Menuju konten utama

Carrefour Melepas ASEAN, Memburu Amerika Latin

Di sejumlah belahan dunia, Carrefour begitu digdaya. Namun, keperkasaannya tak bertahan di Asia. Carrefour memilih menjual gerai-gerainya di seluruh negara Asia Tenggara. Apa sebab?
Carrefour memutuskan untuk keluar dari negara dengan pasar yang tidak mendominasi. Di Indonesia, Carrefour juga tidak mendapatkan pertumbuhan yang maksimal, Namun kini bersandingan dengan nama Transmart yang lebih besar.

Carrefour Melepas ASEAN, Memburu Amerika Latin
Gerai Carrefour di Jakarta. TIRTO/Andrey Gramico

tirto.id - Dekat sebuah persimpangan di Annecy—kota di Selatan Prancis—sebuah gerai toko serba ada didirikan pada Juni 1957. Nama “Carrefour” disematkan oleh dua pendirinya, Marcel Fournier dan Louis Deforey. Ia diambil dari Bahasa Perancis yang berarti persimpangan.

Lima tahun berselang, kedua pendiri Carrefour membuka hypermarket pertama mereka di Sainte-Geneviève-des-Bois, tak jauh dari Kota Paris. Lebih dari lima dekade setelah itu, Carrefour menjadi sebuah perusahaan peritel terbesar kedua di dunia dengan gerai yang membentang dari Eropa hingga Asia. Gerai Carrefour di Annecy, yang merupakan rintisan, justu menjadi gerai terkecil di dunia.

Memasuki 2011, Carrefour mulai goyah. Hitung-hitungan matang dibuat, seiring makin ketatnya persaingan. Carrefour memutuskan untuk keluar dari beberapa negara, terutama negara-negara di Asia Tenggara.

Tinggalkan Pasar Negara Berkembang

Pada awal 2010, Carrefour memutuskan angkat kaki dari Thailand. Carrefour menjual seluruh gerainya di Thailand kepada Big C senilai USD 1,18 miliar. Dalam pernyataannya, Carrefour mengaku bisnisnya di Thailand tidak memungkinkan mereka untuk menjadi pemimpin pasar, baik dalam jangka pendek maupun menengah.

"Keputusan Carrefour untuk menjual operasinya di Thailand merupakan bagian dari strategi untuk memfokuskan sumber dayanya di pasar, di mana Carrefour memimpin dan mengoptimalkan modal," jelas Carrefour.

Akhir 2012, peritel terbesar kedua di dunia itu pun hengkang dari pasar Singapura. Menyusul kemudian Malaysia di tahun yang sama. Carrefour di Malaysia berganti menjadi Aeon setelah dijual kepada peritel asal Jepang itu seharga 250 juta euro.

Carrefour mengaku ingin fokus pada negara emerging market yang memberikan pertumbuhan potensial.

Di Indonesia, Carrefour rupanya juga tidak mendapatkan pertumbuhan yang maksimal. Carrefour akhirnya menjualnya kepada pemilik Trans Corp, Chairul Tanjung. Penjualannya berlangsung dalam dua tahap. Pada 2010, Carrefour hanya melepas 40 persen sahamnya. Dua tahun kemudian, Carrefour menyerahkan seluruh sahamnya kepada Chairul Tanjung.

Sejak Juni 2014, nama Carrefour tak lagi berdiri sendiri. Ia bersandingan dengan nama Transmart yang tampak lebih besar. Pada 2019, nama Carrefour akan lenyap digantikan oleh Transmart.

Tidak hanya di pasar Asia Tenggara, Carrefour juga sempat goyah di pasar Cina. Penyusutan margin laba membuat Carrefour harus menutup beberapa gerainya di Cina pada 2011, di antaranya adalah gerai di Kota Changchun dan Shaoxing. Kondisi makro ekonomi Cina disebutkan menjadi penyebab. Peningkatan inflasi membuat biaya untuk kebutuhan masyarakat membengkak.

Memang, pada 2011, inflasi Cina ada pada angka yang cukup tinggi, yakni 5,4 persen. PDB dari sektor perdagangan ritel pada tahun itu hanya 43.730,5. Itu adalah kondisi terburuk Cina dalam enam tahun terakhir. Pada 2012, inflasi Cina membaik di angka 2,6 persen dan terus membaik menjadi 2 persen pada 2014. Kerugian yang dialami Carrefour di Cina kala itu membuat saham Carrefour SA merosot 4,9 persen di bursa Paris. Tahun itu, akumulasi pertumbuhan penjualan Carrefour di seluruh belahan dunia juga sangat tipis, hanya 0,9 persen.

Butuh Dana Segar

Carrefour memutuskan untuk keluar dari negara dengan pasar yang tidak mendominasi. Hal itu dilakukan sebagai strategi untuk meningkatkan jumlah dana segar yang kemudian digunakan membayar utang-utang. Ini adalah rencana yang telah dirumuskan oleh Chief Executive Officer Carrefour SA Georges Plassat.

"Kami tidak bisa menyebar dan menjadi terlalu tipis," kata Plassat seperti dikutip dari Bloomberg pada Agustus 2012 lalu. Menurutnya, Carrefour perlu untuk fokus pada pasar yang sangat dominan. Ia juga mengatakan Carrefour harus memiliki arus kas yang lebih besar dan mengurangi jumlah utang. Itu sebabnya, Carrefour melepas sejumlah saham di seluruh negara Asia Tenggara.

Mengapa Asia Tenggara? Karena memang dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Amerika Latin, gerai-gerai di Asia Tenggara masih terhitung sedikit dan memberikan kontribusi yang juga kecil. Tahun 2011, Carrefour hanya memiliki 114 gerai di Asia Tenggara. Sebanyak 84 gerai ada di Indonesia, 26 di Malaysia, dan dua di Singapura. Untuk wilayah Asia, total gerai mencapai 380, sisanya tersebar di Cina dan Taiwan.

Sementara di Amerika Latin, Carrefour tercatat memiliki 583 gerai. Sebaran gerai terbanyak Carrefour memang ada di Eropa, terutama Perancis, negara asalnya. Pada tahun itu, jumlah gerai di Eropa mencapai 8.595.

Dari segi penjualan, kontribusi negara-negara Asia, termasuk Cina dan Taiwan hanya 9 persen dari total penjualan 81,2 miliar Euro. Bandingkan dengan Amerika Latin yang memberikan kontribusi dua kali lipat kontribusi Asia. Padahal jumlah gerai di Amerika Latin tak sampai dua kali lipat jumlah gerai di Asia. Itu kenapa Carrefour lebih memilih melepas saham di beberapa negara Asia dibandingkan negara Amerika Latin.

Sepanjang 2012, Carrefour setidaknya mendapatkan 2,77 miliar euro dari penjualan saham di Asia Tenggara. Dari penjualan 60 persen saham kepada CT Corp di Indonesia saja, Carrefour menambah dana segar di kasnya sebesar 525 juta euro.

Pada tahun itu, liabilitas Carrefour juga berkurang menjadi 45,8 miliar euro. Padahal tahun 2011, utang Carrefour mencapai 47,93 miliar euro. Pada 2010, total liabilitas Carrefour jauh lebih besar, yakni mencapai 53,65 miliar euro.

Setelah Carrefour memutuskan hengkang dari pasar Asia Tenggara, jumlah gerai di Asia langsung turun drastis. Pada 2012, total gerai Carrefour di Asia turun menjadi 350, dari sebelumnya yang mencapai 380 gerai.

Di belahan bumi lainnya, Carrefour memperkuat bisnisnya. Di tahun ketika Carrefour benar-benar angkat kaki dari Asia Tenggara, peritel terbesar di Eropa itu mengakuisisi 129 gerai EKI, salah satu jaringan supermarket di Argentina. Akuisisi itu semakin memperkuat posisi Carrefour di negara Amerika Latin itu. Selain melakukan akuisisi, Carrefour juga menyelesaikan kerja sama financial service dengan Itau Unibanco yang merupakan bank swasta terbesar di Brasil.

Di Eropa, bisnis yang sudah sangat besar semakin diperbesar dengan dengan mengakuisisi Klepierre pada 2014. Klepierre merupakan pemilik 127 pusat perbelanjaan di kawasan Eropa. Setelah transaksi, Carrefour menguasai 42 persen saham Klepierre. Di Perancis, jaringan pusat belanja Klepierre bergabung dengan 46 mal milik Carrefour.

Terdongkrak Brasil

Kini, di Asia, Carrefour hanya memiliki gerai di Cina dan Taiwan. Seiring berjalannya waktu, peritel raksasa itu terus menambah jumlah gerai di dua negara itu, terutama di Cina. Pada tahun 2015 saja, Carrefour membuka 15 gerai baru di Negeri Tirai Bambu itu. Hingga akhir 2015, Carrefour memiliki total 406 di Asia.

Pada 2015, pertumbuhan penjualan internasional Carrefour membaik dan menyentuh angka 5,9 persen. Ini didorong oleh pertumbuhan yang kuat di Argentina dan Brasil. Pendapatannya pun tumbuh 3,9 persen, didorong oleh booming penjualan di Amerika Latin.

Sementara di Cina, penjualan Carrefour justru turun 15,7 persen karena lemahnya konsumsi. Carrefour harus menyusun rencana untuk ekspansi ke e-commerce dan convenience store, serta membuka pusat logistik untuk memangkas biaya.

Kondisi di Cina itu diselamatkan oleh pasar Brasil. Penjualan di Brasil justru menguat di tengah perekonomian yang melambat. Brasil kini menjadi pasar terbesar Carrefour setelah Perancis.

Hasil dari Brasil itu membuktikan bahwa keputusan mereka hengkang dari pasar Asia Tenggara sebagai keputusan yang tepat. Asia Tenggara mungkin pasar yang sangat menggiurkan. Namun, persaingan berjalan sangat ketat. Jika tidak menjadi pemimpin pasar, sulit bagi mereka untuk mendapatkan pertumbuhan yang diinginkan.

Baca juga artikel terkait CARREFOUR atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti