Menuju konten utama
10 Januari 1973

Cara Soeharto Menciptakan Partai Demokrasi Indonesia

Kebijakan fusi partai Soeharto memaksa partai-partai nasionalis dan non-Islam bergabung jadi satu. Dari situ lahirlah PDI.

Cara Soeharto Menciptakan Partai Demokrasi Indonesia
Ilustrasi PDI bikinan Orba. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Sejumlah kegiatan dilakukan Soeharto setelah menjadi Presiden Indonesia pada 1968. Salah satunya adalah menghadiri kongres partai-partai. Kesempatan tersebut dimanfaatkan Soeharto untuk, salah satunya, menyampaikan pesan politik.

Dalam sebuah pidato di Semarang pada 11 April 1970, ia berkata kepada hadirin Kongres XII Partai Nasional Indonesia (PNI). Isinya tidak jauh soal ucapan terima kasihnya kepada PNI, cita-cita pembangunan yang digagasnya, serta impiannya menjadikan Orde Baru sebagai, dalam kata-katanya sendiri, "koreksi total atas penyelewengan di segala bidang yang dilakukan pada masa sebelumnya".

Salah satu penyelewengan yang disuratkan Soeharto adalah ihwal partai politik.

“Sebelum tahun 1959, kita mengalami masa di mana jumlah partai terlalu banyak. Saya kira, sistem ‘satu partai’ bukan pilihan yang baik. Tetapi sebaliknya terlalu banyak partai-partai menyulitkan diri kita sendiri,” sebut Soeharto.

Bagi laki-laki yang kerap dijuluki The Smiling General itu, kehidupan kepartaian yang sehat adalah penting dalam pelaksanaan pembangunan. Dan, menurutnya, penyederhanaan jumlah partai merupakan salah satu cara utama untuk mewujudkannya.

Lahirnya Kelompok Demokrasi Pembangunan

Sejatinya pidato Soeharto di Kongres XII PNI itu adalah penegasan dari gagasan penyederhanaan partai sesuai Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/ 1966. Ia juga melontarkan hal serupa pada 7 Januari 1970 saat bertemu pimpinan partai politik. Saat itu dia menyarankan kepada pimpinan 9 partai politik dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) tentang pengelompokan partai-partai menjadi Golongan Spirituil, Golongan Nasionalis, dan Golongan Karya.

Dalam makalah berjudul “Dilema Partai Demokrasi Indonesia, Perjuangan Mencari Identitas” yang dimuat Majalah Prisma (No.12, Desember 1981), Manuel Kaisiepo menyebut, “Gagasan pengelompokan itu (yang kemudian menjadi fusi), pada mulanya diterima dengan baik dan mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh pimpinannya.”

Dalam catatan Manuel, tidak semua partai itu langsung mengiyakan. Partai yang mula-mula memberikan dukungan adalah PNI dan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Lalu Ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) Djarnawi Hadikusumo menyatakan gagasan penyederhanaan partai itu sesuai dengan rencana yang dicanangkan Kongres Umat Islam 1969. Sedangkan tokoh partai Nahdlatul Ulama Subchan Z.E. melihat itu sebagai usaha memperkecil banyaknya pendapat yang muncul dari masyarakat.

Sementara sikap kontra muncul dari Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Mereka terutama menolak untuk dimasukkan dalam golongan spirituil dan lebih berkenan untuk bergabung dengan golongan nasionalis.

Tidak lama kemudian, pada 9 Maret 1970, pimpinan partai gabungan kelompok nasionalis—PNI, IPKI, Parkindo, Partai Murba, dan Partai Katolik—membentuk Kelompok Demokrasi Pembangunan untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 1971.

Meski fusi partai-partai politik itu urung terwujud pada Pemilu 1971, tetapi menurut Manuel Kaisiepo, “Inilah (Kelompok Demokrasi Pembangunan) cikal-bakal dari Partai Demokrasi Indonesia yang lahir tiga tahun kemudian.”

Pemilu 1971 dan Awal Cengkeraman Orba

“Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution dan segerobak Jenderal, tidak dapat menyamai satu Sukarno,”

Kalimat itu didengungkan Ketua Umum PNI Hadisubeno dalam berbagai kampanye yang diselenggarakan PNI jelang Pemilu 1971. Bahkan, dalam kampanyenya, PNI juga menghadirkan putra-putri Sukarno: Guntur Soekarnoputra dan Rachmawati Soekarnoputri.

PNI merupakan partai pemenang dalam Pemilu sebelumnya yang digelar pada 1955. Saat itu, PNI memuncaki klasemen dengan mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante. Sumber kekuatan PNI tidak lain adalah karisma Sukarno.

Di sisi lain, sebelum Pemilu 1971 berlangsung, dalam Power and Political Culture in Soeharto’s Indonesia (2003), Stefan Eklof mencatat adanya keyakinan bahwa hasil 60 persen kursi DPR bakal dikuasai partai politik. Sedangkan Golkar diperkirakan mengumpulkan 30-35 persen suara (hlm. 52).

Di sisi lain, saat itu Orde Baru berusaha keras mendelegitimasi Sukarno. Orde Baru mengklaim presiden Indonesia pertama itu terlibat pembunuhan jenderal-jenderal dan pemerintahannya, seperti disebut dalam pidato Soeharto di Kongres XII PNI, telah gagal membangun dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Dengan memakai nama dan simbol Sukarno, PNI tampak merasa di atas angin untuk memenangkan Pemilu 1971.

Manuver yang dilakukan Orde Baru nyatanya memang sukses memuluskan jalan Golkar memenangkan Pemilu 1971.

Pada 1969, pemerintah Soeharto mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969 (Permen 12) yang melarang anggota Golongan Karya yang menduduki jabatan di DPRD memiliki keanggotaan dari partai politik lainnya.

Ia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 yang melarang semua pegawai negeri termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai politik. Dan, untuk memastikan kemenangannya Orde Baru melakukan penyingkiran terhadap tokoh-tokoh radikal di setiap partai.

“Jadi walaupun PNI bisa tetap berdiri dan Parmusi diperkenankan pula untuk berdiri sebagai wadah baru dari bekas pengikutnya (Masyumi) dulu, tingkah laku kedua partai ini diusahakan betul untuk tidak menjadi keras dan radikal,” sebut Manuel Kaisiepo.

Hasilnya, pada Pemilu 1971 Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR) yang disusul Nahdlatul Ulama (NU) pada peringkat kedua dengan 18,6 persen suara (58 kursi). Seperti terperosot, PNI hanya meraih 6,9 persen suara (20 kursi).

Sementara itu, perolehan suara partai-partai Kelompok Demokrasi Pembangunan berada di bawah PNI. Parkindo mendapat 7 kursi dan Partai Katolik mendapat 3 kursi. Sedangkan Partai Murba dan IPKI tidak memperoleh kursi di DPR karena perolehan suaranya di bawah 400 ribu pemilih.

Golkar pun menguasai DPR dan MPR. Kemudian, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilu 1971 menyatakan bahwa pada Pemilu 1977 hanya akan ada tiga peserta.

Pada 5 Januari 1973 partai-partai Islam, yaitu NU, PSII, dan Perti, membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Lima hari kemudian, pada 10 Januari 1973, tepat hari ini 46 tahun lalu, Kelompok Demokrasi Pembangunan memfusikan diri dalam satu partai bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Deklarasi pembentukan PDI ditandatangani perwakilan kelima partai: Achmad Sukardimadjaja dan Mh. Sadri dari IPKI, Ben Mang Reng Say dan F.S. Wignjosumarsono dari Partai Katolik, A. Wenas dan Sabam Sirait dari Parkindo, S. Murbantoko dan Djon Pakan dari Partai Murba, serta Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid dari PNI.

Gejolak Internal Setelah Fusi

Di antara kelima partai, PNI merupakan yang tertua. Didirikan pada 4 Juli 1927 oleh Sukarno, Cipto Mangunkusumo, Sunaryo, Sartono, dan Iskaq Tjokrohadisuryodan. PNI menganut paham marhaenisme yang digagas Sukarno. Bagi penggagasnya itu, marhaenisme adalah ajaran marxisme yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Sedangkan Partai Murba didirikan Tan Malaka pada 3 Oktober 1948. Ia menyatakan Murba sebagai partainya kaum pekerja yang juga mendasarkan dirinya pada gagasan marxisme yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Sementara Parkindo menghimpun aspirasi politik masyarakat beragama Kristen dan Partai Katolik untuk masyarakat beragama Katolik. Keduanya memiliki kantong massa di wilayah Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen atau Katolik. Sedangkan IPKI didirikan Jenderal A.H. Nasution guna memberikan kesempatan kepada tentara untuk berpolitik.

Menurut Manuel Kaisiepo, dengan terjadinya fusi, berarti eksistensi dari partai-partai itu berakhir. Menurutnya, identitas masing-masing partai tersebut juga hilang. Hal ini lah yang dirasakan pendiri Partai Katolik Ignatius Joseph Kasimo.

Infografik PDI Buatan orba suharto

Infografik PDI Buatan orba suharto

“Bagi Kasimo, Partai Katolik adalah sarana memperjuangkan kepentingan golongan Katolik, ataupun sarana bagi golongan Katolik untuk berjuang bagi kepentingan nasional. Dalam hidupnya mungkin tidak ada kekecewaan yang lebih besar daripada melihat partai yang dicintainya itu dimatikan!” sebut J. B. Sudarmanto dalam Politik bermartabat: Biografi I.J. Kasimo.

Sedangkan Eklof memandang, “Partai Demokrasi Indonesia adalah sisa-sisa kelompok non-Islam yang disatukan, yakni kaum sosialis, nasionalis, dan Kristen.”

Karena perbedaan ideologi tersebut, semasa awal fusi, Eklof mencatat adanya sentiman dalam internal PDI. Parkindo dan Partai Katolik melihat Murba dan PNI kental dengan kekiriannya. Sedangkan PNI melihat Parkindo dan Partai Katolik sebagai kelompok yang tidak loyal. Lalu IPKI sebagai partai yang dibentuk tentara dilihat sebagai perpanjangan rezim militer Orde Baru untuk mengendalikan PDI.

Dalam Pemilu 1977 pun PDI menempuh jalan terjal. Ia berada di posisi buncit dengan perolehan 5.504.751 suara (8,6 persen) yang diganjar setara 29 kursi DPR. Nasib PPP lebih baik ketimbang PDI. Ia mendapat 18.743.491 suara (29,29 persen) yang dikonversi menjadi 99 kursi DPR. Sedangkan Golkar lagi-lagi berada di posisi teratas dengan 39.750.096 suara (62,11 persen) dan mendapat 232 kursi DPR.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 10 Januari 2018 dengan judul "Cara Soeharto Menciptakan PDI (Partai Demokrasi Indonesia)". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan