Menuju konten utama

Cara Trump Menangani COVID-19 yang Membahayakan Kita Semua

Mulai dari menyarankan menyuntikkan disinfektan untuk mengobati COVID-19 hingga memecat ahli penyakit menular AS, kebijakan Trump dinilai membahayakan semua orang.

Presiden Donald Trump berbicara pada rapat umum kampanye di Battle Creek, Mich., Rabu, 18 Desember 2019. Paul Sancya/AP

tirto.id - Presiden Amerika Serikat Donald Trump nampaknya tengah menghancurkan sendiri bangsa yang dipimpinnya. Demikian The New Yorker menanggapi ucapan Trump yang ia kemukakan pada Kamis malam, 23 April waktu setempat. Pada kesempatan itu, Trump mempertanyakan apakah virus SARS-CoV-2 dapat ‘disembuhkan’ dengan menyuntikan disinfektan ke dalam tubuh.

“Saya lihat disinfektan dapat membunuh virus itu dalam satu menit. Jadi, apakah ada kemungkinan jika kita menyuntikkannya ke dalam tubuh untuk membersihkannya? Karena virus itu masuk ke paru-paru dan jumlahnya banyak sekali di dalam paru-paru,” ujar Trump di depan wartawan Gedung Putih.

Trump mengatakan hal tersebut sembari sesekali melihat ke arah Deborah Birx, Koordinator Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Gedung Putih seolah meminta afirmasi. Namun Birx sama sekali tak mengangguk. Ia justru memberi respons terkejut dan hanya terdiam.

Video konferensi pers malam itu kemudian viral di media sosial terutama terkait ekspresi wajah Birx yang dinilai warganet sebagai “representasi reaksi semua orang saat mendengar pernyataan Trump”.

Pernyataan Trump memang cukup berpolemik kalau tidak bisa dibilang menyesatkan. Saran untuk menyuntikkan cairan disinfektan ke dalam tubuh untuk membunuh virus Corona dinilai sejumlah pakar sangat membahayakan. Terlebih saat keadaan banyak orang panik terhadap infeksi virus mematikan tersebut.

Menggunakan disinfektan memang dipercaya dapat membunuh virus di permukaan. Namun, menjadi hal berbeda jika cairan tersebut disuntikkan ke dalam tubuh.

“Menyuntikkan cairan pemutih untuk menetralisir virus tidak hanya tak efektif tetapi juga dapat menimbulkan efek samping berbahaya hingga kematian,” terang Rob Chilcott, seorang toksikolog dari Universitas Hertfordshire seperti dikutip BBC.

Ia menambahkan cairan disinfektan tersebut tak memiliki pengaruh terhadap virus yang sudah menginfeksi sel dalam tubuh.

Sementara itu, sejumlah pemilik perusahaan cairan disinfektan macam Reckitt Benckiser—pemilik brand Lysol, Dettol, Vanish dan Cillit Bangs—memperingatkan bahwa produknya sangat tidak disarankan untuk disuntikkan, dikonsumsi atau dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara apapun.

Pernyataan resmi itu ditulis manajemen RB milik brand Lysol dan Dettol dalam keterangan tertulisnya merespon, tidak langsung kepada pernyataan Trump melainkan permintaan investigasi terkait kemungkinan disinfektan dapat digunakan dalam metode penyembuhan COVID-19.

Belakangan, Trump menyangkal bahwa pernyataan tempo hari merupakan pernyataan serius melainkan hanya pertanyaan sarkas kepada para wartawan.

“Saya hanya bertanya sarkas saja ke wartawan,” kilah Trump.

Diamini Jokowi

Tak hanya soal menyuntikkan disinfektan, pada kesempatan yang sama Trump juga mengemukakan soal teorinya bahwa sinar ultraviolet dapat membunuh virus Corona.

Secara lebih lengkap, Trump mengatakan “saya kira kita dapat menggunakan cahaya matahari ke dalam tubuh. Mungkin lewat kulit atau dengan cara lain. Anda bilang anda mau menguji hal itu, kan? (kepada Brix). Jadi kita lihat saja, namun kalau cahaya matahari bisa membunuh (virus itu), itu hebat sekali,” ujar Trump.

Trump tentu saja tidak mengambil kesimpulan tersebut dari ruang hampa. Ia sedang memamerkan hasil uji laboratorium biosekuriti tingkat tinggi Angkatan Darat AS di Fort Detrick. Hasil uji lab tersebut disampaikan oleh William N. Bryan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS pada jumpa pers harian Gugus Tugas Penanganan COVID-19.

Bryan menjelaskan, kendati belum mendapat ulasan dari rekanan, uji lab tersebut menunjukkan bahwa virus Corona, seperti virus lainnya, tidak akan bertahan hidup pada permukaan yang terpapar sinar ultraviolet yang tinggi, hangat dan memiliki kelembapan yang tinggi pula. Semakin tinggi suhu dan kelembapan, semakin cepat pula SARS-CoV-2 itu mati.

“Kami mengujinya dalam kurun 18 jam sekali. Artinya, dalam 18 jam sekali virus akan mati setengahnya. Misal, kami memulainya dengan seribu partikel virus maka dalam 18 jam percobaan, jumlah itu akan menurun setengahnya yakni 500 partikel. Dan 18 jam berikutnya akan turun menjadi 250 partikel, demikian seterusnya,” jelas Bryan kepada wartawan, seperti ditulis Washington Post.

Studi itu juga menunjukkan, kendati tidak langsung terpapar di bawah sinar ultraviolet, virus tersebut juga tidak akan bertahan hidup lama di bawah suhu tinggi di dalam ruangan.

Bryan juga menegaskan bahwa akan sangat tidak bertanggung jawab bagi pihaknya jika mengatakan “musim panas akan membunuh virus ini”.

Hasil studi itu kemudian juga mendapat kritik dari sejumlah ahli. Sama seperti cairan disinfektan, sinar ultraviolet hanya efektif membunuh virus di permukaan saja. Itupun belum diketahui berapa waktu yang dibutuhkan seseorang terpapar sinar UV agar dapat membunuh virus di permukaan.

Dr Penny Ward, Profesor Obat-Obatan Farmasi dari King’s College London menjelaskan bahwa radiasi sinar UV dan suhu tinggi dapat membunuh virus di permukaan. “Namun belum ada kajian atau studi lebih lanjut yang membuktikan sinar UV mampu membunuh virus yang sudah masuk ke dalam tubuh,” ujar Ward kepada BBC.

Menariknya, pernyataan sembrono Trump tersebut justru diamini oleh Presiden Joko Widodo. Pada 24 April 2020, dalam unggahan video youtube di akun resmi Sekretariat Presiden RI, Jokowi menyambut gembira kabar dari Departemen Pertahanan Dalam Negeri AS tersebut.

“Berita ini sangat menggembirakan kita karena kita hidup di alam tropis yang suhunya panas, udaranya lembab dan kaya akan sinar matahari. Namun protokol pencegahan COVID-19 tetap harus dijalani,” ujar Jokowi. Kendati demikian, klaim itu tetap harus diuji kembali alih-alih mengandalkan musim panas semata untuk menangani COVID-19.

Bukan sekali ini Trump mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait penanganan COVID-19. Sebelumnya ia akhirnya memutuskan menarik pendanaan AS kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO) lantaran ia menilai organisasi terlalu Cina-sentris dan memberikan rekomendasi yang salah terkait penanganan COVID-19 sejak awal.

Selain itu, pada minggu lalu ia juga memecat seorang ahli penyakit menular dari Otoritas Penelitian dan Pengembangan Biomedical Tahap Lanjut Rick A. Bright. Alasannya, Bright terus mendorong pengujian lebih ketat terhadap penggunaan klorokuin, obat anti-malaria, yang diagung-agungkan Trump sebagai “keajaiban” untuk COVID-19.

Baik pernyataan maupun keputusan Trump dianggap semakin membahayakan warga negaranya. Berdasarkan data WorldOMeters, per 27 April 2020, Amerika Serikat mencatat 1,07 juta kasus positif dan 56.624 kematian akibat COVID-19, masih merupakan yang tertinggi di dunia.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Restu Diantina Putri
-->