Menuju konten utama
15 Oktober 1976

Carlo Gambino dan Politik Menuju Kekuasaan ala Mafia

Carlo Gambino merupakan salah satu sosok mafia terbesar sepanjang sejarah. Ia licin bak politikus ulung.

Carlo Gambino dan Politik Menuju Kekuasaan ala Mafia
Carlo Gambino. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Dengan karakternya yang pendiam, bersuara lembut, selalu sopan kepada siapa pun, dan jarang berpenampilan mencolok, wajar jika orang awam menilai Carlo Gambino bukanlah siapa-siapa. Padahal, dia bukan saja tercatat sebagai salah satu mafia terbesar yang pernah ada, tetapi juga memiliki pengaruh kuat terhadap keluarga mafia lain di Amerika.

Konon, kisah hidup Gambino menginspirasi Mario Puzo kala menciptakan Vito Corleone, karakter fiksi dalam novel legendarisnya, The Godfather. Jika melihat beberapa kemiripan antar keduanya, hal tersebut rasanya cukup masuk akal. Selain sama-sama berasal dari Sisilia, Italia Selatan, Gambino dan Corleone juga masih berusia muda kala memutuskan hijrah ke Amerika Serikat.

Gambino memang lahir dari keluarga Gambino, trah mafia Sisilia yang termasuk ke dalam lingkaran “The Honored Society”. Mayoritas dari mereka juga dikenal sebagai anggota Cosa Nostra. Lingkaran trah ini memiliki sistem yang berbeda dengan "The Black Hand" [La Mano Nera], sindikat mafia Italia pra-1920an yang lebih dulu muncul di AS. Kendati sama-sama berasal dari roots yang sama, tapi La Mano Nera tidak memiliki keteraturan dalam berorganisasi dan kerap menjadikan imigran Italia yang lebih sukses sebagai targetnya.

Sejak usianya 19 tahun, Gambino telah “dibaptis”--atau dalam istilah mereka: “Made Man”--menjadi bagian dari Cosa Nostra.

Selain Italia murni atau memiliki keturunan darah Italia, seseorang hanya bisa menjadi “Made Man” jika ia telah direkomendasikan minimal oleh dua anggota lain, di mana salah satu dari mereka telah mengenal sosok tersebut kurang lebih 10-15 tahun. Nantinya, capo di organisasi yang akan menilai kredibilitas orang tersebut, sebelum bos teratas yang akan menentukan kapan dan di mana ia dilantik.

Pada hari-H pelantikan, calon anggota baru akan ditelepon agar segera bersiap-siap dengan mengenakan pakaian serapi mungkin. Ia lalu dijemput dan dibawa ke kamar tempat upacara berlangsung. Saat pelantikan, ia wajib membacakan Sumpah Omertà, kode mafia untuk menjaga kerahasiaan. Prosesi ini bakal ditandai dengan cara meneteskan darah dari jari ke potret seorang suci--biasanya Santo Fransiskus atau Bunda Maria.

Perlakuan spesial yang diterima Gambino sejak remaja bukan sekadar karena ia terlahir dari keluarga mafia terhormat, melainkan juga karena nyali besarnya. Setahun sebelum dilantik, ia telah membunuh salah seorang bos mafia.

Dimulai dari Perang Castellammarese

Gambino memasuki AS pada 23 Desember 1921 dengan menjadi satu-satunya penumpang kapal SS Vincenzo Florio. Setelah menetap beberapa hari di Norfolk, Virginia, tempat ia turun kapal, Gambino segera bergegas menuju New York, tempat sepupunya berada: Paul Castellano. Di sana ia lalu bergabung dengan keluarga Gambino yang dipimpin oleh Salvatore "Toto" D'Aquila.

Gambino juga terlibat dengan sindikat kejahatan Italia-Yahudi Amerika yang dipimpin Charles "Lucky" Luciano dan juga beroperasi di New York: "Young Turks". Dalam kelompok tersebut bercokol nama-nama yang kelak menjadi bos mafia kelas wahid seperti Frank "Prime Minister" Costello, Albert "Mad Hatter" Anastasia, Frank Scalice, Gaetano "Tommy Three-Finger Brown" Lucchese, Joe Adonis, Vito Genovese, Meyer Lansky, hingga Benjamin "Bugsy" Siegel.

Namun, sejak Era Prohibisi, Gambino lebih sering berpartner dengan Arnold "The Brain" Rothstein dalam bisnis bootlegging atau penyelundupan alkohol. Ia juga mendapat untung besar selama Perang Dunia II dengan menyuap pejabat Office of Price Administration (OPA) untuk mendapatkan ration stamp: semacam kartu ransum yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk masyarakat agar dapat memperoleh makanan atau komoditas lain dalam masa darurat.

Kembali ke “Young Turks”, di balik pembentukan sindikat itu, Luciano sejatinya memiliki misi tersendiri: ingin segala bentuk keserakahan dan konservatisme bos-bos mafia tradisional bisa dienyahkan, karena hanya akan membuat mereka semakin kaya, sementara para bawahannya akan tetap miskin. Selanjutnya, ia juga ingin membuat semacam komisi nasional mafia Italia-Amerika agar bisnis mereka lebih terorganisasi dan menguntungkan.

Para bos mafia tradisional ini tergolong ke dalam kategori "Moustache Petes": julukan bagi para imigran dari Sisilia ke AS ketika usia mereka telah terhitung dewasa. Mereka yang termasuk kategori ini cenderung punya prinsip ketat: menolak bekerja sama dengan orang non-Italia dan skeptis terhadap orang non-Sisilia. Kala itu, golongan tersebut melekat dalam diri Joe Masseria dan Salvatore Maranzano, bos-bos sindikat mafia New York yang juga disegani namanya.

Pada masa-masa ini pertikaian antar sindikat terjadi yang dikenal dengan nama: "Castellammarese War". Perang ini melibatkan dua geng besar: sindikat Joe Masseria dengan kelompok mafia Sisilia lain yang dipimpin oleh Salvatore Maranzano. Pemicunya dimulai sejak Masseria menolak membayar komisi kepada Maranzano. Ketika masa perang inilah Luciano membentuk “Young Turks”.

"Castellammarese War" berakhir ketika pada awal tahun 1931, Luciano memutuskan bergabung dengan Maranzano karena ia menduga Masseria berada dalam posisi buruk. Maranzano, yang diduga kuat bertanggung jawab atas penyerangan terhadap Luciano dua tahun sebelumnya, menerima kompatriotnya tersebut dengan satu syarat mutlak: ia harus menghabisi Masseria.

Luciano menyanggupi syarat tersebut. Pada 15 April 1931, ia beserta komplotannya [Albert Anastasia, Joe Adonis, Vito Genovese, dan Bugsy Siegel] membunuh Masseria dalam sebuah ajakan makan siang di restoran Nuova Villa Tammaro di Pulau Coney.

Sejak itu, Maranzano praktis menjadi penguasa tunggal di kalangan mafia New York. Ia bahkan menyebut dirinya sebagai capo di tutti capi (bos dari segala bos) dan Luciano dijadikan wakilnya sekaligus diberikan hak penuh untuk mengambil alih geng Masseria. Reorganisasi sindikat pun dilakukan dan pembagian peran serta wilayah kekuasaan jadi lebih merata. Kendati demikian, sikap saling mencurigai antara Luciano dengan Maranzano terus meruncing.

Buntutnya, pada 10 September 1931, Maranzano dibunuh. Momen ini kelak dikenang dengan sebutan: "Night of the Sicilian Vespers".

Lantas, di mana Gambino? Meski banyak terlibat dalam aksi penting, Gambino tetap lebih nyaman berada jauh dari sorotan sembari diam-diam mencapai misinya.

Politik Menuju Kekuasaan

Sejak Perang Castellammarese berakhir, tak pernah lagi ada konflik berarti antar mafia. Bisnis berjalan lancar, masing-masing keluarga juga menikmati kekayaannya. Sampai kemudian situasi ini dikacaukan oleh perilaku Albert Anastasia, sosok pemimpin keluarga Gambino kala itu, yang dinilai makin tak terkendali. Ia bahkan juga melanggar kode etik sesama mafia untuk tidak membunuh warga sipil atau siapa pun yang tidak melakukan kejahatan terorganisir.

Kekacauan itu memuncak pada 1952, ketika Anastasia memerintahkan pembunuhan terhadap seorang asisten penjahit muda di Brooklyn bernama Arnold Schuster. Hal itu ia lakukan usai menonton Schuster berbicara di televisi tentang perannya dalam menangkap perampok bank, Willie Sutton.

Pembunuhan tersebut membuat para kepala keluarga mafia lain kesal karena publik terus mengawasi bisnis mereka. Namun, mengenyahkan Anastasia begitu saja juga bukan solusi. Pasalnya, ia memiliki pasukan tangguh yang diperlukan untuk merebut kekuasaan Vito Genovese.

Situasi lantas menjadi pelik untuk Gambino. Di satu sisi, ia tentu memiliki relasi karib dengan para penggede “Young Turks” seperti Luciano dkk. Sementara di sisi lain, Genovese terus menekan Gambino agar memihaknya demi melawan Anastasia, Costello, dan Luciano.

Di titik inilah kecerdikan Gambino dalam berpolitik kelak membuatnya jadi salah satu bos mafia paling berpengaruh dalam sejarah.

Semula Gambino sepakat bekerja sama dengan Genovese untuk melawan Anastasia dan Costello. Cara tersebut berhasil: Anastasia mereka habisi pada 25 Oktober 1957 dengan menyewa Joseph "Crazy Joe" Gallo. Setelah itu, Gambino pun menjadi bos baru keluarga kriminal Mangano, yang kemudian ia namai menjadi keluarga kriminal Gambino. Ada pun Costello sudah tak lagi punya nyali akibat teror yang menyasarnya. Bahkan untuk mengadu ke Badan Komisi pun ia tak berani.

Dengan tersingkirnya Anastasia sekaligus Costello, Genovese meyakini bahwa Gambino seharusnya berutang budi kepadanya. Namun, Gambino punya misi sendiri: diam-diam ia bersekutu dengan Luciano, Costello, dan Lansky untuk ganti menyingkirkan Genovese. Kali ini, caranya tidak menggunakan kekerasan.

Infografik Mozaik Carlo Gambino

Infografik Mozaik Carlo Gambino. tirto.id/Deadnauval

Tersebutlah pada 1959, kala Genovese sedang menuju Atlanta untuk meninjau pengiriman heroin dalam jumlah besar. Ketika tiba di lokasi, betapa terkejutnya ia di sana sudah ada ratusan polisi setempat, FBI, hingga anggota ATF, biro khusus di AS yang mengurusi peredaran alkohol, tembakau, senjata api, serta bahan peledak.

Genovese segera diadili dan dinyatakan bersalah karena menjual heroin dalam jumlah besar. Hukumannya 15 tahun bui di Penjara Federal Atlanta. 10 tahun berselang, ia tewas di selnya akibat serangan jantung. Dan ketika nasib Genovese berakhir tragis bak tikus sampah, Gambino justru tengah menikmati pundi-pundi bisnisnya yang terus menguat.

Hanya ada satu pesan Gambino kepada para keluarga dan rekan-rekan bisnisnya: jangan menjual kokain atau heroin. Sebab, meski sangat menguntungkan, bisnis barang tersebut mudah menyita perhatian, dan Gambino adalah orang yang ogah kena sorotan. Jika ada siapa pun yang melanggar, mati adalah konsekuensinya. Atau alam kalimatnya sendiri: "Deal and Die”.

Pada 15 Oktober 1976, tepat hari ini 43 tahun lalu, Gambino meninggal di rumahnya di Massapequa, New York, dalam usia 74. Jasadnya dikuburkan di pemakaman keluarganya di Saint John Cemetery di Queens, persis di samping makam sang istri yang meninggal lebih dulu tiga tahun sebelumnya.

Baca juga artikel terkait MAFIA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Ivan Aulia Ahsan