yang diberikan otoritas untuk memegang senjata tentu saja akan menimbulkan implikasi yang sangat buruk apabila keduanya sedang berkonflik," ujar Fatia.

Selain itu. Kontras juga mencatat TNI diduga mengambil lahan pertanian warga. Hal tersebut mengingat konflik agraria yang kerap melibatkan TNI.

Kontras mencatat 7 peristiwa okupasi lahan oleh TNI: berupa intimdiasi warga menggunakan prajurit TNI dalam okupasi lahan oleh pemerintah atau swasta.

"Padahal, konflik agraria merupakan masalah sosial yang tidak seharusnya disikapi dengan pendekatan keamanan, melainkan wajib diserahkan untuk diselesaikan menggunakan kelembagaan serta mekanisme sipil yang ada," ujar Fatia.

Kontras juga mencatat 58 peristiwa kekerasan terjadi di Papua selama kepemimpinan Hadi. Adapun kekerasan tersebut telah mengakibatkan 135 luka dan 69 tewas. Penembakan masih menjadi kasus kekerasan tertinggi di Papua.

Data ini dianggap sebagai fenomena gunung es mengingat akses informasi terhadap isu-isu kekerasan di Papua sungguh terbatas, terlebih informasi begitu banyak didominasi oleh narasi negara.

"Pendekatan militeristik yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik terbukti tidak efektif dan justru semakin memperpanjang rentetan kekerasan di Papua. Potensi kekerasan bahkan semakin diperparah dengan ditetapkannya KKB sebagai organisasi teroris.," ujar Fatia.

Kontras juga mencatat bahwa TNI masih memiliki pekerjaan rumah yakni untuk bersikap transpransi dan akuntabilitas. Dari pengalaman Kontras, Pelayanan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) TNI tidak pernah melayani dengan baik. Dalam beberapa permohonan KIP, PPID TNI menjawab bahwa informasi yang diminta masuk ke dalam klasifikasi informasi yang dikecualikan tanpa menjelaskan alasan lebih lanjut mengenai tahapan uji konsekuensi yang telah dilakukan, ujar Fatia.

"Panglima TNI baru harus menginstruksikan kepada bagian PPID untuk secara transparan dan akuntabel memberikan pelayanan informasi yang baik pada masyarakat sebagaimana ditentukan oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP," imbuhnya.

Kontras juga mencatat bahwa TNI mesti melakukan reformasi peradilan militer. Tingginya angka kekerasan oleh TNI, menunjukan mesti ada perubahan mekanisme pertanggungjawaban yang lebih akuntabel dan transpran.

Beberapa kasus kekerasan yang didampingi Kontras, menghasilkan putusan yang tidak memuaskan. Kontras menilai masih terdapat unsur perlindungan dan pengistimewaan bagi personel militer yang melakukan kejahatan.

"Reformasi peradilan militer merupakan salah satu agenda yang harus menjadi perhatian dari Panglima TNI, sebab mekanisme ini sering dijadikan sebagai dalih mangkirnya aparat TNI dalam sejumlah tindak pidana atau pelanggaran HAM," ujar Fatia.

Baca juga artikel terkait CALON PANGLIMA TNI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan